PojokTIM – Kegembiraan terpancar jelas di wajah Ule Ceny ketika menyusuri galeri Pusat Dokumen Sastra (PDS) HB Jassin, di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini, Jakarta Pusat yang saat itu sedang digunakan sebagai ruang pameran karya-karya Yudhistira ANM Massardi dalam rangka memperingati 1 tahun kepergiannya.
Ule Ceny pun memanfaatkan spot-spot terbaik sebagai latar fotonya yang dijepret oleh sang adik sambil menunggu acara diskusi untuk membedah buku kumpulan puisinya yang berjudul Perempuan Penjaga Tradisi yang diselenggarakan Yayasan Wanita Penulis Indonesia (WPI) di aula PDS HB jassin.
“Saya tiba di Jakarta sejak kemarin. Mampir dulu ke tempat saudara di Bogor,” tutur Ule Ceny disertai derai tawa yang renyah, Senin (21/4/2025).
Guru Matematika di SMA Negeri 3 Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, mengaku senang bisa datang kembali ke TIM setelah sebelumnya ikut dalam kegiatan bedah buku antologi bersama di tahun 2022. Saat itu Ule Ceny datang dengan membawa rombongan dari NTB.
“Saya guru matematika yang menyukai seni dan budaya. Saya senang datang ke acara-acara seni seperti pembacaan puisi dan bedah buku karena banyak mendapat inspirasi dan bertemu dengan para senior yang lebih dulu berkiprah di kesenian,” kata dewan pendiri Panre Satera itu,
Di Lantai 4 Gedung Ali Sadikin, Ule Ceny menceritakan banyak hal tentang upayanya menghidupkan kembali (revitalisasi) Bahasa Sumbawa melalui puisi. Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan penyair pemilik nama asli Sulastri.
Bagaimana perkembangan sastra di NTB, khususnya Sumbawa?
Terus terang saya tidak terlalu intens mengikuti perkembangan sastra yang ada karena kesibukan di sekolah. Tetapi jika tolok-ukurnya kegiatan kesenian seperti baca puisi atau karya yang diterbitkan, alhamdulillah perkembangannya cukup baik. Tumbuh komunitas-komunitas peminat sastra di berbagai tingkatan. Terlebih kami di Sumbawa memiliki sejarah panjang terkait karya prosa yang disebut Lawas.
Seperti apa bentuknya?
Lawas sudah ada sejak ratusan tahun. Bentuknya serupa puisi lama, namun bukan pantun. Memiliki struktur dengan pola tetap yakni dalam 1 bait ada 3 baris, dalam 1 baris ada 8 suku kata. Syair Lawas umumnya berisi nasehat orang tua kepada anak-anaknya dan puji-pujian yang sifatnya memberi semangat dan kegembiraan kepada pendengarnya.
Di masa lalu Lawas ditampilkan sebagai nyanyian dalam bentuk Sekeco atau Bakelong pada saat musim panen. Sakeco atau bakelong adalah seni bernyanyi yang dilakukan oleh dua grup masing-masing terdiri dari 2 laki-laki yang saling-sahut dengan iringan rebana. Syairnya berasal dari Lawas, sementara nada dan irama berbeda-beda.
Dalam perkembangannya, Sakeco atau Bakelong seringkali digelar dalam acara-acara resmi seperti pernikahan, upacara adat, menyambut tamu, pembuka acara atau kegiatan sosial lainnya. Jadi tidak hanya saat musim panen. Syairnya pun mengikuti perkembangan zaman dari yang awalnya hanya berupa pesan moral, petatah-petitih, sekarang merambah humor hingga kritik sosial. Sakeco atau Bakelong merupakan bagian penting dari budaya Sumbawa. Saat ini Lawas dipelajari di sekolah-sekolah sebagai muatan lokal atau mulok.
Apakan Lawas menjadi bagian dari revitalisasi bahasa melalui puisi?
Tentu saja. Setelah dikaji ternyata Lawas merupakan puisi bentuk lama. Bahasanya juga kuno, masih menggunakan bahasa lama. Kita kemudian mencoba membuat Lawas bentuk baru, yang lebih bebas tetapi tetap menggunakan Bahasa Sumbaya, lengkap dengan metafora-metaforanya. Hal ini bertujuan agar Lawas mudah dikenali dan dipahami oleh generasi sekarang, terutama untuk materi pelajaran muatan lokal atau mulok di sekolah-sekolah.
Untuk diketahui, di NTT ada 3 bahasa daerah yakni Bahasa Sumbawa, Bahasa Sasak dan Bahasa Bima. Nah, para ahli sudah mengatakan, Bahasa Sumbawa yang tercatat sebagai lingua franca atau basantara di Indonesia, adalah salah satu bahasa yang akan punah karena penuturnya berkurang. Anak-anak Sumbawa di kota umumnya menulis dan berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Di desa-desa memang masih ada penuturnya tapi banyak kata-katanya yang tidak dikenali. Hal-hal itu yang mendorong kami mencoba merevitalisasi dalam bentuk puisi.
Di mana tantangannya?
Saat membuat Lawas, kami kesulitan mencari metafora karena banyak kosakata Sumbawa yang hilang. Sedang kamus Bahasa Sumbawa yang ada saat ini masih sangat tipis, kosakatanya masih sedikit, karena belum memasukkan semua kata. Oleh karenanya kami, para penggiat bahasa dan literasi Sumbawa, mengajak pihak Pemda dan Kantor Bahasa untuk mendukung gerakan revitalisasi, salah satunya menggali dan mengumpulkan kosakata Bahasa Sumbawa yang sudah jarang dituturkan, agar tidak punah.
Kebetulan saat ini saya Ketua Badan Seni dan Budaya PGRI Kabupaten Sumbawa. Saya senang PGRI memback up kegiatan revitalisasi Bahasa Sumbawa melalui puisi. Salah satunya dengan menyelipkan cerita dan puisi bahasa daerah dalam mata pelajaran tertentu. Persoalannya tidak semua guru juga paham Bahasa Sumbawa. Supaya revitalisasi Bahasa Sumbawa di sekolah bisa berjalan, maka gurunya yang lebih dulu disiapkan.
Bukan rahasia lagi, banyak guru yang sudah lupa dengan bahasa daerahnya. Saya kira itu sudah menggejala di banyak daerah, bukan hanya di Sumbawa karena minat terhadap sastra dan literasi di Indonesia, di mana di dalamnya termasuk bahasa, masih rendah. Artinya ini menjadi persoalan dan tanggung jawab kita bersama.
Selain mencari kosakata yang hilang dan mengajarkan Lawas di sekolah, apalagi uoaya yang sudah dilakukan untuk merevitalisasi Bahasa Sumbawa?
Memperbanyak lomba-lomba Lawas seperti yang sudah dilakukan oleh Kantor Bahasa NTB. Tentu bukan hanya Bahasa Sumbawa, namun juga puisi dalam Bahasa Sasak dan Bima karena masing-masing juga memiliki puisi dengan bahasa daerahnya.
Kemudian mengajak anak-anak membaca Lawas secara mandiri, tidak harus berkelompok. Bagi yang tidak paham dengan kosakatanya, bisa mencari rujukannya di kamus bahasa daerah meski, seperti saya katakan tadi, saat ini kamusnya masih minim. Tetapi minimal dapat mengenalkan dan memupuk kecintaan anak-anak muda kepada Bahasa Sumbawa.
Ule Ceny membacakan puisinya di PDS HB Jassin, Senin (21/4/2025). Foto: dok. PojokTIM
Apakah buku Perempuan Penjaga Tradisi yang akan didiskusikan di PDS HB Jassin menggunakan Bahasa Sumbawa?
Tidak, karena untuk audiens umum. Puisi dalam buku Perempuan Penjaga Tradisi ditulis dalam Bahasa Indonesia, tetapi berbicara tentang orang-orang Sumbawa dan kesehariannya, tentang tradisi dan adat-istiadatnya.
Pada puisi berjudul Perempuan Penjaga Rumah Panggung, yang ada dalam antologi Perempuan Penjaga Tradisi, saya bercerita tentang kesetiaan perempuan Sumbawa. Mereka sulit untuk menikah lagi setelah ditinggal mati suaminya. Mereka memilih hidup sendiri sambil menjaga anak-anaknya. Itu bentuk kesetiaan, bukan pengekangan karena tidak ada keharusan untuk melakukan hal itu. Bagi perempuan Sumbawa, jika sudah berjanji, dia akan memegang teguh janjinya. Dia akan iklas menjalani, dan itu adalah ketulusan.
Apa kesan Anda pada TIM?
Ini kedua kalinya saya menginjak TIM. Saya melihat sudah ada perubahan besar di aula PDS HB Jassin. Saya senang ke TIM karena banyak informasi yang bisa saya dapatkan sambil belajar menulis puisi yang lebih baik. Kesan saya, TIM luar biasa dan menjadi sumber inspirasi saya. Keberadaan TIM saat ini yang nyaman dan megah bisa menjadi referensi pemerintah daerah dan para penggiat literasi di daerah, bahwa ruang membaca, ruang untuk mengabadikan karya-karya sastra, sangat penting dan harus ditempatkan secara terhormat.