PojokTIM – Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk Kabupaten Rote, memiliki tradisi calon pengantin pria harus memberi belis atau mahar kepada keluarga calon mempelai perempuan. Belis bisa berupa uang, hewan, atau barang-barang lainnya. Belis memiliki makna sebagai simbol penghargaan terhadap perempuan yakni balas wae cucu de ende (membalas air susu ibu dari pihak perempuan), sekaligus bukti keseriusan mempelai laki-laki.

“Namun dalam beberapa kasus, belis diartikan sebagai beli putus, pihak laki-laki dianggap telah membeli pihak perempuan. Di masa lampau, kondisi ini seringkali menempatkan perempuan pada posisi inferior, lemah, sehingga memunculkan banyak kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga),” ujar Midzon L.I Johannis saat menjadi pembicara dalam peluncuran novel Ibuku Perempuan dari Pulau Rote, Bali Penuh Kenangan karya Fanny Jonathans Poyk di aula HB Jassin Lantai 4 Gedung Ali Sadikin Kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Minggu (1/12/2024).

Menurut Midzon, kondisi geografis NTT, termasuk Kabupaten Rpte, sangat keras dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Hal itu membentuk sifat dan watak penduduknya.

“Hidup di alam yang keras dan penderitaan yang melingkupinya sejak lahir, membentuk masyarakat NTT menjadi sosok yang kuat dan tangguh. Demikian juga yang terjadi pada pada sosok ibu dalam novel karya Fanny Jonathans yang digambarkan sebagai perempuan Rote yang tangguh menghadapi berbagai persoalan dalam hidupnya,” terang penulis buku Dua Musim Perjalnan.

Sementara dalam paparan proses kreatifnya, Fanny menuturkan, novel Ibuku Perempuan dari Pulau Rote, Bali Penuh Kenangan adalah kilas balik perjalanan hidupnya yang disandingkan dengan unsur fiksi.

“Saya merasa sedih setiap kali mengingat ibu saya. Terlebih setelah beliau mengidap dimensia dan hilang pada tahun 2006 karena saat itu kami lupa menempelkan nomor telepon pada bajunya.  Tetapi sepahit apa pun itu, saya tidak boleh larut dalam kepedihan. Saya tergugah untuk menuliskan dengan harapan dapat menjadi pembelajaran bagi pembaca tentang bagaimana seharusnya bersikap terhadap orang tua kita terutama jika sudah pikun,” terang Fanny yang telah melahirkan banyak tulisan yang terinspirasi dari kondisi sosial di lingkungannya.

Selain kisah ibunya, Fanny juga menyelipkan pengetahuan tentang budaya Rote, budaya leluhurnya yang belum pernah disambangi. Fanny juga mengulik tentang Bali yang banyak menyimpan kenangan.

“Saya menghabiskan masa remaja di Bali, sebelum kemudian pindah ke Depok.Saya bersyukur memiliki suami yang penuh pengertian sehingga dapat melewati semua rintangan dalam hidup saya dan menjadi pribadi yang kuat. Terima kasih suamiku,” ujar Fanny kepada Jonathans yang juga hadir dalam acara tersebut.

NI Made Sri Andani saat membacakan puisi berjudul Ibuku, Ibuku. Foto: Ist

Selain diskusi yang dipandu oleh Nuyang Jaimee, acara juga diisi dengan pembacaan puisi oleh penyair-penyair ternama seperti Imam Ma’arif, Nanang R Supriyatin, Sihar Ramses Simatupang, Octavianus Masheka, Rissa Churria, Giyanto Subagio, Ni Made Sri Andani, Retno Budiningsih, dan lain-lain.

Berikut puisi Ibuku, Ibuku karya Fanny Jonathans Poyk yang dibacakan NI Made Sri Andani dengan penuh penghayatan.

Ibuku…ibuku…
Tangis tak pernah jeda bila ingat tentangmu
Panggilku meruar di rentang waktu tak bersekat
aku menunggu jawab bersama kenangan tentangmu
ketika pendar wajahmu melintas di benak ingatanku, cemas detak degup di jantung
kabar tentang kehilanganmu bagai terpaan badai ganas melibas rasa
Perih juga pedih menyatu, kian menyengat kalbu, berkata pada diri, “Ibu, hingga kini jejakmu tak meninggalkan isyarat, di mana kau?”
Itulah tanya berbalut linang air mata luruh di pipi
Kutelusuri tapakmu di rentang waktu masa demi masa
Kau lenyap ditelan bumi
Ketika demensia itu kian mengakar
Sesal terlambat sudah
Kau pergi jauh bersama era masa lalu dan tak pernah kembali
Ibuku…ibuku…aku rindu akan kenangan tentang kita.

FJP/November/2024

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini