Cerpen Yon Bayu Wahyono
Temaram sinar bulan pertengahan Juli jatuh sempurna di atas daun-daun akasia di sepanjang jalanan yang lengang. Sesekali angin bertiup agak kencang. Menyebarkan hawa dingin musim kamarau. Para penghuni kompleks perumahan itu lebih senang menyembunyikan tubuhnya di balik kehangatan selimut tebal atau bercengkerama dengan keluarganya di depan televisi setelah seharian dihajar rutinitas yang membosankan.
Di halaman sebuah rumah dalam kompleks itu Tarmo diam terpaku. Berlindung di balik rimbun pohon palem merah. Terpaan hawa dingin pada tubuhnya yang hanya dibalut kaus oblong lusuh dan celana kolor pendek seolah tidak dirasakan. Puluhan nyamuk yang mencoba menghisap setetes darahnya juga tidak terlalu dihiraukan. Hanya terkadang Tarmo menepuknya secara perlahan tanpa menimbulkan suara berarti.
Samar-samar Tarmo mendengar bunyi tiang listrik dipukul sebelas kali. Lalu hening kembali. Tawa penghuni rumah bergaya kolonial itu pun sudah semakin lemah. Tapi Tarmo belum berani bergerak. Untuk membuang rasa jenuh Tarmo mengarahkan tatapannya pada permukaan bulan dan mencari sesuatu di sana.
Dulu neneknya pernah bercerita tentang rembulan. Namun bocah yang belum genap berusia sepuluh tahun ini sudah tidak ingat apa yang diceritakan. Barangkali tentang seorang nenek dan kucing hitamnya yang setia, keluhnya. Suatu waktu Tarmo pernah punya keinginan terbang ke sana dan menjauhi gurunya yang rajin menanyakan uang SPP. Menjauhi teman-temannya yang tidak pernah bosan berceloteh tentang Nintendo dan sepatu baru.
Tapi semunya sudah Tarmo lupakan. Sayembara berhadiah yang setiap hari diiklankan oleh semua stasiun televisi swasta lebih menggoda. Sayembaranya begitu mudah dan menjanjikan hadiah uang sebesar lima ratus juta rupiah. Dari tiga kali menyaksikan tayanyan sayembara itu di televisi tetangga, Tarmo sudah sangat yakin dapat menjawab pertanyaannya. Seyakin bahwa ia akan menjadi salah satu pemenangnya. Tidak usah pemenang utama. Bukankan sepuluh pemenang kedua masih berhak memperoleh hadiah uang senilai lima juta rupiah?
Lima juta! Sebanyak apakah uang itu? Tarmo pernah melihat bapaknya pulang dari berjualan es cendol sambil tersenyum. Waktu itu bapaknya membawa uang lima belas ribu rupiah. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Sekarang bapaknya lebih sering pulang dengan muka kusut. Simbok juga menjadi sering menyanyi setiap kali memanaskan cendol dan air gula yang sudah dicampur dengan zat pewarna sisa jualan Bapak. Tarmo berani bersumpah kalau bapaknya dan simbok belum pernah melihat uang lima juta. Apalagi memilikinya!
***
Sekilas Tarmo menoleh ke arah ruang tamu. Tirainya tertutup setengah. Pak Sono pasti belum tidur, pikir tarmo. Ia bertekad untuk menunggu satu-dua jam lagi sebelum beraksi, sambil memuaskan angannya.
Lima juta! Senyum Tarmo kian mengembang. Dengan uang itu ia berharap bisa melunasi tunggakan SPP, membeli buku pelajaran Bahasa Indonesia, dan kalau masih ada sisanya, akan dipakai untuk membeli sepatu yang dapat mengeluarkan sinar. Tapi yang lebih penting lagi, Tarmo ingin melihat bapaknya tersenyum. Juga simbok.
Pandangan Tarmo kini beralih pada sangkar burung poksai yang tergantung di teras rumah. Ia tidak tahu beberapa harga burung itu di pasar. Mungkin tidak terlalu mahal. Buktinya Pak Sono membiarkannya tergantung siang-malam di tempat itu. Yang pasti Lik Kirno berani membayar lima ribu rupiah jika ai berhasil mengambil. Lik Kirno juga yang memberi tahu kalau Pak Sono sudah tidak mempedulikan burung itu.
Uang dari Lik Kirno akan Tarmo gunakan untuk membeli susu kaleng. Jawaban sayembara berhadiah yang akan diikuti harus ditulis pada label susu kaleng, tidak boleh ditulis pada kertas biasa. Tarmo tidak bisa berharap bapaknya mampu membelikan susu keleng. Harga susu memang mahal, batinnya.
Perlahan malam beranjak mendekati sempurna. Ruang tamu sudah gelap. Tirainya tertutup rapat. Sekali lagi Tarmo berusaha memastikan dari dalam rumah benar-benar sudah tidak ada suara. Bisu dan sunyi, simpul hatinya. Tarmo pun mulai beraksi sesuai perhitungan yang sudah dihafal. Setengah merunduk ia melintasi hamparan rumput taman. Mendekati sangkar burung. Kaki mungilnya naik ke atas rak tempat pot-pot bunga. Dari situ Tarmo dapat meraih sasarannya. Benaknya sudah dipenuhi bayangan uang lima juta ketika berhasil membuka pengait sangkar burung.
Namun Tarmo terburu-buru saat hendak turun. Kaki kirinya menyentuh pot bunga yang terbuat dari porselen. Pot itu jatuh dan langsung beradu dengan lantai keramik. Menimbulkan suara yang sangat nyaring. Membelah kesunyian malam. Penghuni rumah yang belum terlelap sontak keluar. Melihat sangkar burungnya diturunkan oleh seseorang yang tidak dikenalnya, sekuat tenaga dia berteriak, “Ada maling…maling..maling!”
Tubuh Tarmo menggigil. Kakinya terlalu lemas untuk diajak berlari. Dahinya dipenuhi keringat dingin. Tarmo terkulai di sudut teras. Dekat sangkar burung baru saja diturunkannya. Dua pemuda yang kebetulan sedang melintas dan beberapa orang merubung Tarmo merasa perlu memberi pelajaran. Setelah itu Tarmo diarak beramai-ramai ke kantor polisi. Sebelum pingsan Tarmo masih sempat mengangankan dirinya menjadi salah satu pemenang sayembara susu berhadiah dan berhak memperoleh uang lima juta rupiah!
***
Temaram sinar bulan pertengahan Juli jatuh sempurna di atas daun-daun akasia di sepanjang jalanan yang lengang. Sesekali angin betiup agak kencang. Menyebarkan hawa dingin musim kamarau. Para penghuni kompleks perumahan itu lebih senang menyembunyikan tubuhnya di balik kehangatan selimut tebal atau bercengkerama dengan keluarganya di depan televisi setelah seharian dihajar rutinitas yang membosankan.
Di halaman sebuah rumah dalam kompleks itu Tarmo diam terpaku. Berlindung dibalik kerimbunan pohon palem merah. Ia tidak menghiraukan terpaan hawa dingin atau serbuan nyamuk. Tubuhnya cukup terlindung dibalut pakaian ala Ninja. Sebilah belati panjang dan beberapa “peralatan kerja” lainnya terselip rapi di pinggang. Ia akan beraksi dari pintu belakang.
Tarmo sudah tidak berniat mengambil burung poksai. Tidak ada harganya. Ia bertekad akan mengambil semua harta berharga di rumah bergaya kolonial itu. Sambil menunggu penghuni rumah tidur Tarmo membiarkan dirinya terbawa lamunan. Tiga bulan “menginap” di kantor polisi sudah cukup bagi Tarmo untuk melupakan bangku sekolah, guru yang dulu rajin menanyakan uang SPP, dan juga teman-temannya yang gemar bercerita tentang sepatu baru atau permainan Nintendo. Sekarang Tarmo sudah mempunyai permainan sendiri.
Cilacap, 04 Agustus ’95