PojokTIM – Bagaimana rasanya aktif dalam puluhan komunitas? Membayangkannya saja sudah lelah. Namun tidak demikian halnya Swary Utami Dewi. Hebatnya lagi, komunitas yang diikutinya lintas isu dari literasi, kesenian, lingkungan hidup, perubahan iklim, gender, sosial, seni budaya, hingga politik.

“Ada 15 sampai 16 organisasi atau komunitas yang aku ikuti, dan aku masih aktif dalam berbagai kegiatan itu,” ujar Tami, sapan akrab Swary Utami Dewi.

Maka, menulis tentang Swary Utami Dewi bisa dari “pintu” mana saja: politik, aktivis kehutanan, tambang, sastra, budaya, dan lain-lain. Kiprahnya terbentang dari Sumatra hingga Papua, bahkan di tingkat internasional. Perempuan kelahiran Palangka Raya, Kalimantan Tengah, ini mulai aktif mengkaji isu adat dan masyarakat sejak tahun 1999 sewaktu mengikuti pertemuan pertama masyarakat adat Nusantara.

Berawal dari kajian tentang kehutanan dan pengembangan masyarakat, Tami melihat di suatu masa ada tindakan diskriminatif terhadap masyarakat adat dan lokal, baik dari pemerintah maupun pengusaha. Posisi masyarakat terjepit secara wilayah dan tercerabut dari akar budayanya. Tami pun sering turun ke desa-desa untuk bekerja bersama masyarakat di dalam dan sekitar hutan dalam konteks pemberdayaan masyarakat.

“Aku menjadi aktivis sejak masih kuliah. Aku belajar banyak dari para senior aktivis seperti alm. Mulyana W. Kusumah, Hariman Siregar, Rizal Ramli, dan lainnya,” ujar Tami.

Di bidang puisi, Tami tidak berhenti hanya sebagai penyair, namun juga bergiat dalam beberapa komunitas seperti Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) dan Poetry Reading and Writing Society. Dalam bidang literasi Tami aktif di Perkumpulan Penulis Indonesia (Satupena). Puisi-puisinya sudah dimuat di sejumlah media massa online, seperti di RMOL yang berjudul Lanjutkan Perjuanganmu:

[…]

Lanjutkan itu
Teruskan perjuangan
Karena sejatinya
Darah nadimu adalah perwira

Berikut wawancara PojokTIM usai Swary Utami Dewi memandu acara peluncuran buku Didong dan Tari Guel dari Gayo, Aceh karya LK Ara, penyair asal Aceh yang juga concern dengan isu-isu lingkungan, di aula PDS H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).

Di tengah kesibukan saat ini, Anda masih sempat menulis puisi?

Masih, paling tidak satu bulan satu puisi karena aku ikut Poetry Reading and Writing Society yang didirikan Prof. Riri Fitri Sari, Guru Besar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI). Sudah beberapa tahun sejak pandemi Covid-19, setiap bulan ada acara baca puisi bersama secara bergantian. Pesertanya kebanyakan guru besar, alumni, senior-senior UI, dan ada juga beberapa kawan lain dari luar kampus. Jadi karena ada acara itu maka setiap bulan kita menulis  puisi.

Kalau aktivitas saat ini di mana saja?

Banyak. Dari berbagai isu. Politik, lintas agama, puisi, literasi, dan lain-lain. Tapi yang utama tetap perhutanan sosial.

Masih aktif di Satupena?

Ya, masih. Aku terpilih menjadi Wakil Sekjen sekaligus anggota tim formatur yang memilih pengurus Satupena periode sekarang. Aku juga sudah mengedit beberapa buku, termasuk untuk Satupena. Untuk Satupena, sekarang aku sedang proses mengedit tulisan-tulisan, yang akan dijadikan buku tentang Almarhum Bang Wina Armada Sukardi. Almarhum merupakan Sekretaris Dewan Penasihat Satupena. Sebelumnya aku juga mengedit buku tentang Almarhum Prof. Azyumardi Azra, yang juga merupakan anggota Dewan Penasihat Satupena.

Anda concern pada isu-isu hutan adat?

Concern-ku pada perhutanan sosial, di mana salah satunya termasuk hutan adat. Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat, biasanya masyarakat adat, masyarakat lokal, atau masyarakat yang sudah lama tingaal di kawasan hutan negara.

Pengelolaan tersebut dilakukan dengan basis sosial atau  berkelompok, jadi tidak orang per orang. Sistem ini akan memberikan fungsi perbaikan ekologi atau penguatan konservasi dan juga memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan. Itulah perhutanan sosial. Ada lima bentuk pertahanan sosial yang dikenal sekarang, yakni hutan kemasyarakatan, hutan desa, kemitraan kehutanan, hutan adat, dan hutan tanaman rakyat,

Aku sudah menggeluti isu tersebut sekitar 25 tahun dan membantu banyak di Kementerian Kehutanan atau kementerian terkait. Ada satu tim untuk pemberdayaan yang dulu ditunjuk melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan di zaman Menteri M S. Kaban, Menteri Zulkifli Hasan, sampai dua periode Ibu Menteri Siti Nurbaya. Sekarang aku juga masih fokus di isu perhutanan sosial.

Di bidang perhutanan sosial apakah itu juga mencangkup budayanya?

Iya, pasti  Ada tiga pilar di perhutanan sosial yakni pilar ekologi, pilar ekonomi – yang tidak merusak, kemudian pilar sosial budaya.

Apakah dalam pilar sosial budaya, juga ada kegiatan sastra seperti membuat puisii, atau lomba-lomba puisi yang dikaitkan dengan isu-isu perhutanan sosial?

Mungkin belum sejauh itu. Tapi ada individu-individu yang menulis puisi dengan tema ekologi. Contohnya Pak Eka Budianta. Beliau banyak membuat puisi soal lingkungan. Aku juga sesekali membuat puisi tentang alam dan lingkungan. Ada satu buku kumpulan esai-esaiku tentang pengalaman bersama masyarakat. Itu aku bukukan dan di bagian belakang ada puisi yang sesuai dengan tema buku tersebut.

Kebanyakan kawan-kawan aktivis perhutanan sosial langsung terjun ke tengah masyarakat. Mereka melakukan advokasi untuk kebijakan yang lebih baik bagi masyarakat. Ada juga beberapa kawan yang merasa bahwa yang dilakukan harus diperkuat atau dipertajam melalui puisi.

Di masyarakat sendiri juga sudah ada ekspresi seni dan budaya yang turun-temurun, misalnya pantun, puisi tradisional, kepercayaan-kepercayaan adat tentang hutan yang diceritakan secara turun-temurun. Bahasa yang digunakan berbeda dengan bahasa untuk komunikasi antar kita. Sama halnya puisi, kan beda dengan bahasa sehari-hari.

Jadi menurutku, dalam konteks masyarakat adat, puisi sudah ada. Meski tidak semuanya dituliskan, tapi dihapal. Budaya oral turun-temurun itu ada di sebagian besar masyarakat Nusantara.

Dalam isu-isu perhutanan sosial, menurut Anda, apakah puisi efektif untuk melakukan edukasi atau protes seperti halnya puisi yang ditulis untuk menyoroti isu-isu korupsi?

Ini belum banyak digunakan oleh para aktivisnya karena mungkin mereka punya fokus yang berbeda Mungkin juga minatnya berbeda. Aku kebetulan aktivis tapi juga senang puisi, jadi kadang nulis puisi terkait isu itu. Contoh lainnya seperti puisi yang ditulis Ayah L.K. Ara tentang Gunung Leuser. Itu bagus. Nah, mungkin teman-teman aktivis lainnya punya minat berbeda yang kemudian juga digunakan untuk menyuarakan isu-isu perhutanan. Jadi pendekatannya memang berbeda.

Menulis puisi bisa menjadi salah satu cara advokasi. Ada juga bentuk advokasi lain. Ada advokasi “keras” lewat demonstrasi, misalnya. Ada juga advokasi yang soft untuk perubahan kebijakan, misalnya menjadi anggota task force. Di sini kita masuk ke dalam sistem untuk mengadvokasi perubahan kebijakan.

Anda mau mengatakan puisi masih kurang digunakan untuk advokasi perhutanan?

Saya tidak berani bilang masih kurang. Bisa jadi di daerah-daerah banyak yang melakukan. Ada Bang Dwi Rahmat, misalnya. Dia aktivis kehutanan dan pemberdayaan masyarakat yang juga pernah mengangkat tema kehutanan melalui puisi. Masih ada juga yang lain. Tetapi secara jumlah tentu tak sebanyak sastrawan di TIM karena di sini memang tempatnya. Kalau misalnya ada yang selama ini concern mengurus perhutanan sosial, lalu tiba-tiba dia melakukan advokasi lewat puisi, saya pikir itu malah harus lebih diapresiasi. Meski bukan ranahnya tapi dia bersedia melakukan hal itu. Nilai lebihnya ada di situ. Tentu saja saya tidak mengatakan bahwa mereka harus menulis puisi sebanyak para sasrawan di TIM. Membandingkan antara keduanya tidak tepat. Tidak apple to apple.

Dari sisi aktivis kebudayaan, bagaimana keberpihakan Pemerintah terhadap kebudayaan, di mana di dalamnya termasuk seni?

Sepertinya kita masih lebih banyak tumbuh sendiri-sendiri secara mandiri. Komunitas-komunitas seni dan budaya, di tingkat lokal maupun nasional, lebih banyak tumbuh dan berkembang sendiri. Padahal komunitas-komunitas itu akan bisa melakukan banyak hal jika didukung. Sebenarnya Pemerintah bisa menjadi katalisator, misalnya dengan mempercepat lahirnya kebijakan yang memberi berbagai dukungan kepada komunitas. Kementerian terkait juga bisa melakukan intervensi terhadap komunitas-komunitas seni dan budaya dengan cara yang tepat. Intervensi dalam arti mendukung ya, dan ikut serta mempromosikan. Sayangnya itu belum banyak dilakukan.

Mungkin karena pemerintahan masih baru dengan banyak nomenklatur baru. Tapi secara action belum terlihat sebagai sesuatu yang sudah programik atau tertata. Masih lepas-lepas. Dalam pandangan saya, Pemerintah harus lebih banyak membuat atau mendukung program yang bisa diikuti oleh komunitas. Contohnya dalam perhutanan sosial. Ada program, sistem dan sering kali juga dana. Itulah wujud kehadiran negara. Sekarang pertanyaannya apakah negara memang sudah hadir dalam konteks pengembangan kebudayaan melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung?

Kapan mulai berkegiatan di TIM?

Dari dulu sudah sering ke TIM, misalnya menonton Mas Willy (W.S.  Rendra) membaca puisi, atau melihat pertunjukan Teater Koma. Saat itu tentu saja hanya sebagai penikmat. Setelah kuliah, saya terkadang nongkrong dengan para seniman, misalnya dengan ayah Tardji (Sutardji Calzoum Bachri). Ada juga sahabatku, Rara Gendis (almarhum). Waktu itu masih ada warung-warung kopi murah meriah yang membuat kita merasa nyaman berlama-lama di TIM.

Akhir-akhir ini aku lebih intensif berkegiatan di TIM. Lebih menyatu sebagai orang yang melakukan. Dulu ketika TIM sedang dirombak secara fisik, aku sempat khawatir jangan-jangan nanti TIM bukan  tempat yang asyik, sudah dipenuhi bangunan-bangunan beton tinggi. Tapi setelah bertemu teman-teman yang mengadakan kegiatan di sini, aku jadi merasa seperti ditarik kembali ke tempatku semula. Aku bukan lagi hanya sebagai penikmat seni.

 

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini