PojokTIM – Suara Arief Joko Wicaksono bergetar. Senyumnya sirna terbawa angin senja yang malu-malu menyapa. Intonasi suaranya terdengar berat ketika bahasan bergeser ke topik yang lebih serius.
“Kredo (sastra) tidak suci,” tegas Arief setelah menghembuskan asap rokok ke langit-langit selasar Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (3/5/2024).
Arief Joko Wicaksono adalah satu dari sedikit akademisi yang masih rajin menyapa penggiat sastra dan komunitas yang banyak berkegiatan di TIM. Tidak jarang Arief membawa mahasiswa Program Studi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) ke acara-acara sastra, baik diskusi maupun pementasan. Dalam acara Road Show Puisi Menuju Anugerah Sastra dan Kebudayaan 2024 kepada Taufiq Ismail yang digalang Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) dan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.
Arief menjadi oase bagi para penggiat sastra yang ingin mengetahui perkembangan dunia sastra kontemporer. Jejak kepenyairan dan pergulatan yang telah dilalui, menempatkan Arief sebagai pengamat sekaligus panutan.
Berikut petikan perbincangan PojokTIM dengan Arief Joko Wicaksono yang dilakukan dalam beberapa kesempatan, dan terakhir Senin (6/5/2024).
Bisa dijelaskan lebih jauh tentang kredo dalam sastra?
Kredo adalah keyakinan seseorang – dalam konteks ini puisi – pada bentuk, gaya pengucapan atau pemikiran baru. Karena sebuah keyakinan, maka dia harus bisa meyakinkan bahwa kredo yang diusung memiliki dasar dan pijakan yang jelas. Tidak ujug-ujug mengatakan dirinya memiliki kredo tertentu tetapi tidak bisa menjelaskan dari mana, dan bagaimana munculnya keyakinan itu.
Contohnya ketika Sutardji Calzoum Bachri mengusung kredo pembebasan kata dari makna. Dia bisa menjabarkan alasannya, berikut contoh karyanya untuk menguatkan kredo yang diproklamirkan.
Seberapa penting sebuah kredo?
Penting nggak penting. Bagi yang memiliki cara pengucapan atau pemahaman baru, mungkin perlu mengukuhkannya sebagai kredo. Apakah akan diterima, diikuti atau tidak, oleh yang lain, tidak menjadi persoalan. Sebab konteksnya bukan di situ.
Sedang bagi yang berkarya mengikuti teori yang sudah ada, atau sudah diciptakan oleh penyair lain, tidak membutuhkan kredo baru karena sudah mengikuti kredo yang sudah ada. Sebagai contoh, puisi mbeling yang digagas Remy Sylado. Beberapa penyair kemudian ikut menulis puisi mbeling. Meski pada akhirnya hanya Yudhis (Yudistira ANM Massardi) yang berhasil menjadi gunung di antara gunung lainnya.
Apa yang dimaksudkan dengan gunungan para penyair?
Jejak puisi kita terputus-putus. Setelah era Chairil Anwar, mestinya ada yang melanjutkan dengan melakukan eksplorasi puisi lirik yang lebih dalam, sehingga ada kesinambungan. Tahun 50-an Pram (Pramudya Ananta Toer) menulis puisi. Tapi kemudian belok ke prosa, ke novel di mana produktivitas karyanya dicapai saat di Pulau Buru.
Rendra juga sudah menulis puisi sejak tahun 50-an, saat masih SMA sehingga sempat diharap menjadi kelanjutan Chairil. Namun Rendra (akhirnya) bukan kelanjutan Chairil. Puisi-puisi keduanya berbeda. Chairil kuat secara lirik, seperti Senja di Pelabuhan Kecil; Ini kali tidak ada yang mencari cinta … sangat puitis. Sedang Rendra dengan puisi kalimatnya yang bertenaga.
Dalam beberapa puisinya, Sapardi Djoko Damono, Taufik Ismail, Nirwan Dewanto, juga menciptakan puisi-puisi lirik yang romantis seperti Chairil. Namun eranya berbeda jauh sehingga sempat ada kekosongan.
Penyair kita baru sampai pada pencapaian pribadi, bukan suatu pencapaian berkesinambungan sebagai bangsa. Pencapaian individu-individu ini yang saya sebut sebagai puncak gunungan. Jadi ada puncak gunungannya Rendra, Jokpin (Philipus Joko Pinurbo), Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM dan lain-lain dengan puncak gunung tertingginya Chairil Anwar.
Mengapa kesinambungan karya menjadi penting?
Ketika Asrul Sani melalui Surat Kepercayaan Gelanggang menulis, “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia …” maka sesungguh karya sastra kita bagian dari karya dunia. Karya sastra kita harus memiliki jati diri di tengah karya sastra dunia. Ini bukan berarti semua harus seragam dalam berkarya. Hanya perlu ada benang merah yang berkesinambungan sehingga perjalanan puisi Indonesia tidak terputus-putus.
Atau sebenarnya sudah ada namun tidak terangkat karena ketiadaan pengamat dan kritkus sastra?
Itu juga problem besar yang sedang kita hadapi. Jumlah doktor (sastra) terus bertambah, namun kritkus justru semakin langka. Tentu tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka. Banyak penyair, novelis, muda yang alergi dengan kritik. Baru dibilang karyanya kurang greget, langsung marah-marah dan balik mencaci-maki yang mengkritik. Kalau sudah begitu, siapa yang mau memberikan ulasan dan kritik? Padahal karya yang baik membutuhkan kritik.
Seberapa penting kritik dalam karya sastra?
Tidak ada karya besar yang tidak melalui kritik. Kritikus menemukan karya yang bagus lalu diapresiasi, diulas dan dikritik. Dari situ lahir ragam sudut pandang, kritik, dan juga publikasi sehingga karya tersebut akhirnya dikenal luas.
Kemudahan publikasi karya seperti sekarang, baik cetak maupun publikasi media, termasuk media sosial, baru sebatas meningkatkan jumlah karyta, kuantitas. Tetapi kualitasnya, kita tidak tahu karena tidak melalui penilaian dari kritikus, tidak ada saringan oleh redaktur media massa.
Di era sebelumnya, seseorang baru dikatakan penyair jika karyanya sudah dimuat di media tertentu yang memiliki wibawa karena digawangi oleh redaktur yang paham tentang puisi. Misalnya untuk bisa diundang dalam kegiatan sastra, seperti Forum Puisi Indonesia (1987), karya dia sudah dimuat di beberapa media yang terbit secara nasional. Jadi ada ukurannya.
Wawancara PojokTIm dengan Arief selesai ketika azan Margrib berkumandang. Menyelusup di antara langit-langit selasar TIM yang mulai gelap. Dengan langkah pasti, Arief mengikuti Isson Khairul, M. Oktavianus Masheka, dan Ewith Bahar menuju masjid. Menyudahi percakapan tanpa titik.