PojokTIM – Wajahnya tak pernah lepas dari senyum. Bahkan ketika membahas hal-hal yang membuatnya merasa tidak nyaman. Itulah Ujang Kasarung yang tentunya tidak sedang terserimpet sarung.

“Ini bukan blangkon. Kalau di Sunda, namanya iket,” ujar Ujang kepada PojokTIM, Kamis lalu di kantin kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini, Jakarta Pusat.

Ujang Nurochmat, begitu nama aslinya, adalah seorang pendidik yang telah mengabdikan diri selama 39 tahun lebih di sejumlah SMP Negeri di Jakarta. Setelah pensiun, Ujang masih berbagi ilmu dengan menjadi pengajar di SMP Islam Miftahussa’adah Jakarta..

Kecintaan Ujang Kasarung pada dunia pendidikan sebanding dengan ketekunannya menyusuri sungai puisi. Mengalir hingga jauh. “Ini (buku) kumpulan puisi ke-10,” ujar pria berkaca mata itu sambil memberikan satu eksemplar buku berjudul Tolong Simpan Kenangan Kita” kepada PojokTIM.

Kepada Nanang R Supriyatin, Giyanto Subagio, dan Yon Bayu dari PojokTIM, berikut rangkuman percakapan di senja yang hangat.

Sejak lama muncul keluhan sekolah kurang memberi perhatian terhadap mata pelajaran sastra, terutama karena pelajaran di sekolah lebih banyak bersifat hafal dibanding membangun daya kreatifitas siswa. Sebagai pendidik dan penyair, apakah Anda melihat kecenderungan itu?

Ada banyak faktor yang saling berkait. Dari mulai kurikulum, pendidik dan materi pengajaran. Di dalam kurikulum kita, jam pelajaran yang tersedia tidak memungkinkan bagi guru mengajarkan satu mata pelajaran tertentu secara mendalam. Hal ini disesuaikan dengan tingkatnya. SD sekian porsinya, SMP sekian, SMA sekian.

Contohnya, guru mengajarkan tentang naskah drama yang termasuk dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Dari 4 kali pertemuan yang khusus membahas naskah drama, siswa sudah harus bisa membuat naskah drama. Jika tidak bisa, ya tidak bisa diulang karena siswa sudah harus mengikuti pelajaran lain.

Jika gurunya memaksa  untuk terus mengajarkan soal drama, maka materi lain yang masih menjadi satu kesatuan dari pelajaran Bahasa Indoensia, tidak dapat diselesaikan sesuai jdwal yang telah ditentukan. Pastinya si guru juga akan ditegur oleh pihak sekolah. Kasihan juga muridnya karena saat ujian, kan bukan hanya soal drama yang ditanyakan.

Bagaimana soal kualitas pendidik yang juga menjadi sorotan?

Ada juga guru yang punya kemampuan mengajar sastra dengan baik, memiliki wawasan luas, tidak hanya dari buku teks sesuai kurikulum. Bahkan bisa berkarya secara lepas. Tetapi sebagai pendidik, saya juga mengakui, masih ada beberapa guru Bahasa Indonesia yang bahkan kurang paham soal EYD (kini PUEBI). Bagaimana mungkin ada guru Bahasa Indoensia tidak tahu ‘di’ yang dipisah dan ‘di’ yang digandeng. Ini sangat mendasar. Sebab jika tidak paham kata kerja, kata tempat, kata sifat, maka tulisan apa pun, hasilnya pasti tidak sempurna. Tidak sesuai kaidah kepenulisan yang baik dan benar.

Belum lagi terkait kosakata. Banyak juga guru bahasa Indonesia yang perbendaharaan kata-nya, hanya sebatas apa yang dulu dipelajari dan kini diajarkan. Penguasaan kosakata menjadi kunci bagi pendidik agar siswanya merasa senang karena mendapatkan hal-hal baru dalam setiap pertemuan. Kalau ditanya mengapa ada guru Bahasa Indonesia yang minim penguasaan kosakatanya, jawabnya tentu karena malas membaca. Kalau ditanya mengapa guru Bahasa Indonesia kurang memahami sastra, jawabanya karena kurang mencintai dan kurang militan. Kalau kita mencintai dan sedikit punya jiwa militan, tentu kita akan mencaritahu di luar teks-teks wajib.

Kalau dari sisi siswa?

Pertama tentu karena seperti yang saya uraikan di atas, minimnya jam pelajaran sastra karena siswa harus belajar nata pelajaran lain sesuai kurikulum pendidikan. Beban belajar siswa cukup berat. Jumlah mata pelajaran yang harus dipelajari, dihafal dan dikuasai, sangat banyak

Ujang Kasarung bersama buku kumpulan puisi Tolong Simpan Kenangan Kita. Foto: Ist

Sebagai seorang pendidik yang juga penyair, Anda tentunya punya keinginan agar pendidik dan anak didik tidak terjebak dalam lingkaran yang problematik ini?

Saya melakukan sebatas apa yang saya bisa. Untuk teman-teman pendidik yang mau berbagi ilmu bidang sastra, saya membentuk Komunitas Guru Pencinta Sastra (KGPS). Kebetulan saya ditunjuk sebagai koordinatornya. Sedang untuk siswa, saya biasanya mememilih beberapa anak yang memiliki bakat atau kemauan di bidang sastra. Saya bentuk kelompok anak pilihan (Anpil). Saya melatih mereka di luar jam pelajaran sekolah.

Karena kesibukan ini, kabarnya Anda sampai menolak menjadi kepala sekolah?

Salah satu alasannya memang begitu. Saya sudah terbiasa di sekolah sampai sore untuk memberi pelajaran tambahan tentang sastra kepada kelompok Anpil. Kurang elok jika sebagai kepala sekolah melakukan hal itu. Nanti guru-guru pada sungkan pulang.

Faktor lain yang lebih prinsip adalah soal teknis. Untuk naik golongan, guru harus membuat PTK (penelitian tindakan kelas). Bukan saya tidak bisa, tetapi untuk apa kitab bikin sesuatu yang hanya omon-omon. Di sisi lain, pemangku kebijakan, pembuat aturan, tidak menghargai prestasi, dan kaku dengan aturan. Misalnya ada guru yang menang lomba bidang tertentu, berskala nasional dengan penyelenggara dan juri sangat kompeten. Ternyata bobot peniilaiannya hanya 2, sementara membuat PTK yang hanya omon-omon diberi nilai sampai 20 poin.

Mungkin ada kisah berkesan selama Anda menekuni bidang sastra?

Ketika mengikuti Lomba Cipta Puisi Guru Nasional (2019) di Bali, puisi saya yang berjudul Belajar Virtual terpilih sebagai satu dari 10 puisi terbaik. Namanya ikut lomba dan menang, tentu kita girang. Pada saat diberitahu panitia bahwa hadiah berupa uang Rp 3 juta sudah dikirim ke rekening saya, istri saya mengabarkan kucing kesayangannya sakit. Akhirnya hadiah itu habis untuk biaya perawatan kucing istri saya. Andai tidak ada hadiah itu, muingkin kucing kesayangan istri saya terlambat dibawa ke dokter hewan.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini