PojokTIM – Angin pertengahan Januari 2025 menyelusup lembut di antara lorong-lorong sepi Lantai 14 Gedung Ali Sadikin, Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. Menambah antusiasme peserta diskusi yang digelar Jagat Sastra Milenia (JSM) di aula Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Rabu (15/1/2025) saat mendengarkan paparan “bergizi” Retna Ariastuti tentang Marcel Proust dan karyanya.
Bahasan doktor bidang Industrial Engineering yang kini tinggal di Oregon, Ameriksa Serikat itu semakin menarik ketika menggunakan perspektif sains untuk mengupas novel À La Recherche du Temps Perdu (In Search of Lost Time). Seperti dijelaskan dalam buku panduan diskusi berjudul “Membaca Proust”, À La Recherche du Temps Perdu terdiri dari 7 jilid di mana jilid pertama terbit tahun 1913 di Perancis. Karya yang dinobatkan sebagai novel terpanjang versi Guiness World Records itu terdiri dari 1,2 juta kata.
Dipandu Ketua JSM Riri Satria yang juga pakar Teknologi Digital, Tuti, sapaan Retna Ariastuti, berhasil menukik jauh pada sisi yang tidak akan “terbaca” jika hanya menggunakan pendekatan sastra.
“Proust menggunakan metafora berbeda-beda dalam À La Recherche du Temps Perdu. Ada musik, painting, dan yang membuat saya sangat terkesan adalah penggunaan kode mekanik sebagai metafora. Salah satunya ketika Proust menggunakan paradoks Kucing Schrodinger (Erwin Schrodinger [1887-1961], Bapak Fisika Kuantum) untuk menggambarkan kondisi di mana dia bisa mendengar suara neneknya melalui telepon namun tidak dapat melihatnya secara fisik sehingga menciptakan kondisi superposisi,” terang Tuti.
Lebih lanjut Tuti, yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, mengatakan Proust memberi pengaruh pada penulisan novel modern, terutama dari segi penggunaan pencerita (narator). Setiap jilid, Proust menggunakan pencerita yang berbeda-beda di mana masing-masing pencerita memiliki perspektif sendiri.
“Proust juga berhasil membangun struktur bahasa yang sempurna, termasuk dalam kalimat yang panjang,” terang Tuti.
Penulis manuskrip novel Home Away itu juga menceritakan awal mula ketertarikannya pada sastra yakni ketika mulai membaca karya William Faulkner dan penulis lainnya. Saat pandemi, Tuti membeli 3 jilid novel In Search of Lost Time dan membuatnya semakin menyukai sastra.
“Bahasa sains itu to the point, langsung pada inti permasalahnnya. Sementara dalam sastra obyek diceritakan melalui metafora dengan bahasa yang indah, berliku-liku, sehingga bisa menimbulkan banyak perspektif,” terang Tuti ketika ditanya oleh moderator, perbedaan apa yang paling mencolok antara sains dan sastra.
Tuti yang sempat bergabung dengan Dalang Publishing, penerbit di Amerika yang concern pada penerbitan karya penulis-penulis Indonesia, juga menulis cerpen dan esai. Cerpennya yang berjudul “Selendang Bersulam Putih” dimuat di SastraMedia.
Acara yang dihadiri Ketua Simpul Seni DKJ Imam Ma’arif dan anggota DKJ Aquino Hayunta, serta sejumlah penyair serta novelis, juga dimeriahkan dengan pembacaan puisi oleh Nanang R. Supriyatin, Rissa Churria, Romy Sastra, Shantined, Erna Winarsih Wiyono dan Dhe Sundayana.
“Ini merupakan diskusi sastra ketiga yang diselenggarakan JSM, dan yang kedua menghadirkan Retna Ariastuti di mana yang pertama digelar di PDS HB Jassin tahun 2017 mengangkat tema “Bagaimana Karya Penulis Indonesia Dapat Menembus Pasar Amerika”. Ke depan, JSM akan lebih sering menggelar diskusi dengan menghadirkan penulis-penulis dari luar, termasuk mengadakan kerjasama dengan Yayasan Hari Puisi Indonesia,” ujar Riri kepada PojokTIM.