PojokTIM – Obrolan sore mengalir hangat di selasar Hotel Ibis Budget, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (2/8/2024). Kurniawan Junaedhie, Nanang R. Supriyatin, Remmy Novaris DM dan Adri Darmadji Woko tengah fokus membahas sastrawan yang berkiprah di tahun 1970-an. Sesekali cerita bergeser pada peristiwa menarik yang menegaskan bentang jarak dulu dan kini.

“Sekarang saya pakai Google Maps kalau cari alamat di Purwokerto,”  ujar Kurniawan Junaedhie yang akrab di sapa KJ ketika berbincang tentang kota asalnya di Jawa Tengah yang telah mengalami banyak perubahan sejak ditingalkan di tahun 1976.

Obrolan diperkaya cerita Evan Ys dari Badan Bahasa yang sedang rajin “mengkampanyekan” pentingnya sastrawan sadar dokumen. Evan mengapresiasi upaya KJ mendokumentasikan kiprah dan karya sejumlah sastrawan tahun 70-an dalam buku Jejak Langkah Penyair Muda 1970-an yang diterbitkan Kosa Kata Kita (KKK).

“Kiprah dan karya sastrawan, seniman, perlu didokumentasikan dan disimpan di tempat yang tepat seperti Perpustakaan Nasional supaya jejaknya tidak hilang ditelan zaman,” ujar KJ yang sudah berkiprah sebagai cerpenis, penyair, wartawan dan penulis  buku sejak awal tahun70-an.  Bahkan saat masih SMP, salah satu cerpennya dimuat di koran Sinar Harapan, dan puisi-puisinya  menghiasi rubrik remaja Pelita Minggu serta El Bahar Jakarta.

Berikut rangkuman wawancara PojokTIM dengan Kurniawan Junaedhie.

Dari mana Anda mendapatkan data dan dokumen-dokumen penyair yang terhimpun dalam buku  Jejak Langkah Penyair Muda 1970-an ?

Kebanyakan dari kliping media massa yang saya koleksi, termasuk dari Mas Adri. Saya juga mendapatkan bantuan dokumen dari teman-teman di daerah seperti Acep Zamzam Noer (Tasikmalaya),  Gunoto Saparie (Semarang), Sutirman Eka Ardhana (Jogya), dan lain-lain. Ini juga bagian dari upaya menjaga kebenarannya.

Karena berisi tentang penyair muda tahun 70-80-an, tentu banyak informasi atau dokumen yang berserak. Agar bisa dipertanggungjawabkan, saya menggunakan banyak dokumen pembanding, termasuk cross check kepada teman-teman yang mengetahui kiprahnya.

Mengapa penyair muda tahun 70-an?

Waktu itu simbol sastra adanya di Jakarta yakni Majalah Horison dan Taman Ismail Marzuki (TIM) sehingga teman-teman dari daerah berbondong-bondong ke Jakarta untuk menjadi pengarang, menjadi penyair, seperti Adri, F Rahardi,  Yudhistira ANM Massardi, dan yang lain. .

Jakarta menjadi pusat kesenian Indonesia, belum ada desentralisasi. Bahkan DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) menjadi dewan kesenian Indonesia. Saya melihat selama ini yang dibahas kritikus dan pengamat hanya yang hal-hal atau event-event besar-besar, yang mendapat SEA write award, misalnya yang dapat anugerah sastra. Padahal di sela-sela itu, banyak pengarang dan penyair yang konsisten melahirkan berkarya berbobot, tetapi luput dari perhatian kritikus sastra karena tidak mendapat penghargaan.  Para pengarang di daerah juga luput dari perhatian karena yang dilihat hanya yang  ada di Jakarta.

Anda sekarang sibuk sebagai owner Penerbit KKK. Bisa ceritakan sedikit awal mula lahirnya KKK?

Tahun 2010, saya tergerak untuk mendirikan KKK karena melihat teman-teman kesulitan ketika hendak menerbitkan karyanya. Jadi motivasi awal saya hanya ingin membantu teman-teman. Kebetulan saya punya ilmu penerbitan yang saya dapat saat bekerja di Kompas. Saya juga punya relasi cetak sampai ilutrasi.

Berapa buku yang sudah diterbitkan KKK?

Sudah lumayan banyak. Saya tidak hafal jumlah persisnya. Teman-teman Komunitas Poci saja sudah menerbitkan 12 buku. Buku-buku Aksi Swadaya  yang saya kerjakan bareng Julia Utami, bu guru SMP Sanur, sudah seri ke-16. Setiap seri berisi 4 jilid.

Anda juga menerbitkan buku Apa & Siapa Perempuan Pengarang/Penulis Indonesia. Ada kriteria tertentu untuk  masuk dalam buku himpunan tersebut? 

Ada kriterianya. Paling tidak karyanya pernah diterbitkan, semisal buku kumpulan puisi tunggal. Kemudian karyanya juga pernah dimuat dalam antologi bersama. Buku tunggal mencerminkan dirinya, konsistensi gaya penulisan, genre, dan lain-lain. Sedang antokogi bersama menunjukkan dia punya pergaulan bagus, punya jaringan di komunitas sastra.

Tentu di sana-sini masih ada bias, ada kecolongan juga. Ada yang layak masuk tetapi tidak terdeteksi oleh saya, seperti Evan Ys. Jadi ini bisa untuk disclaimernya.

Buku lainnya yang menurut Anda cukup menarik?

Buku Ayat-Ayat Sastra sudah cetak ulang ketiga. Isinya kutipan kata-kata atau ucapan sastrawan tanah air. Kalau ada quote baik dari buku atau media lain yang diucapkan sastrawan, saya ambil. Saya suka membaca, jadi banyak tahu kata-kata menarik dalam buku. Biasanya, saya stabilo lalu saya kumpulkan.

Harapannya, kata-kata para sastrawan kita bisa dijadikan kutipan para penulis esai, skripsi, bahkan disertasi ketika membahas soal sastra dan dunianya. Tidak lagi “menurut (William) Shakespeare”, “menurut  (Ernest) Hemingway”, tapi “menurut Joko Pinurbo”, “menurut “Sapardi  (Djoko Damono)”, dan lain-lain.

Dari mana idenya?

Pokoknya saya ingin nulis yang aneh-aneh, yang tidak ditulis orang lain. Kalau sudah ada yang nulis, untuk apa ditulis lagi? Kalau sudah ditulis oleh Maman (Maman S Mahayana, red), kita tidak perlu menulis ulang. Cari ide sendiri, bila perlu yang aneh-aneh sepanjang dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah dan masyarakat yang membaca karya kita. Jangan asal aneh.

Ada anggapan kualitas karya yang diterbitkan oleh penerbit Indie kurang berbobot? Tanggapan Anda? 

Sebenarnya ada juga karya terbitan indie yang memiliki kualitas bagus. Tetapi  adanya anggapan demikian juga tidak sepenuhnya salah. Kelemahan mendasar dari karya yang diterbitkan secara indie, karena tidak melalui seleksi yang ketat. Tidak ada editornya. Terlalu mudah orang menerrbitkan buku, bahkan bisa diterbitkan sendiri.

Tetapi fenomena yang terjadi saat ini memang sudah sesuai zamannya. Dulu kita susah mendapat informasi. Sekarang informasi berhamburan, berlimpah. Kita kita tanya satu penyakit di Google, yang muncul seribu. Ada yang mengajurkan seperti ini, lainnya menganjutkan seperti itu. Akhirnya kita sendiri yang memilih dan memilah, mana yang benar, mana yang hoaks.

Demikian juga dengan publikasi. Kita tidak bisa membatasi orang berekspresi. Semua orang punya hak yang sama. Jika sudah begitu, maka yang menentukan pembaca. Sepeti dulu Gur Dur (KH Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-5) membubarkan Departemen Penerangan. Daripada hanya jadi polisi koran, biar rakyat, pembaca, yang menyeleksi. Begitu koran atau majalah jelek, pasti akan ditinggal pembacanya, tidak laku.

Apa yang dilakukan KKK untuk menjaga kualitas buku yang diterbitkan?

Kosa Kata mKita tidak sembarang dalam menerbitkan buku. Hanya karya orang-orang tertentu yang sudah saya kenal. Kalau pun orang baru, mengirim naskah lewat email, saya seleksi dengan ketat. Minimal dari segi bahasa. Jika di alenia awal saja sudah kacau, pasti saya tolak. Sudah banyak juga yang naskahnya saya tolak.

Tapi tidak karena ideologi atau genre tertentu?

Tidak ada. Bebas saja, yang penting  memenuhi standar yang kita tetapkan. Kita banyak menerbitkan pantun, gurindam, syair, haiku, sampai horor. Selama berkualitas, dan serius, pasti kita bantu terbitkan.

Kurniawan Junaedhie bersama Adri Darmadji Woko. Foto: Ist

Anda mengawali kiprah kepenulisan sejak di Purwokerto?

Benar. Sejak awal tahun 1974, saat masih di Purwokerto, karya-karya saya baik cerpen maupun puisi sudah dimuat di berbagai media massa di Jakarta. Tahun 1971 saya menebitkan buku kumpulan puisi dalam bentuk stensilan berjudul Rumpun Bambu.

Tahun 1971 bikin Sanggar Pelangi yang berafiliasi dengan koran Pelita Minggu.  Kemudian mendirikan Himpunan Penulis Muda Purwokerto (HPMP) bersama Dharmadi, Ahita teguh Susila, dan lain-lain di tahun 1974. Banyak karya bagus yang lahir dari anggota HPMP, termasuk dimuat di Majalah Horison.

Kapan tepatnya Anda pindah ke Jakarta?

Tahun 1976 saya pindah ke Jakarta. Saya merasa di Purwokerto menthok, dan, seperti yang lain,  saat itu saya juga menganggap Jakarta sebagai mercusuar sastra. Selain juga untuk kuliah di Publisistik.  Tapi karena tidak punya biaya, saya sempat berhenti, hanya fokus nulis untuk koran.

Suatu ketika redaktur Sinar Harapan, Mbak Poppy Donggo Hutagalung.menyuruh saya kuliah lagi. Dia meminta saya menulis setiap minggu sehingga honornya bisa untuk biaya kuliah. Kemudian Mas Gardjito, redaktur Buana Minggu, juga menyuruh saya melanjutkan kuliah sambil nulis di rubrik Lintasan Seni.  Jadi akhirnya saya kuliah dengan biaya dari honor menulis di koran. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan lagi di masa sekarang.

Saya pun kemudian menjadi wartawan, seperti umumnya sastrawan di dunia. Kerjanya yang dekat dengan publikasi, dunia tulis-menulis.

Apa yang membedakan kondisi TIM tahun 70-an dengan sekarang?

Zaman keemasan TIM saat PDS HB Jassin dipegang Pak Ajip (Ajip Rosidi menjabat sebagai Ketua DKJ periode 1973-1981). Saat itu semua kesenian hidup. Ada teater, lukis, tari, sampai seni tradisi. Ada juga pemutaran film secara rutin oleh Kine Club. Setiap minggu ada pameran lukisan, diskusi, dan pembacaan puisi.

Tradisi pembacaan puisi  sebagai sebuah tontonaan lahir di TIM. Disebut oleh Slamet Sukirnanto sebagai genre baru dalam sastra Indonesia. TIM yang pertama menggelar pembacaan puisi sebagai tontonan yang menarik, tiketnya dijual  dan laris. Sutardji (Calzoum Bachri), WS Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Sides Sudyarto DS. Di tahun itu hanya TIM yang bisa mememntaskan pembacaan puisi berbayar.

Apakah mungkin TIM bisa mengembalikan kebesarannya seperti di masa lalu? 

Tadi saya sudah diskusi, kalau soal gedung, sudahlah. Tidak perlu dipersoalkan karena sudah berdiri. Sekarang tinggal bagaimana mengembalikan rohnya, marwah TIM. Mengembalikan kegiatan-kegiatan berkelas seperti dulu. Beruntung sekarang ada PDS HB Jassin sehingga masih ada kegiatan sastra di TIM.  Bagaimana kalau PDS pindah ke tempat lain, apakah masih ada kegiatan sastra di TIM? Belum tentu.

Dalam kondisi seperti sekarang, mestinya DKJ menyatu dengan kegiatan para seniman, dengan stakeholder lain di TIM seperti PDS HB Jassin. Meski tidak ada dana, DKJ punya kekuatan. Dulu DKJ itu seperti dewan kesenian Indonesia, memiliki pengaruh se-Indonesia.

Mestinya DKJ menjadi kurator acara diskusi, launching buku, dan kegiatan sastra lainnya di PDS HB Jassin sehingga berkualitas, punya greget. Jangan dibiarkan saja, seolah-olah itu bukan tanggungjawabnya. Mbok DKJ menyatu dengan stakeholder lain wong satu pekarangan.

DKJ ingin mengembalikan posisinya sesuai mandat awal yakni hanya sebagai perumus kebijakan di bidang kesenian untuk dilaporkan kepada gubernur.  Menurut Anda? 

Silakan saja. Jika DKJ tidak mau melaksanakan kegiatan, maka bisa menunjuk Project officer (PO). Silakan ide dan pengendalinya dari dewan, tapi yang melaksanakan PO. Dulu juga begitu ketika DKJ menggelar Forum Penyair Muda, pembacaan puisi berbayar, pertemuan sastrawan. Semua dilaksanakan oleh PO-PO.

Dari kacamata seorang penerbit, bagaimana karya sastra menghidupi seniman?

Dari dulu problem memang itu.  era digital yang tadinya diharapkan bisa mengubah “kutukan”: itu, ternyata tidak bisa juga. Paling para Fecebookers dengan follower banyak yang bisa menikmati karema bukunya dibeli oleh pengikutnya.

Saya baru belekangan menyadari, sastrawan, penyair, ternyata menulis untuk dirinya, untuk temannya, dan untuk kritikus. Selesai menulis, ditanya ke kritikus. Oleh kritikus kemudian dipuji metaforanya bagus. Demikian juga ketika tanya ke teman, kata temannya bagus. Jadi karya hanya untuk kalangan terbatas, bukan untuk masyarakat. Jangan megeluh kalau masyarakat tidak mau membeli karyanya karena memang tidak memiliki korelasi antara apa yang dibutuhkan masyarakat dengan isi puisinya. Kalau karya itu dibutuhkan masyarakat, misal puisi-puisinya Joko Pinurbo yang menghibur, memberi harapan, pasti laku.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini