PojokTIM – Sebuah perhelatan seni rupa tengah berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran kolektif “Tempatan” yang digagas oleh Komunitas Empu Gampingan telah membuka pintu bagi 25 perempuan perupa untuk berbagi visi artistik mereka melalui karya-karya inspiratif. Pameran ini berlangsung dari tanggal 30 April – 16 Mei 2024.

Kolaborasi antara Galeri Nasional Indonesia (GNI), Ruang Garasi, dan para perupa perempuan ini telah menciptakan ruang yang memadukan keindahan visual dengan nilai-nilai sejarah dan budaya Indonesia.

“Kerjasama antara GNI dan penyelenggara pameran ini, dapat terus terjalin dan menghasilkan catatan-catatan baik demi mewujudkan percepatan pemajuan kebudayaan Indonesia,” ujar Penanggungjawab Unit Galeri Nasional Indonesia, Jarot Mahendra , Rabu (1/5/2024).

Bertindak sebagai Kurator Frigidanto Agung dan Co-Kurator Irene Agrivina Gilang W. April didukung Koordinator,Liesti Yanti Purnomo, Laila Tifah, KaNA Fuddy Prakoso, Direktur Pelaksana KaNA Fuddy Prakoso, dan Tim Pelaksana & Produksi Ruang Garasi.

Ke-25 perempuan perupa tergabung di pameran ini berbagi visi artistik mereka melalui karya-karya inspiratif. Pameran yang digagas secara kolektif ini memperlihatkan komunitas seni perempuan mampu bergerak dalam ruang-ruang sosial. Komitmen Empu Gampingan, memberi tanda bahwa komunitas seniman perempuan dapat membuat representasi seni dengan karya-karyanya yang unggul secara artistik.

Pameran Kolektif Tempatan oleh Empu Gampingan

Pameran kali ini mencoba menawarkan bagaimana pergerakan perempuan dalam komunitas menjadi latar, sehingga wujud kebersamaan dapat dilihat secara nyata.

“Galeri Nasional Indonesia sudah bisa memetakan porsi-porsinya dengan memberikan ruang pamer untuk berkarya, menciptakan ruang edukasi bagi publik, salah satunya melalui pameran kolektif Tempatan oleh Empu Gampingan ini, pameran ini bukan bertutur tentang nilai estetika tinggi, high art, namun menunjukkan kekuatan para perempuan saat mereka bereksplorasi dalam karya,” Wahyu Suherman seorang Sketcher, aktif di komunitas KamiSketsa Galnas, sekaligus Pemandu untuk pameran Tempatan menambahkan dengan lugas.

Empu Gampingan adalah kolektif seni perempuan, yang berasal dari lintas disiplin dan berbagai latar belakang. Empu hadir di tengah maraknya berbagai kolektif di Indonesia. Sebagai kolektif perempuan yang aktif, Empu menjadi wadah aspirasi bagi para perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan seni di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta pada era tahun 1990-1997, ketika FSRD ISI Yogyakarta masih berdomisili di Gampingan Yogyakarta.

Salah satu karya yang membuat saya tertarik untuk berdiam lama di depannya adalah karya anyaman “Mengalir Saujana” karya Amber Kusuma. Dengan teknik anyaman dan media campuran, Amber Kusuma berhasil menyampaikan pesan sejarah yang menggugah hati. Melalui karya ini, ia menggambarkan jejak sejarah desa yang subur dan kaya akan tanah serta air. Kisah epik dan tragis dari masa lalu yang dihidupkan kembali melalui karya seni ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang perjalanan sejarah Indonesia.

”Mengalir Saujana bukan sekadar karya anyaman, melainkan sebuah kisah yang menghidupkan kembali jejak-jejak masa lalu dan memberikan inspirasi untuk masa depan yang lebih baik, Saya berharap karya ini dapat menginspirasi dan menyentuh hati banyak orang. Semoga pesan-pesan yang terkandung dalam karya saya dapat terus berdampak positif bagi yang melihatnya,” ujar Amber Kusuma saat ditemui pojoktim.com pada (30/4/2024).

Amber Kusuma adalah seniman interdisipliner, desainer dan dosen tamu di bidang fashion & seni, la belajar di Institut Seni Indonesia & ESMOD Jakarta. Tahun 2019 la mendirikan Revofash Upcycling Lab yang bereksperimen dengan limbah tekstil, pada tahun 2023 ia masuk nominasi Top 7 Runner Up Indonesia Circular Fashion Incubator (ICFI).

Amber Kusuma (kanan)

Amber juga mentor & pelatih bagi komunitas tenun perempuan dan UMKM di Indonesia. Tahun 2021 hingga saat ini ia mengajar di beberapa universitas terkait gaya hidup berkelanjutan, seni dan fashion. Karya seninya berupa ilustrasi hingga manipulasi limbah tekstil. Narasinya mengangkat tema terkait perilaku manusia, jejak sejarah budaya, alam & lingkungan.

“Karya anyaman ini bercerita sejarah desa saya yang subur. Desa yang kaya akan tanah subur dan air yang bening, didampingi bentangan aliran air yang mengalir tanpa henti dalam sebuah kanal bernama Selokan Mataram. 1942 adalah tahun yang paceklik dengan tanah yang kering dibawah penjajahan Jepang. Rakyat Yogyakarta hanya bisa makan gaplek. Terancam Romusha, Raja Yogyakarta Sri Sultan HB IX menyiasati mengalihkan rakyatnya ke pembangunan Kanal Yoshihiro (Selokan Mataram), Kanal bertemunya dua sumber air besar yang berdimensi psiko-mistis yang sudah diramalkan Raja Joyoboyo & Sunan Kalijaga. Kisah epik, heroik namun sekaligus tragis pilu yang perlu digaungkan ke generasi selanjutnya, agar lestari,” ujar Amber. Makna tersirat ini divisualkan dalam bentuk karya anyaman “Mengalir Saujana” dengan Tapestri Gantung, Media Campur (Tekstil, Kawat Besi, Cat Akrilik) berukuran 150 x 200 cm.

Amber bukan hanya seorang seniman berbakat, tetapi juga seorang pendidik dan penggerak dalam bidang fashion, seni, dan gaya hidup berkelanjutan. Dengan karya-karyanya, ia mampu mengangkat tema-tema yang relevan dengan perilaku manusia, jejak sejarah budaya, alam, dan lingkungan.

Partisipasinya dalam pameran “Tempatan” tidak hanya sebagai seniman, tetapi juga sebagai narator yang membawa kita pada perjalanan yang memperkaya jiwa dan membangkitkan semangat untuk menjaga warisan budaya bagi generasi selanjutnya.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini