PojokTIM – Kesempatan untuk bertemu dengan Humam S Chudori cukup sulit karena sejak pindah ke Tangerang Selatan, sudah jarang ke Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. Padahal saat masih tinggal di Jakarta, TIM menjadi tempat “berburu” inspirasi yang tentu saja rajin dikunjungi.

“Bagi saya pribadi, TIM adalah tempat pemantik saya menulis. Usai mengunjungi TIM saya pasti akan terangsang untuk menulis, entah itu cerpen atau puisi,” ujar Humam melalui wawancara tertulis.

Humam S Chudori lahir di Pekalongan, 12  Desember 1958. Sejak memublikasikan karya fiksinya tahun 1983, sudah lebih dari 50 media cetak yang memuat karyanya seperti Pelita, Terbit, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Merdeka, Jayakarta, Berita Buana, Swadesi, Simponi, Sinar Pagi, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Koran Tempo, Tabloid NOVA, Cempaka, Amanah, dan lain-lain, serta sejumlah media online saat era media cetak berakhir.

Puisinya terhimpun dalam buku antologi Rumah Yang Berkabung, Empat Melongok Dunia, Sketsa Sastra Indonesia, Senandung Wareng di Ujung Benteng, Trotoar, Antologi Puisi Indonesia 1997, Resonansi Indonesia, dan masih banyak lainnya. Sedang kumpulan cerpen-cerpennya telah diterbitkan dengan judul Barangkali Tuhan Sedang Mengadili Kita (2005), Dua Dunia (2005), Perkawinan (2021).

Human juga produktif menulis novel seperti Berlibur di Desa (2010), Ghuffron (2008), Shobrun Jamil (2010), Bukan Hak Manusia (2006) hingga Hijrah (2021), dan yang terbaru Antara Emak dan Tante (2025).

Nama Humam tercatat dalam Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern, Leksikon Sastra Jakarta, Setyasastra Nagari, Apa dan Siapa Penyair IndonesiaLeksikon Susastra Indonesia, dan lain-lain.

Alhamdulillah dua novel saya, Ghuffron dan Shobrun Jamil, telah dijadikan bahan kajian skripsi oleh mahasiswa IKIP PGRI Semarang dan UIN Syarif Hidyatullah Jakarta,” tutur Humam.

Berikut wawancara lengkap PojokTIM dengan Humam S Chudori yang dilakukan secara tertulis.

Apakah Anda masih menulis novel dan puisi?

Alhamdulillah masih. Meskipun tidak semua puisi yang saya tulis akan saya kirim ke media atau diunggah ke medsos. Ada beberapa hal yang harus saya pertimbangkan sebelum memublikasikannya. Dan hal ini, tentu saja, bersifat sangat subyektif. Sulit untuk menjelaskan alasannya.

InsyaAllah, saya akan tetap menulis hingga sang malakul maut menjemput. Dengan kata lain, saya tidak akan pernah berhenti menulis, baik novel, cerpen, atau pun puisi, sampai Allah yang menghentikannya. Ya, selama saya  masih diberi kemampuan untuk mendapatkan gagasan dan fisik masih memungkinkan saya tetap menulis.

Saya yakin menulis jika diniatkan dengan mendapatkan ridho-Nya, bisa bernilai ibadah. Bukankah kita diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Wa maa kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun – tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan kecuali untuk beribadah kepada-Ku. Demikian firman-Nya. Sebutlah, misalnya, mencari nafkah, mengurusi keluarga, berbuat baik kepada sesama, menyambung silaturahmi, dan sebagainya akan bernilai ibadah jika diniatkan untuk mengabdi kepada-Nya.

Bagi saya, menulis bukan sekedar untuk ‘berbagi cerita’ kepada pembaca. Bukan sekedar menuangkan gagasan lewat lambang huruf. Bukan ingin ‘dikenal’ masyarakat luas, khususnya yang hobi baca fiksi. Tentu masyarakat yang tidak hobi membaca sastra, akan melewatkan bacaan semacam ini. Jadi tidak mungkin mengenal nama kita. Pun saya menulis bukan untuk mengisi kekosongan waktu atau sekedar iseng daripada tidak punya pekerjaan. Saya malah sudah memutuskan tidak bekerja sebagai pegawai sejak tahun 1989 karena ingin total menulis. Dengan menulis saya berharap menjadi khoirun naas. Mudah-mudahan tulisan-tulisan saya, meski cuma puisi, misalnya, bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Dalam hal ini, tentu saja, bagi pembaca. Lalu apakah tulisan saya memberikan manfaat bagi orang lain, semua saya serahkan kepada-Nya.

Ketika saya memutuskan tidak berkantor lagi, memang teman dan, terutama saudara saya, banyak yang menyayangkan. Betapa tidak, Waktu itu saya masih bekerja sebagai internal auditor di sebuah perusahaan swasta nasional. Dianggap konyol karena punya gaji yang lumayan, malahan resign dan tak mau terikat dengan perusahaan. Sementara, penghasilan dari menulis sangat tidak pasti. Tidak jelas dan tidak menentu. Entah kenapa saya mengambil keputusan nekad ini. Saya juga tidak tahu.

Saya bukan tidak sependapat dengan saran-saran mereka soal penghasilan. Menulis hanya dijadikan kegiatan sampingan, dan ngantor tetap sebagai pekerjaan mencari nafkah. Tetapi, seiring berjalannya waktu, saya baru menyadari bahwa hidup memang sudah ada dalam skenario-Nya. Barangkali garis takdir hidup saya harus demikian, Tidak lagi memelototi angka-angka, seperti ketika bekerja di kantor, melainkan  huruf-huruf.

Apakah anda tidak menyesal dengan perubahan penghasilan yang semula tetap saat menjadi karyawan, sementara penghasilan dari menulis tak menentu?

Dulu sempat merasa demikian. Dari income tetap yang lumayan, tiba-tiba menjadi tidak jelas. Penyesalan itu pernah terjadi setelah ada media cetak yang tidak memberikan honor kepada saya padahal selalu memberikan honor ke penulis lain. Saya sudah ingatkan lewat telpon dan bersurat. Tetapi, tetap tak dibayarkan. Akhirnya saya ikhlaskan saja, barangkali belum rejeki. Seperti kita tahu, rejeki, jodoh, dan ajal ada di tangan Tuhan.

Ada rencana menerbitkan buku baru?

Ya, pasti ada. Bahkan saya sudah punya naskah novel anak yang siap terbit. Hanya saja masih bingung. Dulu menerbitkan buku cukup kita mengirim naskahnya ke penerbit. Kalau cocok dengan visi dan misi penerbit, akan diterbitkan. Jika tidak saya akan tawarkan ke penerbit. Jika buku kita diterbitkan penerbit major, juga tidak perlu repot, karena penerbit yang akan mendistribusikan ke toko buku.

Tapi, itu terjadi sebelum era Covid. Ketika toko buku masih berjaya. Nah, sekarang tidak sedikit toko buku yang sudah gulung tikar. Demikian pula nasib penerbit major, tak jauh beda dengan toko buku. Apalagi setelah era internet. Masyarakat yang sudah tak hobi baca akan makin malas membeli buku. Orang cenderung buka internet. Nonton Youtube, Tiktok atau yang semacamnya.

Sementara itu, kalau saya menerbitkan buku dengan biaya sendiri atau indie, perlu modal. Padahal, seperti saya sampaikan di atas penghasilan saya sudah tidak jelas. Tidak menentu. Selain itu, menerbitkan buku secara indie harus bisa memasarkan sendiri. Padahal, saya termasuk orang yang tidak ‘tega’ bila ada yang berminat memiliki buku saya tetapi tidak punya uang.

Bisa ceritakan sedikit tentang novel Ghuffron?

Ide awal penulisan ini muncul setelah saya menjadi salah satu pengurus masjid, sebagai kepala bidang pendidikan anak. Ada salah seorang anak buah saya yang tampaknya tak pernah punya persoalan berat. Dari pengamatan saya dan setelah saya rekayasa sedemikian rupa, ditambah imajinasi, pengalaman, perenungan, dan lain-lain, ia  menjadi sebuah novel. Tentu saja, nama guru ngaji tersebut bukan Ghuffron. Sebetulnya awalnya naskah ini saya beri judul Keluarga Ghuffron, namun dalam pertimbangan Penerbit Republika, judul seperti ini dianggap kurang mendukung pemasaran.

Diakui atau tidak, penjualan buku masih juga ditentukan oleh toko buku. Pengalaman saya, dalam bulan itu penerbit menerbitkan empat buku. Salah satunya novel Ghuffron. Masih dalam bulan yang sama, saya sempat berkunjung ke toko buku milik penerbit besar yang ada di Bintaro Plaza. Tak jauh dari pintu masuk ada meja yang dijadikan display buku yang baru terbit. Di sana ada tulisan Buku Baru. Ternyata buku baru terbitan Republika hanya ada satu yang berada di tempat itu. Tiga judul lainnya, termasuk Ghuffron, tak ada. Padahal, masih ada ruang yang memungkinkan untuk meletakkan beberapa judul buku lagi.

Merasa tidak yakin hanya satu buku yang didistribusikan ke toko buku itu, saya langsung menuju ke rak yang ada tulisannya Buku Novel. Ternyata novel Ghuffron juga tidak dipajang di rak tersebut. Karena penasaran saya datangi semua display buku. Ketika sampai pada rak Buku Fikih Klasik saya temukan novel Ghuffron. Nah, bagaimana calon pembaca akan tahu jika penempatannya demikian. Saya yakin yang mendatangi rak Buku Fikih Klasik bukanlah pengunjung yang hobi membaca novel.

Apakah ada alasan tertentu mengapa beberapa novel Anda menggunakan judul nama tokoh seperti Ghuffron?

Saya menggunakan nama tokoh seperti Ghuffron, misalnya. Karena saya menganggap judul buku dengan menggunakan nama tokoh berharap akan memunculkan rasa ingin tahu pembaca dan akan sulit menebak isinya. Dengan demikian, sekali lagi berharap, calon pembaca akan bersedia membelinya.

Menggunakan nama tokoh juga tidak diharamkan dalam penulisan fiksi. Tak sedikit novel yang judulnya menggunakan nama tokoh, misalnya Theresa, dr. Zhivago, Mushashi, Gaijin, Sri Sumarah, Karmila, dan lain-lain. Itu sebabnya Ketika pihak penerbit mengusulkan perubahan judul yang semula Keluarga Ghuffron menjadi Ghuffron saya menyepakatinya.

Novel Ghuffron sebetulnya ingin menyentil masyarakat yang sok ikhlas, sok religius. Selalu mengatakan kalau mengajar ngaji harus lillahi ta’ala. Tidak patut mendapatkan ujroh (imbalan) yang layak. Padahal, sebagai manusia guru ngaji juga punya kewajiban yang sama dengan orang lain. Memberi nafkah keluarga, menyekolahkan anak, membayar listrik dan lainnya. Harapan saya, setelah membaca Ghuffron orang akan lebih bisa menghargai jerih payah seorang guru ngaji.

Apa kabar KSI di tengah maraknya komunitas seni saat ini?

Tahun ini KSI (Komunitas Sastra Indonesia) memasuki usia 29 tahun. Sebetulnya KSI sempat mencapai kejayaannya. Bukan hanya menerbitkan buku, namun juga menyelenggarakan even sastra, mendirikan tempat-tempat pelatihan menulis, mengadakan lomba penulisan (kritik, cerpen, puisi), dan menggelar kongres. Banyak even yang diselenggarakan oleh KSI bukan hanya yang bersifat nasional tapi juga internasional seperti JILFEST (Jakarta International Literary Festival) pada tahun 2008 dan tahun 2011.

Namun, setelah kepemimpinan berganti sejak tahun 2016, KSI seperti kehilangan gairah. Barangkali karena ketua umumnya sakit berkepanjangan sehingga tak bisa aktif. Sementara beberapa pendiri sudah mulai berusia lanjut. Ada juga yang sudah tidak mungkin bisa berkiprah lagi seperti Diah Hadaning dan Azwina Aziz Miraza.

Sebagai anggota saya hanya menunggu “gong” dari para pendirinya yang masih ada sekarang ini. Sebab decision maker ada pada mereka. Meskipun demikian, sampai saat ini saya masih menjalin komunikasi dengan mereka  – kendati hanya lewat alat komunikasi dua arah.

Apakah komunitas harus memiliki misi khusus atau ideologi perjuangan tertentu di luar kesenian seperti isu buruh, anti-korupsi, lingkungan, dan lain-lain?

Idealnya memang demikian. Tapi, saya tidak yakin komunitas akan mampu melakukannya. Sebab komunitas semacam ini harus memiliki beberapa perangkat yang dibutuhkan, semisal seksi bidang hukum. Jika tidak maka komunitas tidak akan mampu memberi pembelaan terhadap anggotanya yang karya kreatifnya dianggap melawan rezim, atau dianggap melanggar hukum.

Kapan pertama berkegiatan di TIM?

Pertama kali mengenal TIM, setelah saya tinggal di Jakarta. Waktu itu saya mengontrak rumah di Gang Guru Demar, Kali Pasir. Hanya saja, kunjungan saya ke TIM seringnya hanya menonton pertunjukan pementasan teater atau pembacaan puisi.

Saya baru berkegiatan di TIM tahun 1996, setelah kelompok Sastra Kita Jakarta bergabung dengan KSI. Kegitan lebih sering diadakan di PDS HB Jassin. Entah itu pembacaan puisi, rapat anggota KSI, acara bedah cerpen, dan lain-lain.

Ada satu peristiwa yang tak akan pernah bisa saya lupakan yaitu ketika komunitas Roda-roda Budaya yang dikomandoi Wowok Hesti Prabowo menyelenggarakan acara Pembacaan Puisi Lima Penyair Jabotabek yakni saya, Asa Jatmiko, Andre Lusa, Zainudin KR dan Widodo Arumdono pada 10 Agustus 1996. Kegiatan rencananya digelar di halaman Galery Buku Bengkel Deklamasi TIM. Sekitar pukul 19.30 WIB, tiba-tiba dibatalkan mendadak.  Entah apa alasannya. Saat saya yang baru tiba di TIM, Wowok langsung menunjukkan selembar surat dari aparat keamanan yang menyatakan pelarangan kami membaca puisi.

Sampai sekarang saya tak habis pikir dengan pelarangan itu. Padahal baca puisi semacam ini, dapat dipastikan, tidak akan menimbulkan keonaran, kegaduhan, apalagi sampai terjadi pemberontakan. Lha wong pembacaan puisi yang dilakukan oleh penyair Burung Merak juga tak pernah memantik kegaduhan. Terlebih lagi oleh penyair semacam kami yang belum banyak dikenal orang banyak. Tapi, begitulah. Entah kenapa penyair seperti ditakuti oleh aparat. Padahal even yang seringkali menimbulkan kericuhan, seperti sepak bola, justru tidak ditakuti aparat.

Bagaimana pandangan Anda tentang TIM sekarang?

Dari segi fasilitas TIM sekarang memang sudah lebih baik dibandingkan dengan awal kunjungan saya. Namun, suasananya sudah tak seperti dulu. Sejak dikelola oleh Jakpro (PT Jakarta Propertindo), sepertinya sempat menimbulkan keresahan para seniman sampai mendirikan Posko #SaveTIM.

Menurut saya, TIM harus kembali ke khittah awal. Jangan sampai eksistensi TIM berubah-ubah, tergantung kepada siapa yang mengelola. Khawatir jika akhirnya TIM tak lagi berfungsi sebagaimana nawaitu awalnya yang digagas oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin.

Bagi saya pribadi, TIM, di samping sebagai tempat berkreasi, saling tukar gagasan, tempat temu kangen, tempat kontemplasi, adalah juga tempat pemantik saya menulis. Artinya, ketika saya merasa buntu dalam menulis, setelah mengunjungi TIM dan bertemu kawan-kawan biasanya akan memberi energi baru sehingga mendorong saya membuka laptop dan menulis. Entah itu cerpen atau puisi.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini