PojokTIM – Jika penyair mati maka dia kembali pada huruf. Selama masih ada huruf, penyair tetap ada. Kalimat itu diucapkan Sutardji Calzoum Bachri (SCB) untuk mengenang Rara Gendis, penyair dan jurnalis, yang pernah menjadi asistennya. Menurut sastrawan berjuluk Presiden Penyair Indonesia itu, Rara sosok yang tidak pernah membawa kepenyairannya dalam kehidupan sehari-hari.

“Saya mengenalnya selama puluhan tahun. Rara juga bergaul dengan para penyair dan seniman lainnya, ikut dalam diskusi-diskusi kami, tanpa kami tahu jika dia menulis puisi. Tetapi saya tahu Rara istimewa, memiliki kegelisahan dan bakat (menulis puisi) yang menjanjikan,” puji Bang Tardji, sapaan akrab SCB, seraya membacakan puisi Rara Gendis yang berjudul Atas Nama Kemerdekaan dan mempersilakan audiens untuk menilai sendiri apakah puisi Rara sesuai dengan pernyataannya.

Pujian SCB di atas disampaikan dalam acara peluncuran dan diskusi buku kumpulan puisi Rara Gendis Danerek berjudul Sepekat Anggur Sedekat Kita di aula Pusat Dokumen Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Selasa (22/4/2025). Menariknya buku berisi 132 puisi tersebut terbit setelah Teriana Yantie Rahim, nama asli Rara Gendis, wafat pada  22 April 2024.

“Rara beruntung mempunyai suami Stefan Danerek yang dengan tekun mengumpulkan karya-karyanya  dan mewujudkan keinginan almarhum untuk menerbitkan buku antologi puisi,” ujar Sofyan RH Zaid, owner Penerbit Taresia yang menerbitkan buku tersebut.

Kegigihan Stefan mengumpulkan puisi istrinya, juga diungkap Ariany Isnamurti, yang menjadi kurator bersama Endang Supriyadi. “Ada 130-an puisi karya Rara yang diberikan Stefan kepada saya. Terus terang saya sulit memilihnya karena saya kenal dekat dengan Rara. Tahu kegelisahan, kekecewaan dan keinginannya sehingga ketika sedang mengkurasi puisinya, saya merasa Rara berada di samping saya sebagaimana dulu ketika minta pendapat saya tentang puisi-puisinya,” tutur Ariany, mantan Kepala Pelaksana PDS HB Jassin, yang menjadi narasumber diskusi bersama Riri Satria dengan moderator Nuyang Jaimee.

Kepada PojokTIM, Stefan mengungkapkan kekaguman pada istrinya yang disebut pandai bergaul dan memiliki banyak sahabat. “Kami memiliki banyak kenangan, momen, yang indah dan lucu, baik di Indonesia maupun saat kami tinggal di Swedia. Meski agak lambat dalam beradaptasi, Rara mampu mengatasi berbagai hambatan, bahkan sempat beberapa kali baca puisi di Swedia, baik dengan Bahasa Indonesia maupun bahasa saya,” ujar Stefan, doktor bidang sastra yang berasal dari Swedia.

Terkait penerbitan buku kumpulan puisinya, menurut Stefan, sebenarnya Rara sudah lama punya keinginan menerbitkan puisi-puisinya dalam bentuk antolog tunggal. Namun entah mengapa, keinginan itu selalu tertunda. “Jadi saya coba mewujudkan keinginan istri saya yang belum terlaksana saat dia masih hidup,” ujar Stefan.

Riri Satria saat mempresentasikan materi diskusi bedah buku puisi Rara Gendis. Foto: dokpri

Siapa Rara?

Sebagai pakar teknologi digital, Riri Satria mengungkap sosok Rara Gendis melalui teori semiotika yang diolah dan diringkas dari teori yang ditulis Sofyan RH Zaid. Pendekatan menggunakan teori semiotika yang telah dibentuk menjadi bagan, dapat digunakan untuk mengungkap siapa Rara  sebenarnya, apa yang disampaikan dan apa yang diamati selama ini.

Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan itu lantas menggabungkan teori semiotika dengan pisau analisa sains dan matematika yang bertumpu pada dogma input, process, output.

“Inputnya adalah puisi yang punya daya ungkap, daya gugah. Bahan bakunya menangkap realita, apa yang dilihat, apa yang didengar dan lain-lain. Lalu ada proses seleksi, kontemplasi, dan seterusnya. Dalam berkarya, Rara telah melewati dua proses ini,” terang Riri yang juga ketua komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM).

Pendekatan kedua yang digunakan Riri dalam presentasi berjudul Memotret dan Mengenang Rara dari Puisinya adalah menggunakan pendekatan The Gardner Question Matrix yang menggambarkan kedalaman berpikir manusia.

Gardner Question Matrix menggunakan daftar pertanyaan dari what, where/when, which, who, way sampai how. Makin ke bawah pertanyaannya, tanda-tandanya makin dalam berpikir manusia itu. Kalau masih bertanya what, apa, maka masih umum. Tetapi jika sudah bertanya why, maka itu reasoning, mengapa dan apa alasannya. Ketika sampai pada how-might, berarti (seseorang itu) sudah prediksi ke depan, apa yang mungkin terjadi. Ini adalah titik berpikir manusia paling dalam,” terang Riri.

Dengan pendekatan 2 teori tersebut, dan hasil analisa dari beberapa puisi dalam buku Sepekat Anggur Sedekat Kita, Riri menyimpulkan, Rara Gendis adalah sosok yang fokus memahami dan mengkritisi realitas yang terjadi saat ini pada masyarakat dan lingkungan sosialnya.

“Rara sosok jurnalis, kontemplatif,” simpul Riri.

Selain diskusi, acara peluncuran buku dengan MC Sharon Leony itu juga diisi dengan pembacaan puisi oleh para sahabat Rara Gendis seperti Rissa Churia, Nunung Noor El Niel, Ical Vrigar, Imam Ma’arif, Shantined, Willy Ana, dan lain-lain.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini