Oleh: Isbedy Stiawan ZS
TELAH lahir penyair muda Lampung. Mereka penerus estafet kepenyairan di Lampung dan Indonesia. Saat ini, 20 penyair itu, masih pelajar SMA di Provinsi Lampung.
Sebagai “penyair masa depan”, mereka berpeluang untuk lebih banyak belajar dan mendalami lika-liku perpuisian.
Sebanyak 99 puisi dari 20 penyair muda se Provinsi Lampung terhimpun dalam buku Menyingkap Kabut Kata yang diluncurkan pada Sabtu 7 September 2024, oleh Sanggar Seni Gauri, Lampung Barat. Peluncuran di Hutan Pinus Sumberjaya ini berkat dukungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI. Selain peluncuran buku, dilaksanakan pentas puisi dalam tajuk Kemah Sastra.
Pengisi antologi puisi Menyingkap Kabut Kata adalah para pelajar SMA/SMK sederajat se Provinsi Lampung. Mereka adalah penyair muda yang lolos seleksi dari 55 peserta yang mengirimkan puisi ke Sanggar Seni Gauri sebagai pelaksana. Puisi-puisi para pelajar yang masuk dikuratori untuk mendapatkan 20 penyair yang layak mengikuti Kelas Penulisan Puisi selama enam hari; 3-8 Agustus 2024 lalu di Mess PLTA Way Besai, Sumberjaya, Lampung Barat.
Sebelum dilanjutkan, inilah 20 Penyair Muda se Lampung dalam buku ini: Ahmad Andrean Asmara, Aini Kamelia, Alsya Rahmadani, Alvina Agustin, Alya Dwi Lestari, Aulia Rahmania Azzura, Ayessa Tiara, Chelsea Chitya Putri, Flannery A.E.B Waoma, Kayren Senggarani, Lilia Vivia Anggraini, Muhammad Faiza Afif, Maria Anestasya BR. Nainggolan, Nayla Alifvia Yulistine, Nisa Alfadilah, Muhammad Alif Al Ghifari, Raya Opta Pitriyani, Riandinni Ashifanuriza, Selsa Alfira, dan Septi Rahmayani
Mereka dibimbing penulisan puisi oleh Ari Pahala Hutabarat, Isbedy Stiawan ZS, dan Iswadi Pratama, para calon penyair muda diberikan cara menulis puisi, mencari ide/gagasan, membangun rumah tangga kata, menyerap persoalan yang dekat dan diketahuinya. Cara mendapatkan ide/gagasan, misalnya, bisa dari amatan, mendengar, membangun imajinasi, dan seterusnya. Lalu membangun rumah tangga kata – ini istilah yang acap dikatakan Ari Pahala Hutabarat.
Para peserta diberi tugas menyumbang kata (diksi) sebanyak 5 kata (dasar), dengan amatan adalah sebuah pelabuhan (dermaga) kapal. Setelah mendapatkan sekira 100 kata (diksi), maka calon penyair merangkai atau menjahit kata-kata tersebut. Kata-kata yang dimiliki itu, boleh diberi imbuhan dan tambahan aku, kau, yang, dan, juga bisa tak menggunakan kata yang sudah menjadi pilihannya. Sebagai bagian dari ketatnya memilih diksi, sekaligus editorial masing-masing calon penyair.
Proses kreatif berikutnya, para calon penyair dibawa ke luar kelas. Di halaman mess PLTA Way Besai, selain dikenalkan alam sekitar untuk dicecap dan diresapi segala hal yang dilihat maupun dirasakan. Satu jam lebih para peserta berkeliling dan mencatat apa yang dilihat-dirasa sebagai bahan untuk selanjutnya ditulis menjadi puisi. Saat itu gerimis, bahkan nyaris berubah hujan. Ternyata, sejumlah calon penyair menangkap peristiwa gerimis dalam puisinya. Ini penanda bahwa para peserta telah memiliki atau terbangun penciuman dan perasaan tentang suatu peristiwa. Saya menyebutnya sense of poetic atau sense of imagine. Ini penting bagi seorang penyair, kelaknya.
Puisi-puisi yang dihasilkan melalui “menabung kata” dalam rumah tangga kata, juga pengamatan di luar mess ini kemudian dikoreksi. Pekerjaan berikutnya, para peserta diajak ke bendungan Way Besai. Para peserta menerima referensi kisah-kisah di luar soal bendungan tersebut. Dona Sabatina, panitia yang juga warga asli Sumberjaya, memiliki banyak cerita di balik pembangunan bendungan tersebut. Cerita ini hanya materi untuk “pengayaan” puisi para peserta, jika mau mengangkat tema yang dimaksud. Tetapi bisa juga para calon penyair muda mengandalkan imajinasi yang dipunyai atau diperoleh saat berada di dekat bendungan Way Besai.
Para peserta juga mendapatkan ilmu bagaimana menulis puisi cepat, menulis puisi bersandar dari puisi penyair lain, namun bukan berarti memplagiat. Artinya, hanya “mengambil” imajinasi dan cara penyair lain mengurai tema yang ada. Semua hasil penulisan itu, terhimpun dalam antologi puisi Menyingkap Kabut Kata.
Kata “kabut” memang menjadi arustama yang dirasakan dan dilihat oleh 20 calon penyair muda Lampung ini. Saya juga melihat, terutama di pagi hari, kabut menyelimuti kawasan Way Besai. Begitu esetetis dan puitis! Dingin, walau tak begitu menusuk tubuh, tapi terasa beda dengan suhu yang biasa saya “gauli” di Bandarlampung. Inilah mengapa, boleh jadi, panitia menjadikan bagian dari judul antologi puisi. Memang ada kabut, sememangnya terdapat kata-kata. Dan, kita menyingkapnya bersama-sama.
Satu puisi yang saya anggap menarik, karya Aini Kamelia. Judulnya “Pijakan Terakhir”. Puisi ini lahir di saat berada di kawasan bendungan, ketika seluruh peserta diajak ke tempat ini. Andai pihak Way Besai memberi izin lebih leluasa memasuki PLTA Way Besai, barangkali akan lahir puisi-puisi bertema lain.
Inilah puisi Aini Kamelia:
Pijakan Terakhir
Di tepi bendungan
Kesepian meluap
Cahaya redup,
Hening.
Air menunggu
Dalam dukaku
Pijakan terakhir
Masa depan sirna
Rindu menyelam dalam
Gelombang menelan
Cinta tenggelam,
Gelap.
Keriangan semu datang
Di permukaan air
Hidup hilang,
Tenang.
Sumber Jaya, Agustus 2024
Tentang kabut (halimun), embun yang dirasa para peserta selama 7 hari di PLTA Way Besai, dapat disimak dalam puisi “Agustus: Rintik Damai di Bawah Langit” karya Alvina Agustin. Ya, keberadaan 20 penyair muda Lampung di acara Kelas Penulisan Puisi itu bertepatan bulan kemerdekaan RI, yakni 3-8 Agustus 2024. Lalu ada rintik (gerimis) seperti yang sudah saya sebut di atas.
Berikut puisi Alvina Agustin, selamat menikmati.
Agustus: Rintik Damai di Bawah Langit
Agustus,
Pohon-pohon bergoyang rindu
Menyambut rintikan hujan
Pepohonan dan rumah-rumah kecil
Di selimuti hujan
Dalam pelukan
Malam datang
Langit menjadi kanvas hitam
Desa tenang
Lampu-lampu jalan temaram
Malam sunyi, hening meresap
Membungkus setiap sudut
Doa telah disemai, dalam damai
Menjaga hidup dan keindahan.
Sumber Jaya, Agustus 2024
Menulis dari yang dekat-dekat
Menulis – khususnya puisi – mulailah dari yang dekat-dekat, yang bisa dipahami dan diselami. Bukan tidak boleh menggali tema atau persoalan di luar sana, yang jauh dari diri penyair. Menulis sesuatu, hendaklah pula bukan hanya mengurai apa yang terdeteksi melalui pandangan dan audio, tetapi perkuat dengan referensi lain. Misalnya dari pengetahuan yang dimiliki, pengalaman pribadi atau dari cerita orang lain, dan dari sentuhan di luar ide tersebut.
Contoh, saat peserta dibawa ke bendungan Way Besai. Ada hal-hal di balik apa yang terlihat tentang bendungan itu. Misalnya, kisah cinta para gadis di sekitar itu yang harus ditinggal kekasihnya (suami?) dalam keadaan sudah memiliki anak, karena si lelaki harus pulang ke kampungnya usai “kontrak kerja” selesai. Atau kisah “cincin pertunangan” yang dilempar ke bendungan, lantaran terjadi keributan sepasang calon pengantin. Seluruh kisah sebagai referensi tersebut bisa membangun puisi menjadi kuat dan tafsir menjadi luas.
Dalam Kelas Penulisan Puisi saya juga memberi contoh proses (kreatif) lahirnya puisi “Nuwo Badik” dalam buku Nuwo Badik, Dari Percakapan dan Perjalanan (Isbedy Stiawan ZS, Siger Publisher, 2022).
Proses kreatif lahirnya puisi saya tersebut, tatkala saya mengunjungi rumah pengrajin badik di Uluan Nughik, Tulang Bawang Barat. Saya melihat, saya mengamati, saya merasakan, dengan seluruh apa yang saya miliki. Bahkan, tentu saja imajinasi saya sebagai penyair. Saya membayangkan, pengrajin badik nyaris sama dengan penyair; sama-sama menempa. Pengrajin menempa besi menjadi badik, sedangkan penyair menempa ide (dan kata-kata) untuk dijadikan puisi.
Tetapi bukan sekadar penglihatan dan perasaan cara mengrajin badik. Di sana ada kisah atau sejarah di luar pandangan sekilas itu. Yakni, seperti sejarah Empu Gandring, Tunggul Ametung, Ken Arok, dan Ken Dedes yang berkecamuk di dalam wajah badik tersebut. Juga kisah perempuan di zaman Firaun yang dimasukkan ke kuali yang di bawahnya api menyala dan berkobar. Hanya sebab perempuan itu menyebut nama Allah. Dan banyak soal yang berkecamuk dalam proses lahirnya puisi “Nuwo Badik” itu. Ini hanya contoh yang saya berikan pada Kelas Penulisan Puisi.
Pada kelas itu juga saya mewanti-wanti pentingnya menulis sesuai ejaan yang benar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sebab puisi dibangun dari kata-kata, dan penyair mesti mengakrabi kata-kata (dan bahasa) secara benar. Bagaimana penulisan “di” saat berikutnya ada rumah sakit; apakah disambung (dirumah sakit) ataukah di pisah (di rumah sakit), dan lain sebagainya.
Saya amati, 20 penyair muda Lampung ini “masih bermasalah” dengan ejaan yang benar. Kecuali ketika penyair ingin licentia poetica, itu soal lain. Atau ingin mengusung ciri yang dimiliki sebagai “penanda” bagi si penyair.
Selebihnya, puisi-puisi dalam Menyingkap Kabut Kata layak diluncurkan dan patut sebagai karya yang baik bagi khasanah perpuisian Indonesia. Seperti puisi-puisi dari Ahmad Andrean Asmara, Aini Kamelia, Alsa Rahmadani, Ayessa Tiara, Alfina Agustine, Aulia Rahmania Azzura, Flannery A.E.B Waoma, Muhammad Faiza Afif, dan Muhammad Alif Al Ghifari – untuk menyebut beberapa nama – yang boleh dikatakan puisinya sudah layak. Bukan berarti lainnya buruk, karena penilaian saya ini dari “sekali baca” dan lahir dari subjektivitas. Artinya, perlu pendalaman baca yang lama, apabila ingin mengupas puisi-puisi mereka.
Tetapi, inilah awal bagi para penyair dalam antologi ini menapak dunia ke(penyair)an Lampung dan Indonesia lebih baik. Kesuksesan harus dimulai dengan proses. Proses mesti diimbangi dengan kesungguhan. Menjadi seniman (sastrawan) “wajib” serius dan berdarah-darah.
Ke 99 puisi yang ditulis oleh 20 Penyair Muda dari kalangan pelajar SMA/SMK sederajat se Provinsi Lampung, adalah aset berharga yang harus terus dirawat, dan – terpenting: jangan berhenti menulis, karena selalu mengasah bagi seseorang untuk berhasil. Buku ini adalah “sertifikat” bahwa karya kita bisa abadi. Wallahualam. Tabik pun.
Karang Anyar, 5 September 2024
_____
Isbedy Stiawan ZS adalah sastrawan asal Lampung, sebagai pembimbing Kelas Penulisan Puisi bersama Ari Pahala Hutabarat dan Iswadi Pratama, 3-8 Agustus 2024.