PojokTIM – Perwakilan seniman satu suara terkait perlunya segera dilakukan pembenahan terhadap kawasan eks posko Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (FSP-TIM) atau #saveTIM menjadi ruang alternatif inklusif bagi semua seniman yang berkiprah di lingkungan Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) TIM. Penggunaan ruang alternatif tidak dikenakan biaya namun materi yang akan ditampilkan perlu dikurasi terlebih dulu untuk menjaga marwah TIM sebagai pusat kesenian Jakarta, bahkan Indonesia.
Demikian terungkap dari hasil focus group discussion (FGD) yang dihadiri perwakilan seniman, UP PKJ TIM, PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), di aula Teater Besar TIM, Jumat (13 Desember 2024).
Dalam paparannya Exan Zen mengatakan, sebelum revitalisasi, di kawasan TIM terdapat banyak ruang alternatif. “Ruang seni alternatif bukan hal baru. Jauh sebelum revitalisasi, ketika TIM masih dikelola oleh Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta (BP PKJ), banyak ruang terbuka yang menjadi ruang-ruang alternatif, untuk diskusi, tempat latihan dan pertunjukan seni,” terang Exan, salah satu seniman yang aktif dalam gerakan #saveTIM,
Menurut Exan, ruang-ruang aspirasi tersebut antara lain Teater Halaman. Berlokasi di belakang Gedung Graha Bhakti Budaya, Teater Halaman pernah menjadi bagian penting sejarah berdirinya Federasi Teater Indonesia (FTI) pada tanggal 27 Desember 2004 yang dipelopori oleh Radhar Panca Dahana yang melakukan deklarasi bersama Gunawan Muhammad, Nano Riantiarno, Didi Petet, Danarto dan ratusan seniman teater dari berbagai daerah.
“Kemudian ada Pendopo Sanggar Baru yang berlokasi di dekat Masjid Amir Hamzah sebagai ruang apresiasi terbuka. Setiap tanggal 7, Pendopo Sanggar Baru menggelar Teater Tujuan dan pernah menghadirkan maestro Wayang Suket Slamet Gundono dalam sebuah forum diskusi teater tradisi Sintren,” ujar Exan.
Exan Zen saat memaparkan materi FGD. Foto: Ist
Ruang alterternatif lainnya adalah halaman parkir gedung Graha Bakti Budaya (GBB), yang pernah menjadi lokasi pagelaran wayang dengan dalang Sujiwo Tejo dengan bintang tamu Iwan Fals. Selain itu ada juga Plaza Panggung Terbuka Teater Halaman yang merupakan area serba guna dan dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan kesenian.
“Bahkan halaman parkir depan Planetarium juga sering menjadi tempat pertunjukan seni alternatif, dan menjadi tempat pagelaran bulanan secara rutin oleh Taman Sastra Cikini yang dimotori Ical Vrigar, Seni Lapak Cikini yang diprakarsai Fatin Hamama, dan juga Kenduri Cinta Emha Ainun Nadjib,” papar Exan.
Pasca revitalisasi di mana sebagian besar gedung yang ada di TIM dikelola oleh PT Jakpro, tidak tersedia lagi ruang alternatif. Seniman terkesan dipaksa untuk menggunakan ruang-ruang berbayar sehingga mengesampingkan fungsi pembin aan. Jika tidak mampu membayar sewa gedung, disuruh hengkang ke gedung-gedung lain di luar TIM sehingga terkesan TIM bukan lagi rumah bagi seniman.
“Oleh karenanya, perlu segera ada ruang-ruang alternatif agar TIM tetap menjadi kawasan kesenian yang berkualitas. Sebab, konsep ruang alternatif telah disampaikan oleh FSP-TIM sejak awal dimulai revitalisasi. Pada FGD di Masjid Amir Hamzah, bahkan sudah ada desain di rooftop eks Gedung Arsip (Perpustakaan), namun hingga saat ini belum pernah terealisasi karena Jakpro tidak sepenuhnya menjalankan hasil FGD,” tegas Exan.
Perwakilan seniman lainnya, termasuk Mujib Hermani menyepakati pentingnya segera dibangun ruang alternatif di eks posko #saveTIM. Menurut Mujib, jika memungkinkan ruang alternatif bukan hanya di eks posko #saveTIM, namun diperluas hingga kawasan di sekitar gedung Teatar Besar.
“Penting juga ada warung seni dan laboratorium kesenian sebagai ruang kerja seniman,” kata Ketua Masyarakat Penggiat Seni Indonesia (MPSI) tersebut.
Menanggapi usulan dan saran sejumlah seniman, Dian Permana selaku perwakilan PT Jakpro menyatakan, pihaknya mendukung sepenuhnya hasil FGD dan siap menindaklanjuti. Hal senada disampaikan Kepala UP PKJ TIM Arif Rahman.
“Pembangunan ruang alternatif di eks posko #saveTIM akan dimulai pada TA 2025. Untuk itu, setelah ini segera dibentuk pokja (kelompok kerja) dengan anggota perwakilan seniman, DKJ, Jakpro, dan tentunya UP PKJ,” ujar Arif.
Kepala UP PKJ TIM Arif Rahman memberikan sambutan dalam forum FGD. Foto: Ist
Kuratorial
Forum FGD sempat memanas ketika membahas tentang perlu-tidaknya dilakukan kurasi terhadap kegiatan yang akan ditampilkan di ruang alternatif, dan siapa yang bertindak sebagai kuratornya.
Mujib meminta agar kurasi tidak dilakukan dengan kaku karena semangat ruang alternatif adalah menampung kegiatan semua seniman sebagai bagian dari fungsi pembinaan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
“Oleh karenanya tim kuratorial dibahas bersama,” tegas Mujib.
Sementara Sihar Ramses Simatupang meminta agar kurasi tidak menjadi momok menakutkan sehingga membatasi kebebasan berekspresi. Bahkan David Karo-karo menolak jika kurasi dilakukan oleh DKJ.
Hal itu langsung memancing perdebatan. Ketua Komite Teater DKJ Kris Aditya menyatakan keberatannya dengan tudingan David yang menurutnya sangat tendensius.
“DKJ memiliki standar kurasi sesuai UU Pemajuan Kebudayaan yang telah disosialisasi secara luas. Tidak setuju DKJ menjadi kuratorial tidak apa-apa sebagai sebuah aspirasi. Namun mengatakan DKJ tidak mampu dan tidak jelas kerjanya, itu kesimpulan yang harus jelas dasarnya. Jangan asal bicara tanpa fakta,” ujar Aditya.
Seniman lainya seperti Iwan Burnani, Mogan Pasaribu dan Octavianus Masheka menyepakati bahwa pementasan di ruang alternatif harus melalui kurasi. Meski demikian, Ical Vrigar menekankan agar perbedaan terkait hal-hal teknis tidak perlu diperlebar.
“Seniman harus bersatu. Jangan lagi ada dualisme kepentingan di luar kepentingan kesenian,” seru Ical dalam acara yang dipandu Ketua Simpul Seni DKJ Imam Ma’arif dan dihadiri sekita 40 seniman lintas genre.