PojokTIM – Tawa Maman S Mahayana pecah memenuhi saluran telepon melalui aplikasi WhatsApp di tengah bahasan serius tentang sastra masuk kurikulum yang merupakan program Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
“Ada buku yang direkomendasi memuat hubungan jantina (jantan-betina) secara detail. Apakah itu cocok dijadikan bacaan siswa SMA yang masih “pandangan hidup”? Bagaimana guru SMA menerangkannya di dalam kelas?” gugat Kang Maman, demikian sapaan akrabnya, Senin (27/5/2024).
Seperti diketahui, Kemendikbudristek melalui Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) telah meluncurkan program sastra masuk kurikulum. Dalam buku panduan yang telah beredar, tercatat ada 177 buku yang direkomendasikan untuk digunakan di sekolah-sekolah sesuai jenjang pendidikan.
Sejak diluncurkan,rekomendasi yang disusun oleh para kurator seperti Eka Kurniawan, langsung menuai kontroversi menyangkut metode pemilihan buku yang direkomendasi, kompetensi kurator, dan banyaknya data yang tidak sesuai dengan fakta. Bahkan sastrawan Sutardji Calzoum Bachri yang masih segar-bugar ditulis telah meninggal dunia tanggal 17 Juli 2020. Di halaman lain, Pramoedya Ananta Toer disebut pernah dinobatkan sebagai peraih hadiah Nobel. Padahal Pram baru sebatas dicalonkan, belum pernah meraih Nobel.
Bukan hanya kritik keras, sejumlah sastrawan, termasuk Nirwan Dewanto yang bukunya masuk dalam rekomendasi, ternyata juga menolak, sehingga akhirnya Kemendikbudristek menarik buku panduan tersebut. Namun softcopy dalam bentuk PDF terlanjur tersebar sehingga penarikannya tidak cukup dengan pernyataan saja. Harus ada langkah-langkah terukur guna memastikan informasi tersebut tidak disalahgunakan.
Berikut wawancara khusus dengan Maman S Mahayana – sastrawan yang juga kritikus – terkait program sastra masuk kurikulum yang tengah menjadi sorotan sejumlah pihak.
Program sastra masuk kurikulum yang diluncurkan Kemendikbudristek menuai kontroversi. Tanggapan Anda?
Sejak tahun 1980-an keluhan publik bahwa minat baca para siswa kita sangat rendah yang lalu menciptakan opini, bahwa sumber masalahnya terletak pada minimnya waktu pengajaran sastra di sekolah, seperti lingkaran hantu yang berputar-putar di sekitar sekolah, guru, dan kurikulum. Tetapi, yang paling mantap menjadi kambing hitam adalah kompetensi guru di bidang sastra. Meskipun begitu, jawaban para guru juga tidak kalah mantapnya: “Memangnya guru ngurusin sastra doang?”
Maka, serangkaian pertemuan ilmiah, seminar, diskusi dan berbagai kerabatnya, coba dilakukan. Muaranya jatuh pada kurikulum yang kerap gonta-ganti mengikuti pergantian menterinya.
Oleh karenanya, program sastra masuk kurikulum sesungguhnya merupakan program yang dalam hampir tiga dekade pernah diperjuangkan dan dirancang implementasinya—dengan format lain, oleh otoritas terkait, yaitu Depdikbud. Peluncuran program itu sebagai “Turunan dari Episode Merdeka Belajar ke-15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar” bagi sastrawan laksana harapan yang sekian lama terpendam dan hampir padam, kini (seolah-olah) bersemi kembali.
Salah satu implementasi dari program sastra masuk sekolah adalah penyebaran buku-buku sastra dengan berbagai ragamnya, termasuk di dalamnya, komik (cerita bergambar) dan esai. Nah, bagian itulah yang akan jadi pemantik untuk meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas, serta nalar kritis peserta didik.
Kurikulum ideal yang dirumuskan para dewa sekalipun, jika buku-bukunya tidak tersedia di (perpustakaan) sekolah atau para siswa sekadar dapat menjumpai judulnya saja, niscaya tetap dianggah hanya teori. Atas pertimbangan itu, program sastra masuk kurikulum perlu kita dukung sampai titik darah penghabisan. Kita sambut dengan penuh optimisme, kita kawal implementasinya, kita protes keras jika sekadar omdo – omong doang – dan kita sempurnakan titik-titik lemah yang mungkin bakal menjadi problem serius program ini.
Apa pentingnya buku sastra masuk sekolah?
Penyebaran karya sastra ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia—lewat pengiriman fisik atau bentuk digital—tentu saja membuka peluang yang lebih luas bagi para siswa. Bukan untuk menjadi sastrawan, melainkan untuk meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas, serta nalar kritis peserta didik sebagaimana yang menjadi tujuan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 yaitu untuk menguatkan kompetensi dan budaya literasi membaca. Penyebaran buku-buku sastra—meski lewat format digital, memungkinkan imajinasi para siswa berselancar menjelajahi dunia fiksional yang bebas-merdeka.
Banyak yang menilai, permasalah yang terjadi terkait panduan sastra masuk kurikulum karena faktor kuratornya. Bahkan buku-buku yang terpilih milik kuratornya sehingga obyektifitasnya diragukan. Menurut Anda?
Saya tidak bicara orang per orang. Dalam program sepenting ini, mestinya komposisinya tidak homogen, tidak berasal dari kelompok tertentu, apalagi hanya berdasarkan kedekatan. Harus melibatkan banyak unsur dengan ragam latar keilmuan. Selain sastrawan, elok juga jika pakar pendidikan, ahli sastra anak, psikolog, dan kritikus, dijawil untuk ikut urun-rembuk memikirkan program nasional ini.
Banyak teks atau narasi dalam novel yang direkomendasikan mengandung unsur seks, alat kelamin, penggambaran bentuk tubuh, serta hubungan antara jantan dan betina. Apakah narasi demikian cocok untuk siswa SMA yang tidak pernah diberi pelajaran tentang seks? Apakah tidak malah menimbulkan fantasi berlebihan karena di usia mereka, libido masih tinggi. masih “pandangan hidup”? Di sini kan perlu pendapat seseorang dengan keahlian khusus.
Bagaimana dengan peran guru?
Nah, mestinya guru dilibatkan sejak dini. Sebab yang paling tahu perkara ajar-mengajar itu guru. Maka mereka harus dilibatkan dalam menentukan pilihan buku yang direkomendasikan. Tetapi jangan asal guru. Dalam hal ini, guru yang paham betul perkara dunia jungkir balik kesusastraan. Jadi, yang paling ideal adalah melibatkan guru yang berprofesi sebagai sastrawan atau sastrawan yang juga guru. Informasi dari guru-sastrawan atau sastrawan—guru ini autentik pengalaman mereka di lapangan, bukan berdasarkan konsep ajar-mengajar yang tertulis dalam buku teori. Jadi, guru yang memang seumur hidupnya mengabdi untuk ngajar dan nyastra.
Anda juga mempersoalkan jumlah buku yang direkomendasikan yakni hanya 177 judul?
Berpegang pada logika umum, semakin banyak buku yang dikirim ke sekolah atau yang dapat diakses para siswa dan guru, semakin terbuka peluang mewujudkan tujuan program sastra masuk kurikulum. Maka jumlah buku sastra—termasuk cergam dan nonfiksi—yang direkomendasikan untuk setiap jenjang pendidikan perlu ditambah secara signifikan. Jumlah buku sastra sebanyak 43 buah untuk SD/MI, 29 untuk SMP/Mts, dan 104 untuk SMA/SMK/MA/MAK, gak nendang, terlalu amat sedikit.
Sungguh mengherankan, bagaimana para kurator menentukan jumlah buku untuk ketiga jenjang pendidikan itu seperti terperangkap semangat puas diri: yang penting karyaku masuk! Akibatnya, ya itu, jumlah buku yang direkomendasikan jadinya terkesan ala kadarnya. Katanya, buku-buku yang direkomendasikan itu merepresentasikan keberagaman: (1) gender, daerah/geografi, dan topik; (2) zaman; (3) tema; (4) kelompok minoritas; dan (5) bentuk sastra. Tetapi mengapa jumlah buku yang direkomendasikannya hanya segitu. Bahkan, untuk bacaan SMP/Mts, rasanya tidak masuk akal program nasional cuma merekomendasikan 29 buku. Terlalu naif.
Dengan dasar pemikiran itu, layak dipertimbangkan dan sama sekali tak berlebihan jika jumlah buku untuk SD/MI 200 buah; untuk SMP/Mts 250 buah, dan untuk SMA/SMK/MA/MAK 300 buah; atau 300 buku untuk SD/MI, 250 buku untuk SMP/Mts, dan 200 buku untuk SMA/SMK/MA/MAK. Niscaya tidak sulit-sulit amat menemukan jumlah buku segitu yang sesuai dengan kriteria di atas. Jika program penyebaran buku sastra ke sekolah-sekolah dapat terwujud, jangan salahkan program ini jika dalam satu—dua dekade ke depan, muncul penulis atau sastrawan besar yang mengguncangkan dunia!
Proporsionalitas jumlah buku juga dapat digunakan untuk memilih karya berdasarkan asal pengarang. Yang terjadi pada buku yang direkomendasikan tampak tidak mempertimbangkan daerah atau geografi. Tidak banyak kita jumpai karya pengarang dari kantong-kantong produksi karya sastra: Sumbar, Sumut, Lampung, Banjarmasin, Makassar, Palembang, Pekanbaru, Tanjungpinang, Kendari, dan entah wilayah mana lagi. Memangnya para pengarang di wilayah-wilayah itu tidak ada yang menghasilkan karya berkualitas dan cocok untuk pengajaran sastra? Jadi, pertimbangan keberagaman daerah/geografi.
Buku-buku yang direkomendasikan berasal dari penerbit mayor. Apakah ini bentuk pengingkaran terhadap keberadaan penerbit indie?
Saya tidak tahu alasannya karena tidak dilibatkan. Tetapi menurut saya banyak buku-buku sastra tdari penerbit indie yang memiliki kualitas bagus. Intinya jangan hanya terpaku pada Jakarta. Penerbit-penerbit indie di daerah justru yang paling paham buku-buku seperti apa yang cocok dengan daerahnya. Ada novel-novel sastra yang mengangkat tema lokalitas, yang belum tentu cocok dengan daerah lain. Jadi keberagaman daerah, kekuatan lokal, harus juga menjadi perhatian dalam merekomendasikan buku-buku sastra untuk sekolah.
Dengan banyaknya pilihan buku, apakah akan memudahkan guru dalam memilih buku sesuai mata pelajaran yang diajarkan?
Benar, sepanjang tidak diberi instruksi yang mengarahkan, doktriner. Cukup sediakan buku-bukunya. Karya sastra itu dapat diperlakukan sebagai, potret sosial-budaya, catatan peristiwa, sejarah pemikiran, dinamika perubahan sosial, pesan filsafat, agama, ideologi, kemanusiaan, dan seterusnya. Guru-guru kreatif sudah sangat paham bagaimana karya sastra tertentu, bisa ditarik ke mana-mana, ke pelajaran apa pun, ke bidang apa pun sesuai dengan kekuatan karya bersangkutan.
Misalnya, Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Ia boleh ditarik ke pesan agama, linguistik, filsafat, budaya Melayu, sejarah, dan seterusnya. Karya-karya besar—karena ia mengangkat problem manusia dan kemanusiaan, maka di dalamnya kita “menemukan” pelajaran lain, ilmu lain, bidang lain. Itulah sebabnya, kajian karya sastra kini melebar memasuki berbagai bidang: kultur etnik, lingkungan hidup, kuliner, dan seterusnya.
Aspek apakah yang terutama harus diperhatikan dalam memilih buku sastra untuk sekolah?
Pemilihan buku sastra untuk bahan penunjang, pelengkap atau pengembang pengajaran (sastra), memang bukan untuk membuat kanonisasi (sejarah sastra) atau seleksi karya unggulan. Sama sekali bukan untuk itu, melainkan untuk menawarkan kesesuaian, ketepatan, dan kemungkinan karya itu dimanfaatkan bagi pengembangan (i) kreativitas, (ii) apresiasi, dan (iii) wawasan siswa.
Pertimbangan, keterbacaan, keterpahaman, dan kesesuaian dengan tingkat pengetahuan siswa dalam pemilihan buku sastra adalah aspek yang harus menjadi perhatian utama. Dalam pemilihan buku sastra itu, ada kriteria penilaian dan argumen yang mendasarinya.
Ketika kumpulan puisi J.E. Tatengkeng atau Amir Hamzah dipilih untuk bahan penunjang, pelengkap atau pengembang pengajaran (sastra) di sekolah dasar, pertanyaannya: sesuai nggak dengan tingkat keterbacaan, keterpahaman, dan kesesuaian wawasan atau pengetahuan siswa SD? Sebagian besar guru sastra (di SD, SMP, SMA) saja banyak yang nggak mudeng, gimana nasib para siswanya?
Misalnya lagi, novel Stasiun, Putu Wijaya yang peristiwanya dikembangkan lewat pikiran tokoh-tokohnya yang lalu dikenal sebagai teknik arus kesadaran (stream of consciousness), bagaimana menjelaskannya berkaitan dengan alur cerita jungkir balik yang menghancurkan logika formal dan hubungan sebab-akibat?
Dari sekian banyak catatan, menurut Anda persoalan apa yang sangat serius dari program sastra masuk kurikulum?
Masalah paling serius terletak pada buku panduan. Selain bagian-bagian yang disebut di atas, juga menyangkut perkara penyajian. Narasinya terbata-bata; kalimat yang sama muncul berulang kali, penjelasan terlalu umum, cenderung ngawur, dan beberapa informasi yang menyesatkan. Contohnya tentang Sutardji yang ditulis sudah wafat, padahal masih jagjag waringkas. Atau Pramoedya yang disebut telah menerima hadih Nobel, sementara faktanya baru sebatas dicalonkan.
Kemendikbudristek akhirnya mencabut rekomendasi yang dipersoalkan banyak pihak. Anda puas?
Ini bukan soal puas atau tidak puas. Dicabut karena ada kesalahan, itu wajar. Kita harus berani mengakui kesalahan yang terjadi. Tetapi bukan berarti membatalkan program yang bagus. Cari akar masalahnya dan perbaiki. Ini soal bangsa, generasi mendatang, bukan masalah orang per orang. Masa hanya karena kesalahan satu-dua orang lantas mengggugurkan program yang baik.