PojokTIM – Dengan peci rajut hitam di kepala, Muhammad Octavianus Masheka masuk ke selasar Gedung Trisno Soemardjo di Kompleks Pusat Kesenian jakarta (PJK) Taman Ismail Marzuki (TIM). Wajahnya lebih ‘cerah’ dibanding hari-hari ketika rambutnya masih panjang yang sempat menjadi identitas kesenimanannya.

“Baru menghadap (Tuhan). Waktunya tanggung, jadi sekalian nunggu (waktu sholat) Asar,” ujar Octa, sapaan akrab penyair kelahiran Padang, Sumatera Barat itu.

Bagi Octa, TIM adalah rumah keduanya sejak memantapkan diri kembali ke jalan kebudayaan setelah puluhan tahun bergelut di dunia film, khususnya film-film televisi, baik sebagai penulis naskah (script) maupun sutradara.

“Dulu hanya datang saat saya tidak ada uang. Tapi sekarang TIM menjadi rumah kedua aku,” ujar Octa. Ucapannya bukan basa-basi. Hampir setiap hari, kecuali ada acara baca puisi atau bertemu orang, Octa beraktifitas di lingkungan TIM, sejak pagi hingga sore.

Senin (28/5/2024), PojokTIM secara khusus berbincang dengan Ketua Umum Taman Inspirasi Seni Indonesia (TISI) itu yang baru selesai menggelar roadshow pembacaan puisi di 6 (enam) wilayah di Jakarta. Roadshow terakhir dgelar di  Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Berikut petikannya.

Bisa diceritakan awal mula Anda tertarik dengan dunia seni?

Aku hidup dalam kebudayaan Minang yang memiliki rekam jejak panjang dalam mewarnai kesenian Indonesia. Jadi aku tidak kesulitan dalam mendapatkan referensi dalam proses berkesenian, khususnya sastra. Aku berproses di Taman Budaya Padang. Sejak SMA, tahun 1982, aku menulis cerpen, kronik, dan puisi khususnya di media massa di Sumatera Barat seperti Singgalang, Haluan, Semangat. Saat itu ini tiga media terbesar di Padang.
Setelah beberapa puisi aku terbit di media massa, aku ajukan kepada Taman Budaya Taman dan Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia Tingkat II Sumatera Barat, agar puisi-puisi aku diterbitkan dalam sebuah antologi.

Pada waktu itu Kepala Taman Budaya Sumatera Barat atau Taman Budaya Padang Drs Mursal Esten meng-ACC. Kebetulan, sebelumnya aku juga sudah mengajukan kepada Redaktur Haluan Rusli Marzuki Saria atau Papa. untuk diterbitkan, dan juga meng-ACC.

Terbitlah buku kumpulan puisi aku berjudul Gendang Rindu masih dalam rupa stensilan di Bulan Juli 1985. Diterbitkan oleh Taman Budaya Padang bekerjasama dengan Badan Koordinasi Kesenian Nasional Tingkat II Padang dengan kata pengantar redaktur Haluan. Alhamdulilah mendapat respon cukup baik dan banyak dikomentari penyair-penyair di Padang, antara lain Leon Agusta.

Setelah itu aku menggelar pembacaan puisi tunggal di Taman Budaya padang. Penonton yang ingin menyaksikan harus membeli tiket. Di luar dugaan sambutannya luar biasa. Taman Budaya Padang nyaris penuh oleh penonton. Mungkin untuk saat itu, aku yang pertama mengadakan pertunjukan baca puisi berbayar.

Dari pementasan itu, apa yang paling berkesan bagi Anda?

Jujur aku surprise. Karena saat itu aku satu-satunya penyair Kristen yang berproses di Taman Budaya Padang. Ternyata masyarakat bisa menerimanya. Ini membuktikan masyarakat Sumatera Barat cukup toleran. Dan pada saat itu aku merasa telah dibaptis menjadi penyair muda, tepatnya pada usia 20 tahun.

Tapi mengapa Anda kemudian hijrah ke Jakarta?

Waktu itu, aku dikabari, saudara tuaku meninggal, dan keluarga meminta agar aku ke Jakarta karena keluargaku sudah ada di Jakarta. Padahal saat itu aku tengah berbulan madu dengan dunia penyair. Jadi sesungguhnya saya tidak menghendaki datang ke Jakarta, karena di Padang aku sedang tenar-tenarnya sebagai penyair muda, dengan tubuh ceking dan rambut panjang.

Tapi karena tidak bisa menolak permintaan keluarga, akhirnya aku berangkat ke Jakarta, tahun 1985. Jadi hanya beberapa bulan setelah terbitnya buku kumpulan puisi Dendang Rindu. Nah, di Jakafrta, khususnya di Taman Ismail Marzuki aku melihat persaingan sangat ketat. Beda atmosfernya dengan di padang. Sebagai orang baru, akku tidak masuk kelompok A, kelompok B, kelompok C.

Apa lagi yang Anda rasakan atau temukan saat itu?

Aku melihat sastra tidak menghidupkan. Lalu aku banting setir ke dunia film, khususnya film televisi karena pada tahun 90-an film layar lebar sedang lesu. Aku berproses lagi dari mulai script, ke astrada, sampai level tertinggi sebagai sutradara.

Berpuluh tahun, sejak 90-an aku bergelut di dunia film sampai datangnya wabah Covid-19 di tahun 2019 di mana seluruh aktifitas di luar urusan pangan,medis, dan konstruksi proyek strategis, dihenti. Aku pun kehilangan sejumlah kontrak film karena tidalk bisa syuting. Kalau pun bisa, izinnya sangat rumit dan lokasinya harus benar-benar steril.

Aku tentu tidak bisa berdiam diri saja menghadapi situasi yang tidak mengenakkan itu. Akhirnya aku kembali ke TIM. Memulai lagi perjalananku sebagai penyair. Awalnya tidak menyangka akan bertahan, sekedar untuk pelarian karena tidak ada syuting film. Tetapi setelah beberapa waktu, aku merasakan kerinduan pada duniaku yang telah aku tinggalkan berpuluh tahun, dunia kepenyairan. Hingga akhirnya aku memantaopkan diri untuk mencumbui kembali dunia lama yang sempat hilang dari hidupku. Aku mulai menulis lagi beberapa puisi.

Mengapa puisi Anda tidak diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan puisi sebagai penanda kembalinya ke dunia kepenyairan?

Aku walnya tidak paham medsos (media sosial). Aku diajari oleh Remmy (Remmy Novaris DM) tentang dunia medsos untuk mengunggah karya-karyaku. Satu duia ada yang aku unggah di sana. Tetapi ketika ingin menerbitkan dalam bentuk buku, aku berpikir, sekarang bukan waktu yang tepat. Banyak sekali buku-buku kumpulan puisi yang berakhir di rak-rak sepi. Kalau aku menerbitkan buku kumpulan puisi, siapa yang mau beli? Beda dengan antologi bersama, kumpulan puisi dari beberapa penyair. Pasarnya sudah jelas. Tapi kalau menerbitkan sendiri, harus jual sendiri, saya tidak sanggup. Dari pada diterbitkan tapi hanya menjadi penghuni rak sepi, lebih bbaik aku salurkan melalui medsos, melalui Facebook, di grup TISI.

Dari ilham atau ide sampai terpantik keinginan mendirikan TISI?

Kita membutuhkan komunitas untuk membaca karya-karya kita, berharap mendapat apresiasi dan penilaian, dari publik yang lebih luas. Berangkat dari kesadaran itu, aku dan teman-teman sepakat mendirikan TISI. Salah satu bentuk kegiatannya membuat halaman TISI di Facebook yang terbitnya dijadwal layaknya koran atau media berkala. Jadi anggota tidak bisa sembarang menerbitkan karya di halaman TISI. Ada jadwalnya. Misalnya Senin untuk menerbitkan cerpen, nanti Selama sampai kamis untuk menerbitkan puisi, dan seterusnya. Setiap bulan kita juga mengadakan pertemuan daring melalui aplikasi Zoom.
Berapa anggota TISI?

Alhamdulillah sampai hari ini, anggotanya sudah di atas seribu orang. Mereka adalah orang-orang yang expert di bidang sastra. Dari penyair, sastrawan, akademisi, kritikus, sampai pengamat. Anggotanya juga dari berbagai negara. terbaru dari Jerman. Berkat TISI juga aku kemudian diundang ke berbagai daerah, sebagai juri lomba penulisan atau pembacaan puisi.

Anda sering menggelar kegiatan yang melibnatkan nama-nama besar seperti Chairil Anwar, Sutardji Calzoum bachri, dan sekarang Taufiq Ismail. Apa tujuannya?

Kita sadar, generasi saar ini, Gen Z kata orang, tokoh-tokoh besar di bidang sastra sudah banyak dilupakan. Contohnya, ketika membuat kegiatan sastra di UNJ (Universitas Negeri Jakarta), aku bikin kuis terkait sosok Taufiq Ismail. Ternyata yang bisa jawab kebanyak dosen. Aku yakin kondisi serupa juga dialami di perguruan tinggi lain, termasuk di sekolah-sekolah.

TISI tidak berekspektasi terlalu tinggi dengan menggealr kegiatan-kegiatan seperti itu. Hanya sekedar memberi penanda, seperti misalnya Satu Abad Chairil Anwar. Mengetuk kesadaran dan ingat publik akan tokoh-tokoh besar yang pernah dan masih turut menghiasi taman kebudayaan Indonesia. Jangan lupakan mereka.

Bagaimana persiapan acara penghargaan untuk Taufiq Ismail?

Maish berproses, karena waktunya masih cukup lama yakni 25 Juni 2024. Beberapa pengisi acaranya, termasuk Ahmad Albar dan Ian Antono dari Godbless, serta Sam Bimbo, sudah memberi sign siap tampil membawakan lagu-lagu mereka yang syairnya karya Taufiq Ismail seperti Panggung Sandiwara, Sajadah Panjang, dan lain-lain.

Untuk roadshow menuju anugerah sastra untuk Taufiq Ismail sudah selesai?

Sudah kita laksanakan di 6 (enam) tempat. Pertama di TIM, dan berakhir di mKepulauan Seribu. Tujuan dari pada roadshow ini adalah agar acara anugerah sastra kepada Taufiq Ismail tidak sekedar seremoni satu hari. Tapi kita gaungkan ke masyaralkat, khususnya para pelajar. Itu sebabnya kita menggandeng kalangan mahasiswa dalam roadshow kemarin.

Dalam melaksanakan setiap kegiatan, TISI senantiasa mendapat dukungan dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Jakarta, Dinas Kebudayaan Jakarta, dan PDS HB Jassin.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini