PojokTIM– Setiap bangsa memiliki mitologi yang menjadi akar identitas sekaligus perekat. Dalam konteks ini wayang telah menjadi mitologi bagi (sebagian) orang Jawa karena merupakan kristalisasi nilai, norma dan pesan-pesan moral yang dianut dan dipercaya. Ada sebagian orang Jawa yang memuja dan memadankan dirinya serupa tokoh-tokoh pewayangan.
“Kisah dan tokoh pewayangan Jawa begitu hidup dalam diri (sebagian) orang Jawa. Mereka memuja tokoh-tokoh baik seperti Puntadewa yang dianggap orang suci, berdarah putih, sehingga layak menjadi panutan,” ujar Yanusa Nugroho yang menjadi pemateri pertama dalam Diskusi Meja Panjang ke-10 dengan tajuk Fenomena Wayang pada Sastra Indonesia di Gedung Ali Sadikin kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Jumat (27/9/2024).
Diskusi yang digelar Dapur Sastra Jakarta (DSJ) bekerjasama dengan PDS HB Jassin, juga menghadirkan Sunu Wasono selaku pemateri kedua, dengan moderator Yon Bayu Wahyono. Sebelum acara diskusi, Yogi dan Ni Made Sri Andani sempat nembang dalam bahasa Jawa dan Bali.
Menurut Yanusa, wayang adalah isi cerita atau kisah baik yang dituturkan secara lisan mapun tertulis (teks), bukan bonekanya yang terbuat dari kulit, kayu, rumput atau media lainnya. Wayang juga bukan pertunjukan wayang—meskipun salah satu unsur pertunjukan wayang adalah sastra.
Dalam perkembangannya, demikian Yanusa, teks wayang banyak mengalami perubahan sesuai zamannya, termasuk penafsiran ulang dalam bentuk berbeda. Contohnya, munculnya kisah Raja Puntadewa dengan senjata pusaka Kalimasada, yang tidak ada dalam teks sebelum masuknya ajaran Islam di Jawa.
“Penafisran ulang kisah sastra, termasuk wayang, boleh-boleh saja sepanjang penggubahnya memahami teks aslinya dengan baik,” tegas Yanusa.
Yanusa Nugroho
Hal senada disampaikan Sunu Wasono yang telah banyak menulis novel dari kisah pewayangan, khususnya dari pertunjukan wayang Ki Nartosabdo.
“Bukan hanya mengalihwahanakan cerita wayang le dalam bentuk novel, saya juga memasukkan tokoh-tokoh baru seperti Mukidi yang merupakan akronim muka kita sendiri. Mukidi dalam novel-novel saya bebas bicara apa saja, termasuk hal-hal aktual, serupa Punakawan dalam pertunjukan wayang,” kata Sunu.
Dijelaskan mantan dosen Universitas Indonesia itu, kaitan wayang dengan orang Jawa, sangat kuat dan bahkan melekat sehingga tokoh-tokoh pewayangan dipakai sebagai nama orang, produk bisnis, mainan, hingga tempat wisata.
Dalam sesi tanya jawab, Rita Sri Hastuti menyinggung semakin tidak dikenalnya kisah-kisah wayang oleh generasi muda. Menjawab pertanyaan tersebut, Yanusa mengatakan upaya untuk mempertahankan eksistensi wayang terus digalakkan, termasuk dengan mengadakan festival dalang cilik. Namun diakui Yanusa, ada juga upaya dari kelompok lain yang tidak menginginkan wayang tetap lestari sampai-sampai diharamkan.
“Hal-hal seperti itu cukup kita tertawakan. Tidak perlu ditanggapi secara serius,” ujar Yanusa.
Sunu Wasono
Terhadap pertanyaan wayang identik dengan orang Jawa, baik Yanusa maupun Sunu menjelaskan jika pemahaman itu keliru. Sebab wayang, dengan bentuk boneka yang berbeda-beda, juga tumbuh di tengah masyarakat Sunda, Banjar, Sumba, dan lain-lain.
“Wayang bukan kebudayaan Jawa sentris. Yang mengatakan begitu mungkin karena tahunya pertunjukan wayang kulit. Padahal ada banyak jenis wayang dan hidup di berbagai daerah di Nusantara. Wayang juga telah diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh Unesco,” tutup Sunu Wasono.