Oleh: Anto Narasoma

Syair pujian (puisi) merupakan daya ungkap perasaan yang begitu tulus dan ikhlas. Karena itu ketika seseorang memuji dengan syair-syair indah, mampu menggambarkan emosi yang begitu menyentuh seorang dipujinya.

Membaca puisi penyair Romy Sastra bertajuk Odeku Ya Hu Bernakhoda Nuh diungkap dengan majas bertutur. Meski demikian unsur puitiknya begitu kuat memberikan nilai daya ungkap yang cermat dengan pilihan kata yang tepat.

Tidak semua penyair mampu menulis puisi seperti ini. Sebab corak ragamnya begitu mengalir dan menggambarkan ode klasik tentang Tuhan yang penyair cintai.

Wajar andaikan dengan puisi ini Romy Sastra meraih juara Anugerah Sastra Media Apajake 2023.

Ode merupakan sajak bernuansa luhur untuk memuji siapa saja. Namun untuk menyisipkan majas ke dalam larik-larik puisinya, penyair bergitu cermat menyisipkan kata-kata yang tepat.

Karena itu wajar apabila karya Romy Sastra ini memperoleh anugerah tertinggi sebagai juara Sastra Media Pajake 2023.

Dari bait pertama kata-kata indah itu ia ungkap dengan suara iman yang begitu dalam dan kuat..Partitur luhur telah dikabarkan ke dalam ayat-ayat Tuhan//Odeku “Ya Hu” seperti ritme pakeliran mengusik keheningan tasbih berjalan//tubuh dan rohku bertabuh asyik bersaksi dayunya gemuruh dan berlabuh..

Jika dikuak, ruang puitik itu diisi dengan kata-kata seimbang dan mampu mengantarkan pujian-pujian yang tepat kepada Kekasih si penyair (Tuhan lirik).

Seperti dikemukakan Samuel Taylor Coledrige, pujian terhadap Tuhannya itu ia sisipkan ke balik kalimat secara terstruktur dan menggambar inteletual penyair yang begitu cerdas.

Jika dicermati secara mendalam, dari struktur kalimat terdapat nilai strophe, antistrof, dan epode. Tiga tahapan ini terdapat kekaguman, cinta, dan pujian santun kepada Kekasih (Tuhan : lirik).

Wajar apabila Samuel menyatakan demikian, karena dari bentuk pujian yang sarat estetika itu, pembaca akan dibawa ke dunia puitik yang penuh imajinasi spiritual.

Memang, setiap penyair memiliki pokok persoalan yang diungkap sesuai tema yang disampaikan. Meski Romy Sastra tidak mengemukakan idenya secara tersamar, namun transparansi imajinasi itu justru menampilkan keapikan pokok persoalan yang diungkapnya.

Pada alinea ketiga itu penyair ungkap dengan kerinduan spiritual yang mendalam. Justru dengan doa penyair menghamba dengan sejuta harapan.

Coba kita simak,..Doa kudus kuutus semata-mata karena cinta menghadap//Aku datang dari ketiadaan menghamba berharap//Ya Rabb?//Aku mati menemuiMu sekejap pada jalan makrifat..

Begitu dalam makrifat di dalam jiwa penyair (lirik). Aku mati menemuiMu sekejap pada jalan makrifa. Kondisi itu terjadi karena pengalaman batin di sepanjang kehidupan penyair.

Dalam alinea kelima, bisa dirasakan kedalaman makrifatnya yang penyair tumpahkan ke dalam bahasan pujian yang begitu indah.

Aku larut memungut sekujur rindu, dan pada akhirnya berurai air mata//Dalam fana tumpangan layaranku bernakhoda Nuh//di geladak kapal Nuh aku memandang bah, badai berkecamuk ombak mengamuk//Dosaku jangan kau ikut di puncak gelisah, lisanku istighfar membakar noda tak putus pelerai murka dari kehinaan aku lakukan: tobatku nasuha..

Kecintaan terhadap Tuhan di dalam jiwa penyair begitu kuat meronta. Terutama secara ikhlas ia mengakui gelimang dosa sehingga dari mulutnya selalu melafalkan ucapan istighfar sebagai bentuk tobatan nasuha.

Karena itu dari balik kata-kata yang dirangkai penyair sisipan arti yang diungkap begitu dalam. Inilah yang disebut sebagai sense untuk mengungkap sifat ketakwaan kepada Allah SWT.

Jadi, secara metodelogi, puisi yang baik dan padat isi adalah puisi yang diciptakan secara utuh, dengan kebulatan baris-baris puisinya yang merefleksikan keutuhan makna (reliji) di dalamnya.

Seperti dikemukakan IA Richard, metode puisi itu dibagi dalam lima bagian yang saling berjalinan satu dengan yang lainnya, seperti diction, imagery, the concrete word, figuratif language, dan rhytm and rime.

Artinya, seperti dalam ilmu anatomi, kata-kata dipilih dan ditempatkan sesuai fungsi dan kedudukannya dalam baris puisi. Dengan ungkapan lain, tak hanya sesuai timbangan rasa bahasa dan iramanya, namun jika dianalisis, isi yang disisipkan disesuaikan secara konotatif dan demotatif.

Dalam puisi Odeku Ya Hu Bernakhoda Nuh ini penyair tampaknya berusaha bergulat keras dengan nilai estetika, sehingga pemilihan kata-katanya dipilih yang paling tepat pada fungsinya. Coba perhatikan secara utuh puisinya…..

Romy Sastra
ODEKU YA HU BERNAKHODA NUH

Partitur luhur telah dikabarkan ke dalam ayat-ayat Tuhan. Odeku “Ya Hu” seperti ritme pakeliran memgusik keheningan tasbih berjalan. tubuh dan rohku bertabuh asyik bersaksi dayunya gemuruh dan berlabuh.

Kembaranku berada di semesta alit, lalu terbuka asmaraloka di segala penjuru rasa bersamudra di dada, aku geming menuju tauhid

Doa kudus kuutus semata-mata karena cinta menghadap. Aku datang dari ketiadaan menghamba berharap. Ya, Rabb? Aku mati menemuiMu sekejap pada jalan makrifat

Lalu, kapal dan laut sebagai panggung pengembara, berdansa di sebatang Alif berpalka di batin: aku menuju yakin

Aku larut memungut sekujur rindu, dan pada akhirnya berurai air mata.
Dalam fana tumpangan layaranku bernakhofa Nuh, di geladak kapal Nuh aku memandang bah, badai berkecamuk ombak mengamuk. Dosaku jangan kau ikut di puncak gelisah, lisanku istighfar membakar noda tak putus pelerai murka dari kehinaan aku lakukan: tobatku nasuha

Nun di sana adalah pelita kutuju Mim, duhai pemilik syafaat yang agung?
Teriring salawat salam diaminkan, sunnahmu rasulullah kujunjung

Nakhoda citamu berpalka mengurung cinta ilahiah, mengabdi sepanjang kisah adalah generasi yang tangguh pelanjut risalah, di mana uzur berhias mahkota dua warna : arus bersilih

Nakhoda palkamu kupinja. Jika sudi engkau aku membagi waktu jelajahi warna biru di bening mata sepanjang sujud, senyuman laut seganding muara adalah kisah, dan kasih bertaut menjurus mabuk: aku tertunduk

Nakhoda sudilah kiranya pinjaman itu tak kupulangkan, sebab impianku tak sudah di selimut malam berikutnya.
Aku memuji Rabbku mengabdi dan karam sampai di batas umurku tersisa, risalah cinta kubawa-bawa

Jakarta
25 Agustus 2022

Dari puisi Romy Sastra di atas tampak sekali bahwa kecakapan sendiri menciptakan diksinya, sehingga mampu menjelaskan kedalaman imajimasi spiritualnya.

Karena itu dapat dirasakan, sejauh apa ungkapan spiritualnya tatkala menembus nilai-nilai kerinduan dirinya kepada Tuhannya.

Tampaknya penyair sangat menyadari bahwa untuk menemui Kekasihnya (Tuhan lirik), tidak mampu melihatnya sebaca terbuka meski harus dilakukan dengan cara meleburkan diri melalui salat secara utuh.

Kesadaran inilah yang diungkap penyair bahwa untuk menemui kekasih tercintanya melalui kematian. Apakah dengan cara mati bisa dipastikan mampu melihat Tuhannya?

Hanya penyairnya sendiri yang mampu memberikan jawaban secara pasti, meskipun jawaban itu tidak pasti.

Dalam kaitan kemanusiaannya sebagai penyair, tak ada manusia yang sempurna. Tiap celah kecerdasan seseorang, pasti ada kelemahan berpendapat ketika ia menggunakan kata dalam bahasa.

Dalam alinea kedua baris ketika terdapat kata ber- samudra di dada..dst. Sesuai kaidah bahasa (kata) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penyair harus menulisnya ber-samudera.

Selain itu, dalam catatanku, pada bait terakhir di alinea kelima, ada kata tobatku nasuha (.. dari kehinaan aku lakukan: tobatku nasuha). Alangkah lebih indah apabila ditulis sesuai kalimat KBBI, ..tobat nasuhahku.

Namun dari keseluruhan komposisinya sangat baik. Bahkan pilihan kata yang dilakukan penyair sudah tepat sasaran, sehingga secara intensi, mampu menggiring persepsi estetikanya sampai ke tujuan isi dan maksud yang disampaikan. (*)

Biodata:

Anto Narasoma, lahir di Palembang 16 Juni 1960. Sejak di Sekolah Dasar ia sudah akrab dengan dunia sastra. Setamat SMA ia bergabung dengan Teater SAS Palembang, kemudian Teater Potlot Palembang. Sebagai pekerja teater ia sering ditunjuk sebagai penata musik di beberapa kelompok teater, dan pernah memainkan beberapa peran dalam pertunjukan drama. Sejumlah tulisannya berupa cerita pendek, puisi, artikel telah dimuat di beberapa media cetak terbitan daerah dan pusat. Puisi-puisinya dimuat dalam antologi Ghirah (1992), Bahasa Angin (1994), Menghitung Duka (1988),Empat Wajah (2000), dan Semangkuk Embun (2005. Kini ia bekerja sebagai wartawan Sumatera Eskpres Palembang. Email: antonarasoma@gmail.com Kontak:081367459281, (0711)415263, 415264

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini