PojokTIM – Mata Rissa Churria berbinar setiap kali berbicara tentang Rumah Baca Ceria (RBC). Berawal dari perpustakaan pribadi, sejak 2014 diubah menjadi perpustakaan umum. Bukan hanya anak-anak komplek perumahan, RBC juga  sering dikunjungi warga Desa Lubang Buaya Kecamatan Setu, Bekasi.

“Koleksi buku RBC lumayan lengkap sehingga anak-anak betah datang ke sini,” ujar Umi Rissa, panggilan akrabnya, ketika berbincang dengan PojokTIM, di selasar Gedung Trisno Soemarjo Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat.

Rissa mengaku, semua koleksi bukunya selain dibeli dengan dana pribadi, yang dikumpulkan bersama suaminya sejak awal tahun 2000, juga ada bantuan dari kawan-kawan penulis yang dengan rela menyumbangkan buku-buku untuk RBC.

“Suamiku mengajarkan agar selalu menyisihkan uang untuk membeli buku setiap kali kita dapat riejeki Misalnya kami punya Rp 10 juta, maka kami sisihkan antara Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta untuk belanja buku. Tidak ada keharusan membeli buku tertentu, karena tujuannya untuk menambah pengetahuan dan wawasan kami, terutama dalam bidang agama,” ujar Rissa.

Dari RBC, masa kuliah hingga pandangan Rissa Churria tentang kehidupan seniman, mengalir dalam obrolan santai dengan PojokTIM di siang yang terik, Jumat (19/7/2024). Berikut  petikannya.

Anda cukup produktif menulis puisi…

Iya, saya sudah memiliki 8 buku antologi puisi tunggal yaitu Harum Haramain, Sajak Perempuan Wetan, Babad Tanah Blambangan, Liku Luka Perang Saudara, Matahari Senja di Bumi Osing, Risalah Nagari Natasangin, Bisikan Tanah Penari, serta Pedoman Bahasa Indonesia Untuk Mahasiswa, dan lebih dari seratus buku antologi bersama. Hati saya selalu tergerak untuk menulis setiap kali bertemu dengan peristiwa yang menyentuh hati. Saya juga mendisiplinkan diri menulis setiap hari, meski hanya beberapa kalimat atau larik puisi.

Dari mana kebiasaan menulis itu tumbuh?

Saat kecil, saya punya kebiasaan berbicara sendiri. Bicara dengan sesuatu yang tak tampak. Mungkin dunia saya berbeda dengan dunia kebanyakan anak-anak seusia saya waktu itu. Itulah dunia imajinasi atau barangkali kalau orang lain menyebutnya indigo. Kebiasaan saya sejak balita itu akhirnya diubah perlahan oleh ayah saya. Karena beliau merasa kebiasaan saya adalah kebiasaan yang tak biasa, saya menjadi anak yang tertutup dan introvert. Beliau kemudian membelikan buku harian, dan menyuruh saya untuk menuliskan apa yang saya pikirikan, rasakan, dan bicarakan. Jadi tidak lagi diucapkan dan berbincang sendiri seperti biasanya. Itulah buku harian pertama saya.

Ketika duduk di bangku Madrasah Aliyah (MA) kelas 3, saya divonis terkena sakit kekurangan cairan di otak. Katanya saya tidak akan berumur panjang dan paling lama 5 tahun bila tidak dioperasi. Ayah saya yang seorang mantri kesehatan memutuskan saya tidak dioperasi karena meski dioperasi dan berhasil tetap terancam menderita kelumpuhan, bahkan bila gagal bisa berujung kematian. Saat itu tahun 88-89 dunia kedokteran di Banyuwangi juga belum memadai seperti sekarang. Dari situlah ayah membuat kebiasaan baru buat saya yaitu menulis surat kepada Tuhan. Hampir setiap hari saya menulis surat kepada Tuhan. Setiap malam Jumat ayah saya selalu mendengarkan surat-surat yang saya bacakan. Diam-diam ayah menangis setiap mendengar dan menyimak dengan haru isi surat saya. Nah mungkin dari situ juga kebiasaan menulis menjadi ajeg, terus menerus, dan istiqomah.

Tema apa yang sering Anda jadikan puisi?

Apa saja yang saya temui dalam keseharian. Peristiwa yang bersentuh dengan rasa dan jiwa jadilah puisi, quotes, atau cerpen. Tetapi tidak dipungkiri saya memang lebih sering menulis puisi tentang agama dan puisi-puisi religi.

Adakah puisi yang paling berkesan?

Ada, judulnya Noni Gadis Kecil Bermata Bulat. Puisi itu memiliki kesan yang mendalam sepanjang saya berkarya. Ceritanya, pada saat awal-awal saya dan suami ikut merintis dan membangun sekolah di daerah Lubang Buaya, ada peristiwa yang membuat saya trenyuh. Tahun 1997-an, masih banyak anak-anak perempuan yang baru lulus Sekolah Dasar (SD), sudah dikawinkan oleh orang tuanya. Bahkan ada yang belum lulus SD sudah dipaksa menikah atau bekerja di kebun. Pernah ada anak yang baru menikah datang ke sekolah dan tetap ingin belajar, namanya Nonik. Saat itu saya tidak bisa menolak karena anak tersebut nangis sambil merajuk dan memohon untuk bisa tetap ikut belajar.

Jiwa saya sebagai seorang pendidik tentu tersentuh ketika melihat peristiwa seperti itu, sehingga saya mengizinkan Nonik untuk tetap belajar. Ketika sedang mengikuti pelajaran, tiba-tiba datang orang tuanya, memaksa Nonik pulang. Nonik menangis tersedu sambil merajuk ingin tetap belajar. Orang tuanya menarik tangan mungil itu. Ya Allah…batin saya benar-benar terluka menyaksikan pemandangan seperti itu. Ternyata di pinggiran Jakarta masih ada persoalan yang paling mendasar. Saya pun tergerak untuk mengabadiikn peristiwa getir itu dalam sebuah puisi yang saya beri judul Noni Gadis Kecil Bermata Bulat.

Sering juga saya datang ke kebun untuk mencari siswa yang dilarang orang tuanya ke sekolah. Siswa itu dipaksa bekerja di ladang. Saya pun berdebat dengan orang tuanya, meminta izin agar anaknya bisa pergi ke sekolah. Kadang ada yang mau mendengarkan saya, ada juga yang mengabaikannya.

Pernah suatu hari, anak didik saya yang masih duduk di kelas 3 SD terpeleset di pematang sawah. Pematang itu memang satu-satunya jalan menuju sekolah. Dia tercebur ke sawah yang baru selesai dibajak. Badannya kuyup oleh lumpur, matanya berkedip-kedip. Dia berjalan ke sekolah sambil berteriak memanggil saya. Melihat kondisinya, saya langsung ambil slang air dan menyemprot badannya. Saya mandiin, dan bajunya saya ganti dengan pakaian bersih anak saya. Peristiwa menyedihkan pagi itu saya abadikan dalam puisi berjudul Suatu Pagi di Lubang Buaya 1.

Peristiwa demi peristiwa terjadi seperti dalam sinetron. Pernah suatu ketika saya punya murid MI laki-laki kelas 4. Saat kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung, tiba-tiba dari luar kelas terdengar suara gaduh. Laki-laki paruh baya sedang berteriak-teriak memanggil anaknya. Sampailah dia di depan kelas saya, sambil membawa galah di tangan kanan. Matanya memerah menahan marah. Dia terus berteriak-teriak sambil mengacung galah.

Saya mencoba tetap tenang, dan menanyakan maksud kedatangannya. Bukannya menjawab, laki-laki itu malah mengarahkan galahnya di leher saya. Dia kemudian berteriak minta supaya anaknya dipulangkan dengan alasan harus bantu emaknya di kebun. Murid saya langsung berlari dan memeluk erat saya dari belakang. Dia menangis sambil mengatakan ingin tetap sekolah.

Tiba-tiba tangannya diraih oleh bapaknya dan dipaksa pulang. Saya sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa. Peristiwa itu kemudian saya abadikan dalam sebuah puisi berjudul Suatu Pagi di Lubang Buaya 2.

Anda memiliki latar belakang agama yang kuat. Sementara dunia seniman, termasuk penyair, dipahami sebagai dunia yang bebas, baik dalam berpikri maupun pergaulan. Bagaimana Anda menyikapinya?

Bagi saya di mana pun tempatnya, selalu ada sisi baik dan buruk. Tidak hanya di kalangan seniman. Tidak mungkin juga kita tidak bersosialisasi, membangun relasi sosial. Bahwa di situ ada hal-hal yang secara umum tidak pantas, atau terlalu longgar pada norma sosial, kembali pada diri kita masing-masing tentunya.

Saya tidak peduli ketika ada teman yang menganggap kebebasan berarti bebas melakukan apa saja. Tetapi saya tidak akan terpenaruh, apalagi ikut melakukan. Saya fokus pada berkesenian saja, pada puisi, cerpen, dan lainnya sebagai jalan dakwah.

Pernahkah merasa terpaksa mencipta puisi dengan tema yang tidak Anda suka?

Pernah, ketika saya harus menulis dan ikut dalam antologi puisi bersama dengan tema patah hati. Saya benar-benar tidak suka menulis puisi yang model begitu. Tetapi karena yang mengajak teman baik, dan saya juga tahu maksudnya baik, jadi saya akhirnya ikut meski rasa terpaksa itu ada.

Kembali ke soal Rumah Baca Ceria. Apakah RBC menerima donasi?

Ya kalau ada yang mau memberi koleksi buku, tentu saya terima. Buku apa saja. nanti saya seleksi, mana yang layak menjadi koleksi perpustakaan, mana yang mungkin hanya untuk bacaan saya dan teman-teman. Jangan sampai anak-anak membaca buku yang belum waktunya dibaca, Misalnya temannya terlalu berat atau berisi konten-konten dewasa.

Berapa banyak koleksi bukunya?

Lebih dari seribu dengan ragam buku dari buku anak-anak sampai lansia. Ada juga kitab dan buku-buku sastra. Jadi yang datang kadang anak-anak, mahasiswa sampai ibu-ibu rumah tangga.

Selain perpustakaan, apakah RBC juga menyelenggarakan kegiatan seni dan sastra?

Tidak secara khusus. Yang rutin adalah kegiatan pengajian setiap asar dan magrib. Juga ketika ada momen-momen tertentu saja. itu pun baru sekarang-sekarang saja. Sebab RBC juga menjadi “tempat berlindung” bagi teman-teman penyair. Ketika mereka ada acara, dan bingung lembaganya, ya akhirnya pakai RBC. Bisa juga digunakan sebagai lembaga untuk kerjasama dengan pihak lain.

Selain di RBC, Anda juga aktif di komunitas lain?

Iya, saya juga sastra aktif di komunitas sastra lainnya di antaranya menjadi anggota dan pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) dan Penyair Perempuan Indonesia (PPI), serta Srikandi.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini