PojokTIM – Suasana sebelum dimulainya acara diskusi Meja Panjang di selasar Lantai 5 Gedung Ali Sadikin komplek Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, mendadak riuh oleh candaan Selsa, penggiat sastra yang lincah dan seperti tak pernah kehabisan kata.
“Ingat ya, kita sudah berteman lama,” ujar Selsa dengan nada kesal karena PojokTIM tidak mengingat sosoknya. “Terakhir kita ketemu di acara Kompasianival 2023. Dirimu njajake (membelikan jajan) waktu menang itu (mendapat award Kompasianer of the Year 2023),” lanjutnya.
Dengan mata berbinar dan rasa kesal yang dibiarkan teruar, Selsa pun menceritakan pertemanan yang sudah terjalin dengan PojokTIM sebagai sesama menjadi penulis di laman Kompasina. Hanya saja, dalam dunia kepenyairan, Selsa sudah terlebih dulu berkegiatan di lingkungan TIM.
“Sekarang aku jadi petani kopi di Temanggung,” katanya Selsa yang nama aslinya sudah nyastra: Sonya Elfira Salinderu.
Obrolan dengan Selsa pun mengalir sambil menunggu acara diskusi yang mengusung tema Literasi Sastra di Sekolah dimulai. Berikut rangkumannya.
Tahun berapa Anda mulai berkegiatan di TIM?
Tahun 1987 saya sudah ikut lomba di sini (TIM), sudah berteman dengan beberapa penyair, termasuk Mas Jose Rizal Manua. Saat itu saya masih SMA. Pernah juga baca puisi di PDS HB Jassin sebelum direnovasi, sewaktu launching buku Membaca Kartini. Terakhir ketika menghadiri acara launching buku puisi Penyair Menolak Korupsi. Saat itu TIM sudah direnovasi.
Dari SD saya memang sudah senang ikut lomba baca puisi. Jadi sejak kecil saya sering ikut lomba di mana-mana.
Ketika ikut lomba di TIM, apakah langsung datang dari Temanggung?
Kebetulan orang tua dan keluarga besar saya tinggal di Tanjung Priok (Jakarta Utara). Tapi sejak kecil saya tinggal di Temanggung, ikut nenek dari pihak ibu. Setelah punya suami, agak mengurangi kegiatan sastra, ngurus suami dan anak-anak. Setelah anak-anak besar, saya kembali intens berkesenian. Kebetulan saya juga punya usaha kopi dan tembakau. Jadi bakul kopi. Kalau pas saya ke Jakarta, seperti menghadiri acara Kompasiana atau acara di TIM, biasanya saya bawa kopi pesanan teman-teman.
Apa keistimewaan atau kelebihan kopi yang Anda jual?
Kopi yang saya jual, ditanam dan tumbuh secara alamiah, tidak menggunakan pestisida. Saya beli kopi mentah langsung dari petani. Kemudian saya olah menjadi bubuk kopi. Teman-teman kebanyakan membelinya 2 jenis sekaligus yakni Robusta dan Arabika. Komposisinya 70 persen Robusta, 30 persen Arabika. Itu yang enak. Saya tahunya dari feedback teman-teman yang pernah beli.
Dijual secara online juga?
Iya, menerima pesanan secara online. Sekarang saya fokus cari uang. Tapi tetap meluangkan waktu untuk kegiatan sastra bersama teman-teman penyair di Temanggung.
Apa nama komunitasnya?
Sekarang saya aktif di komunitas Keluarga Studi Sastra Tiga Gunung (KSS3G) di Temanggung bersama Roso Titi Sarkoro dan yang lain. Sebelum di KSS3G, saya lebih banyak berkiprah di Jogya, ke komunitas Sastra Bulan Purnamaersama Ons Guntoro, Umi Kulsum, dan lain-lain. Misal untuk launching buku atau sekedar baca puisi.
KSS3G sendiri sebenarnya komunitas lama. Awalnya bernama Wadista dan sudah menerbitkan antologi Progo 1 dan Progo 2. Saya bergabung tahun 2013 dan melanjutkan penerbitan buku antologi puisi dengan nama Progo. Sekarang sudah Progo 9.
Mengapa pakai Progo, bukan nama gunung yang ada di Temanggung?
Tiga gunung yang menjadi nama komunitas itu yakni Sindoro, Sumbing dan Prau memang menarik dan lebih dikenal. Tapi sudah banyak antologi dengan nama gunung. Sedang Progo, nama sungai yang ada di Temanggung, memiliki nilai sejarah perjuangan di mana saat Agresi Militer II (Operatie Kraai, 19 Desember 1948) 3.000 rakyat dan tentara pribumi (Indonesia) dipenggal di jembatan Kali Progo oleh Belanda. Sekarang di situ juga ada monumen perjuangan Bambang Sugeng melawan penjajah.
Siapa yang ikut dalam buku antologi Progo?
Terbuka untuk umum, dari penyair-penyair luar Temanggung juga. Hanya saja temanya tentang Temanggung. Tentang alam sampai kehidupan masyarakat lokal. Tema buku puisi terbaru seputar gunung dan kopi.
Supaya lebih berbobot, kita undang kurator dari luar Temanggung seperti Pak Bambang Widiatmoko. Kalau yang sekarang kuratornya Wayan Jengki.
Penampilan Selsa saat membaca puisi. Foto: Ist
Bagaimana kehidupan sastra di Temanggung secara umum?
Secara umum bagus. Tentu ada kesulitan, namun banyak juga yang bagus. Kesulitannya, misalnya kita ingin mengadakan kegiatan literasi di sekolah-sekolah supaya siswa mendapat pemahaman sastra yang lebih baik, sesuai tema diskusi ini (Literasi Sastra di Sekolah, tema diskusi Meja Panjang yang diadakan Dapur Sastra Jakarta bekerjasama dengan Dinas Perpustakaan & Kearsipan Pemprov DKI Jakarta serta PDS HB Jassin, akhir pekan lalu.
Banyak sekolah yang menolak kalau tidak ada izin dari Dinas Pendidikan. Tapi ketiak kami mengajukan kerjasama ke Dinas Pendidikan, juga tidak direspon. Padahal kita tidak minta bayaran. Itu hanya wujud kepedulian kami sebagai penggiat seni. kami pikir, daripada hanya mengeluh dan menyalahkan terkait rendahnya minat baca siswa dan lain-lain, lebih baik kita langsung berbuat. Tapi kok yo sulit.
Kalau yang bagus?
Dalam dalam 2 tahun terakhir komunitas kami, KSS3G, mendapat bantuan dari Badan Bahasa Kemendikbudristek. Kemarin KSS3G mendapat bantuan untuk musikalisasi puisi, workshop, pementasan teater dan lain-lain. Saya ikut main teater. Kalau yang besok untuk Festival Progo, launching Progo 9 dan lain-lain.
Artinya, dengan adanya bantuan dana dari pemerintah, kehidupan sastra di Temanggung jadi hidup. Ini menurut saya bagus karena sastra Temanggung akan semakin digemari oleh masyarakat setempat, dan dikenal ke luar daerah. Hal itu sejalan dengan semangat yang diusung KSS3G. Di bawah kepemimpinan Mbak Ika Permata Hati, KSS3G bertekad untuk terus memajukan kesenian di Temanggung.
Apa kesan Anda dengan TIM setelah direvitalisasi?
Tidak tahu, apakah saya termasuk yang tidak siap menerima perubahan. Tapi saya merasa lebih ramah dulu. Gedung-gedungnya sekarang kurang sentuhan etnik. Misal, Graha Bakti Budaya, tidak mencerminkan sebagai gedung untuk budaya. Malah kesannya seperti gedung perkantoran pada umumnya.