PojokTIM – Tidak ada yang berubah dari penampilan Kepala Uni Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) DKI Jakarta Diki Lukman Hakim. Wajahnya tetap semringah. Tidak ada guratan lelah meski sore telah lama membekap.

“Baru pindah ke sini karena ruang kerja yang lama sedang diperbaiki,” ujar Diki ketika PojokTIM menyambangi ruang kerjanya di Lantai 3 Gedung Ali Sadikin komplek Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Rabu pekan lalu.

Di bawah komando Diki Lukman Hakim sejak Maret 2018, PDS HB Jassin menjadi payung kegiatan komunitas sastra di lingkungan TIM. Hampir setiap hari ada kegiatan di aula PDS seperti diskusi hingga peluncuran buku seni dan sastra. Koleksi yang dimiliki PDS HB Jassin juga terus bertambah.

“Saya ingin PDS HB Jassin menjadi gerbang sastra nasional. Dengan sistem digitalisasi, saya berharap nantinya semua dokumen sastra Indonesia bisa dicari dari sini, meski mungkin fisiknya berada di tempat lain,” kata Diki, optimis.

Wawasan dan pengetahuan Diki Lukman Hakim tentang perpustakaan dan dokumen sastra sangat mumpuni. PojokTIM ditemani Ketua Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Imam Ma’arif mendapat banyak penjelasan terkait program yang telah dilaksanakan dan rencana ke depan untuk membawa PDS HB Jassin menjadi pusat dokumentasi sastra kelas dunia. Berikut rangkumannya.

Apa kendala yang dihadapi dalam mengelola PDS HB Jassin setelah diserahkan ke Dispusip DKI Jakarta?

PDS HB Jassin baru diserahkan ke Pemprov DKI Jakarta pada Januari 2018. Setelah diserahterimakan kemudian dikelola oleh Dispusip. Bulan Maret 201`8 saya ditunjuk sebagai Kasatpel (Kepala Satuan Pelaksana). Saat itu koleksinya tidak tertata dengan baik karena tempat yang dimiliki yayasan PDS HB Jassin terbatas. Saya memaklumi hal itu. Jumlah dokumentasi dan luas ruangan tidak seimbang. Banyak koleksi lama yang butuh penanganan segera terutama naskah-naskah sastra.

Maka ketika ditunjuk untuk mengurusi PDS HB Jassin, fokus utama saya adalah membenahi koleksinya, jangan sampai rusak. Kedua, bagaimana cara menambah koleksinya dengan karya kekinian. Sebab sastra terus berkembang maka perlu menambah koleksi sesuai perkembangan zaman. Ketiga, bagaimana koleksi yang ada dapat diakses oleh masyarakat luas. Kami kemudian membuat proyek digitalisasi. Kita scan koleksi yang akan digitalisasi. Tidak semua koleksi bisa diunggah ke internet karena terkait dengan legalitas dan copyright, hak cipta. Koleksi-koleksi yang sudah lepas copyright-nya, sudah berusia 50 tahun ke atas, bisa digitalisasi dan diunggah ke internet. Kebanyakan naskah dan kliping koran.

Namun ternyata koleksi yang sudah didigitalisasi tidak bisa langsung di-publish karena terkendala teknis. Sistem kita belum bisa diakses secara langsung, masih manual. Jadi pengguna datang ke sini, cari data koleksi, setelah itu diberi data aksesnya. Saat ini kita masih terus berupaya meningkatkan sistemnya. Mudah-mudahan awal tahun 2025 koleksi yang sudah kita scan bisa dimasukkan dalam aplikasi yang sudah kita siapkan sehingga dapat diakses kapan pun, dan dari mana pun.

Kalau sekarang, bagaimana prosedur untuk mengakses koleksi PDS HB Jassin dan apakah terbuka untuk umum?

Terbuka untuk umum, siapa pun bisa akses. Tinggal mendaftar jadi anggota PDS HB Jassin melalui aplikasi JakLitera. Download aplikasinya, kemudian mendaftar dengan memasukan nama, NIK (Nomor Induk Kependudukan), dan nomor kontak , telepon atau email. Semudah itu. Tetapi untuk bisa pinjam buku yang akan dibawa pulang, harus ber-KTP DKI Jakarta, atau mereka yang berdomisili, bekerja atau sedang bersekolah di Jakarta.

Artinya koleksi buku di PDS boleh dipinjam?

Bisa dipinjam, tapi khusus buku baru yang koleksinya banyak. Misalnya, PDS punya 10 eksemplar buku dari 1 judul. Maka sebagian bisa dipinjam oleh masyarakat. Tapi kalau copy-nya hanya 1 eksemplar dan langka, tidak diperbolehkan untuk dibawa pulang. Hanya boleh dibaca di tempat. Itu merupakan bagian dari cara kita melindungi koleksi yang ada. Kita tidak ingin ada koleksi  yang rusak atau hilang. Dulu, model penyimpanan koleksi oleh yayasan menggunakan map. Nah, ada beberapa map dalam sebuah bundel yang kosong. Koleksinya sudah tidak ada padahal tercantum dalam indeks. Kami maklum karena saat itu siapa saja bisa mengakses tempat penyimpanan koleksi PDS HB Jassin. Setelah diserahkan ke Dispusip, kami tidak ingin hal itu terjadi lagi sehingga memaksimalkan cara penyimpanan dan mendata siapa saja yang mengakses koleksi PDS. Bahkan untuk koleksi-koleksi lama kita terapkan sistem pelayanan close acces. Tidak bisa langsung ke tempat penyimpanan, melainkan kita yang mengambilkan. Kecuali untuk buku-buku baru, semua open acces. Anggota PDS bisa langsung ke rak, ambil dan baca atu pinjam.

Berapa banyak koleksi PDS HB Jassin?

Saat kita terima dari yayasan, jumlahnya sekitar 165.000 naskah, baik buku, kliping koran, surat, dan dokumen lainnya. Saat ini koleksinya sudah mencapai 190.000 item.

Kapan PDS HB Jassin menempati Gedung Ali Sadikin?

Sejak tahun 2022. PDS menempati 5 lantai, Lantai 3, 4, 5, 6, dan 7 bersama dengan Perpustakaan Jakarta. Meski di lantai yang sama, namun pengelolaan PDS HB Jassin dengan Perpustakaan Jakarta berbeda, karena subyeknya berbeda. Bahkan buku-buku sastra yang ada di Perpustakaan Jakarta, kita pindahkan ke PDS. Supaya koleksi buku-buku sastra ngumpul di satu tempat.

Sejak 2023 alhamdulillah PDS HB Jassin dan Perpustakaan Jakarta naik statusnya menjadi UPT, dari sebelumnya Satpel. Naik 2 tingkat. Secara organisasi jelas berpengaruh baik secara kewenangan maupun ruang geraknya.

Ada anggapan pengelolaan PDS HB Jassin sama dengan perpustakaan umum di mana koleksi yang dihancurkan atau dimusnahkan jika sudah tidak ada yang membaca. Tanggapan Anda?

Pengelolaan PDS tentu beda dengan perpustakaan umum. Saat awal masuk, saya melakukan kajian dulu. Karya sastra tidak habis dimakan waktu. Beda dengan buku-buku umum, yang sudah tidak up to date. Misalnya buku tentang pemograman komputer zaman dulu. Saat ini mungkin sudah tidak ada yang mencari. Nah, dalam pengelolaan perpustakaan ada yang namanya penyiangan, menarik buku-buku yang sudah tidak dibaca untuk disimpan di storage, gudang penyimpanan.

Tidak dimusnahkan karena belum ada mekanisme atau payung hukum untuk memusnahkanan buku-buku yang sudah tidak dibaca. Mestinya ada aturan pemusnahan buku. Tapi sebelum dimusnahkan di-digitalkan dulu. Jadi meski fisiknya hilang, informasinya tetap tersimpan di server. Tapi untuk koleksi sastra, termasuk buku psikologi dan filsafat, tidak akan dimusnahkan sekalipun telah di-digitalisasi.

Artinya, khusus buku-buku sastra dan sejenisnya, keberadaannya tidak tergantung jumlah pembaca dalam rentang waktu tertentu?

Kami tidak menggunakan acuan seperti itu. Tetap kami simpan dan rawat karena bagian dari sejarah sastra. Bedanya hanya pada rak display saja. Analoginya, rak etalase hanya muat 100 item barang. Ketika masuk item baru, maka item lama diturunkan dari rak display. Disimpan tapi tetap bisa dicari dan diakses melalui komputer. Ketika ada pengunjung yang membutuhkan, maka akan dikeluarkan.

Jadi tidak ada buku sastra yang dibuang apalagi dimusnahkan. Semua koleksi masih bisa diakses dan dibaca. Hanya cara aksesnya yang berbeda dengan buku baru. Kalau buku baru bisa langsung diambil, koleksi lama diakses dulu dari komputer, lalu nanti ada petugas yang mengambilkan.

Apakah ada prosedur khusus dalam mengakses koleksi PDS HB Jassin untuk tujuan penelitian?

Seperti kita ketahui, sejak dulu koleksi PDS menjadi referensi penelitian sastra dunia. Banyak peneliti sastra dari luar negeri yang datang ke sini untuk mencari bahan yang dibutuhkan. Sampai sekarang masih kita layani seperti biasa, kita dampingi dan bantu mencari kolekasi yang diinginkan. Jadi belum ada prosedur khusus.

Ke depannya, supaya lebih proper, kita siapkan ruang khusus untuk peneliti berikut perangkat yang dibutuhkan. Misalnya scanner, kartu akses khusus, juga personal assistant seperti di Perpustakaan Nasional.

Salah satu kegiatan komunitas di aula PDS HB Jassin. Foto: Ist

Ada informasi, kata “sastra” dalam PDS akan dihilangkan sehingga tinggal Pusat Dokumentasi HB Jassin? Benarkah seperti itu?

PDS ini kan ikonnya Pak HB Jassin yang identik dengan sastra. Jadi tidak mungkin menghilangkan kata sastranya. Tetapi memang dalam nomenklatur, dokumentasi itu dianggap kata kerja sehingga mestinya dokumen. Oleh karenanya, jika pun ada perubahan, paling hanya mengubah kata dokumentasi menjadi dokumen.  Itu pun sebatas pada nomenklatur, tata penamaan saja.

Anda sudah 6 tahun mengelola PDS HB Jassin, dan diproyeksi untuk menjabat kepala Dispusip di masa mendatang. Apa program yang sudah Anda siapkan dalam rangka pengembangan PDS HB Jassin?

Saya hanya memikirkan pekerjaan yang sedang diamanatkan, belum berpikir ke mana-mana. Saya juga tidak mau berpuas diri dengan capaian sekarang. Saat ini saya sedang mencoba mengembangkan PDS sebagai pusat sastra nasional di mana semua akses sastra ada di sini, walaupun tidak memiliki koleksi aslinya.

Misalnya, fisiknya ada di Leiden (Belanda), di Sumatera Barat, di Aceh, tapi database-nya, atau koleksi digitalnya terkumpul di PDS HB Jassin. Gerbang informasinya ada di sini. Sebagai contoh, kita mendigitalkan lukisan yang dimiliki DKJ, dengan kompensasi kita rawat koleksinya. Jadi yang mau melihat koleksi lukisan DKJ bisa melalui PDS, meski fisiknya tetap ada di DKJ. Kerjasama seperti itu bisa juga dilakukan dengan perpustakaan-perpustakaan lain misalnya perpustakaan Taufik Ismail, perpustakaan Fadli Zon, dan lain-lain.

Tetapi tetap akan  mencari dan menambah koleksi fisiknya?

Tentu saja. Meski sudah ada digitalnya, kita juga tetap berusaha menambahkan koleksi fisiknya. Kalau yang tidak bisa kita miliki, baru ditawarkan kerjasama. Penambahan koleksi adalah semangatnya Pak HB Jassin. Kita tidak hanya menunggu datangnya koleksi baru, tetapi juga proaktif. Termasuk dengan merangkul sastrawan baru, atau yang memiliki koleksi karya sastra baru. Tidak hanya di Jakarta, tapi di seluruh Indonesia, bahkan dunia.

Di mana posisi komunitas sastra bagi PDS HB Jassin?

Sejak awal mengelola PDS, saya menganggap komunitas sastra sebagai hartanya, selain tentunya koleksi sastra di dalamnya. Komunitas memegang peran vital. Tanpa komunitas tidak ada yang memberi makna pada PDS HB Jassin. Karena komunitas yang mengisi kegiatan di PDS. Kita hanya fasilitator. Konsepnya, kegiatan di PDS, termasuk Perpustakaan Jakarta, berkolaborasi dengan komunitas. Yang penting, dari setiap kegiatan ada output yang kami dapatkan. Misalnya, kegiatan diskusi Meja Panjang, output-nya ya hasil diskusi. Atau kegiatan bedah buku, maka output-nya makalah untuk menambah koleksi PDS.

Jadi ke depan, kegiatan-kegiatan di PDS HB Jassin tetap melibatkan komunitas?

Tentu saja karena sejatinya komunitas, masyarakat, yang mengisi kegiatan di PDS. Hanya saja, terkait anggaran, memang terbatas. Jadi ada pengaturan, supaya penggunaan anggaran cukup sampai akhir tahun. Syukur semua komunitas dapat bagian. Itu sebabnya saat ini sedang dilakukan pendataan komunitas se-Jabodetabek.

Apa kriteria komunitas yang bisa membuat kegiatan di PDS HB Jassin?

Secara garis besar, komunitas yang bergerak di bidang sastra, ada alamat dan pengurusnya yang jelas. Tidak baku, tetapi itu yang menjadi referensi awal kita.

Langkah apa yang sudah dilakukan untuk memastikan adanya regenerasi sastra?

Isu itu sudah ada sejak saya datang ke PDS, lalu kita kritisi dan tindaklanjuti secara perlahan. Melalui tahapan. Setiap ada kegiatan, saya selalu pesan  supaya menyertakan anak-anak sekolah, kelompok mahasiswa. Jika kegiatan itu diadakan oleh anak-anak muda, maka kita juga akan mengajak seniman senior untuk mengkurasi, supervisinya. Jadi ada kolaborasi. Tidak sertamerta membuang yang senior dan mengganti dengan yang muda.

Bagaimana dengan perangkat podcast yang ada di PDS, apakah juga terkait upaya regenerasi? 

Saya berharap semua komunitas bisa memanfaatkan media digital untuk berbagai ilmu dan pengetahuan sekaligus mengenalkan karyanya melalui podcast. Sebab sekarang eranya digital dan medsos. Silakan manfaatkan perangkat audio visual yang ada. Gratis, bahkan kita sediakan operator dan editing video. Hasilnya boleh ditayangkan di channel YouTube, IG, TikTok, atau akun media sosial lainnya milik komunitas.

Bagaimana prosedurnya jika ada seniman atau komunitas yang ingin menggunakan ruang podcast?

Sama seperti mau pakai ruangan di PDS HB Jassin. Diajukan dulu karena kita harus cocokkan jadwalnya. Untuk saat ini waktunya masih relatif fleksibel, belum terlalu padat. Silakan seniman dan komunitas memanfaatkan fasilitas yang ada di PDS. Bukan hanya offline, namun juga daring.

Ada pesan untuk para seniman  yang sering berkegiatan di PDS HB Jassin?

Masih terkait regenerasi, agar teman-teman yang lebih senior mau membuka diri, mengajak yang masih di luar agar ikut berkegiatan di TIM. Mungkin saja ada seniman atau komunitas seni di luar yang ingin membuat kegiatan di sini, tapi belum tahu caranya, atau belum satu frekuensi dengan teman-teman di TIM. Mari kita rangkul mereka supaya TIM menjadi pusat kegiatan seni untuk semua. Mengembalikan marwah TIM sebagai pusat kesenian Indonesia tentunya menjadi tugas kita bersama.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini