PojokTIM – Adakah pendoa, orang yang berdoa, namun lupa nama Tuhan. Dalam konteks keseharian, mungkin saja terjadi. Terlebih jika “Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya” puisi karya Huyang Jaimee diberi makna lebih luas. Bukankah banyak pejabat yang lupa pada sumpah jabatan setelah duduk nyaman di kursi kekuasaan?

Tuhan dalam puisi “Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya” tentu tidak bermakna tunggal sebagai Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa. Ada banyak ragam tafsir dan di situlah kekuatan puisi yang dijadikan judul antologi tunggal penyair Nuyang Jaimee.

Terlepas tafsirnya, “Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya” dan puisi-puisi lain yang terhimpun dalam antologi tersebut, merupakann potret kegelisahan Nuyang Jaimee, terutama saat terlibat dalam gerakan #SaveTIM media 2019-2021. Gejolak perlawanannya yang diekspresikan begitu menggebu sehingga kadang, seperti dikatakan Tatan Daniel saat membedah antologi tersebut, mengalir deras tanpa endapan.

Hal itu juga diakui Nuyang, “Puisi menjadi tempat untuk bicara semua kegelisahan dan pergolakan batin yang dalam, di mana semua ekspresi bebas keluar tanpa batas. Saya bisa teriak, melolong, menangis, tertawa, marah, dan protes.”

Sebab puisi bukan sekedar mengenai proses mengungkapkan pikiran dan isi kepala saja. “Dalam puisi saya menemukan makna dan kebijaksanaan yang mengantarkan saya dalam perenungan yang lebih mengerucut pada sebuah pemahaman yang lebih universal,” cetus Nuyang ketika mempertanggungjawabkan karyanya pada acara peluncuran antologi “Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya”, di aula PDS HB Jassin, Kompleks Taman Ismail Marzuki, 1 Desember 2023 lalu. Acara peluncuran antologi tersebut diisi diskusi sastra menghadirkan Prof Wahyu Wibowo dan Tatan Daniel dengan moderator Rita Sri Hastuti.

Ketika memilih ruang puisi, Nuyang sadar telah masuk ke dalam ruang yang begitu sunyi.

“Puisi yang telah saya pilih, yang telah anda pilih, yang telah teman-teman semua pilih, yang telah kita semua pilih, adalah sebuah keniscayaan dari hati paling sepi, langkah paling sunyi dan kata tanpa suara paling hakiki. Namun begitu puisi memberi keriuhan pada pikiran-pikiran saya serupa aksara-aksara yang bebas berterbangan di kepala dan saling bertubrukan lincah menciptakan serangkaian paragraf-paragraf yang memiliki kekuatan metafisis dan memberi kesadaran baru menggugah hati dan jiwa saya,” urai Nuyang.

Namun demikian, Nuyang percaya bahwa puisi tetap mampu menembus kesadaran kosmik yang teramat dalam, seperti ruang kedap suara yang steril yang membersihkan kotoran-kotoran pemikiran, energi negatif dan daya-daya rendah di luar kosmiknya dan semua hal di alam semesta manusia dan seluruh isinya karena sifatnya yang tak terbatas menyentuh apa saja di sekeliling dirinya.

“Karena sifatnya yang mampu mensterilisasi tersebut sehingga bagi saya puisi menjadi sebuah ruang tempat tumpahnya seluruh perasaan, imajinasi, sekaligus pemikiran yang teramat sakral,” tegas ketua Keluarga Besar Penyair Seksih itu.

“Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya” sebenarnya bukan kumpulan puisi pertamanya. Sebelumnya, Nuyang sudah mengumpulkan karyanya yang berserak di berbagi media dalam antologi “Surat”.

“Kumpulan puisi “Surat” sudah hampir saya terbitkan, berisi hampir lebih dari tujuh puluh puisi pilihan. Namun karena beberapa faktor, takdir mengantarkan buku puisi “Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya” yang berisi dua puluh puisi pilihan ini menjadi puisi pertama yang saya terbitkan,” terang Nuyang.

Nuyang berharap buku kumpulan puisinya bisa memberi sumbangsih dan turut mewarnai khazanah perpuisian dan kesusasteraan Indonesia.

“Pada akhirnya, proses kreatif yang terhimpun dalam “Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya” menuntun saya pada pemahaman tentang sebuah perjuangan dan keikhlasan dengan cara yang begitu sangat sederhana,” ujar Nuyang.

Nuyang Jaimee, penyair kelahiran Jakarta, 31 Maret 1977 telah menekuni dunia teater dan sastra sejak awal tahun 2000-an. Nuyang sempat ikut pentas teater keliling 13 kota di Jawa dan berakhir di Bali dalam event Jakarta Art Festival 2004.

Pada Juli 2004 Nuyang mendirikan lembaga kesenian Cakra Budaya Indonesia, disusul gerakan komunitas Keluarga Besar Penyair Seksih (April 2017) dan Kelompok Teaterikal Puisi Penyair Seksih (September 2019).

Selanjutnya, pada Juli 2020 mendirikan Teater Cakra, dan membentuk Komunitas Kampung Seni Jakarta, Januari 2023. Sejak September 2019, Nuyang ikut dalam gerakan #SaveTIM, bersama kawan-kawan seniman Taman Ismail Marzuki lainnya terkait revitalisasi TIM.

Nuyang jaimee juga sempat menjadi kontributor berita untuk seni dan budaya pada Harian Umum MADINA, dan majalah bulanan Bulettin WARTA PDS.HB.Jassin.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini