PojokTIM– Kesan pertama yang kita lihat dari penampilan Nurhadi Saibin atau Nurhadi eMSa mungkin saja bisa keliru meski religiusitasnya tidak perlu diragukan. Terlebih setelah meluncurkan antologi puisi tunggal X, Di Mana Kau yang bernuansa religi. Tetapi proses di balik pencarian jati diri, kegelisahan yang sempat dirasakan, dan inklusivitas pemikirannya membuat kita takjub.
“Gue pernah berada di satu titik pertanyaan paling krusial dalam hidup, apakah jika tidak terlahir dari orang tua Muslim, gue menjadi Muslim? Apakah gue Islam karena agama warisan dari orang tua? Akhirnya gue mempelajari ajaran agama-agama lain, mencoba menguji hingga akhirnya yakin, gue bukan sekedar mewarisi agama orang tua, tetapi karena gue benar-benar percaya dan menemukan kebenaran di dalam Islam tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan atas keyakinan lain,” tutur Nurhadi saat berbincang di selasar Kompleks Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (2/6/2024).
Proses pencarian diri itu yang akhirnya melahirkan puisi-puisi religi. Setelah diluncurkan di PDS HB Jassin, X, Di Mana Kau juga dibahas dalam diskusi yang digelar Kelompok Seniman Ngopi Semeja (Koloni) Depok, akhir 2023 lalu.
Kini Nurhadi eMSa tengah menulis puisi-puisi berbahasa Betawi. Proses yang dilakukan tak beda dengan ketika menulis X, Di Mana Kau. Bahkan lebih hati-hati karena Bahasa Betawi yang nyablak belum tentu bisa diterima oleh komunitas lain.
Dari obrolan yang mengalir diselingi Bahasa Betawi yang kental, PojokTIM merangkumnya dalam bentuk wawancara.
Ada yang menganggap Anda muncul ujug-ujug, langsung menerbitkan antologi puisi. Bagaimana sebenarnya proses di balik lahirnya buku kumpulan puisi X, Di Mana Kau?
Orang bebas ngomong apa saja. Bahkan menilai hanya dari luarnya. Kita tidak perlu menanggapi setiap omongan (orang lain). Biarkan saja. Terlebih memang, selama 30 tahun lebih saya tidak berkecimpung di TIM. Tapi sejak SMA, saya sudah aktif di TIM. Bahkan ibarat kata, TIM sudah seperti rumah kedua bagi saya. Setiap pulang sekolah, saya ke TIM untuk berlatih teater. Pertama kali bersama teater sekolah, Teater 7 yang diasuh Noorca Marendra Massardi. Kemudian ditarik ke Teater Lisendra pimpinan Tjok Hendro. Kita sering mentas di Teater Arena (TIM).
Sejak tahun 1979, saya kerja di Garuda (PT Garuda Indonesia, Tbk) dan pensiuan tahun 2009. Jadi saya vakum dari kegiatan di TIM. Tapi ketika ada kegiatan diskusi, saya ikuti dan saya tulis sebagai catatan. Saat itu tidak ada keinginan (catatan-catatan itu) untuk dibukukan. Setelah pensiun, tepatnya setelah pandemi, saya mulai rajin lagi ke TIM. Di rumah terus selama 2 tahun benar-benar menyiksa batin saya sehingga begitu pandemi berakhir, saya memanfaatkan waktu keluar rumah, silaturahim dengan teman, dan juga main ke TIM. Bertemu dengan teman-teman baru. Mereka tanya apakah saya punya tulisan. Saya lantas menunjukkan tulisan-tulisan yang pernah saya bikin. Menurut mereka tulisan saya bagus, puisi religius, sehingga kemudian diterbitkan dengan judul X, Di Mana Kau. Di dalamnya ada puisi yang saya tulis tahun 1987 di sela-sela kesibukan. Artinya, meski secara fisik saya meninggalkan TIM, tapi jiwa kesenian saya tetap mengikuti.
Dari mana inspirasi puisi-puisi religius ini?
X, Di Mana Kau lebih personal. Isinya tentang kegelisahan saya pribadi dalam mencari makna kehidupan, utamanya dalam hal keyakinan. Seperti saya tuturkan di awal, saya pernah mengalami fase guncangan keyakinan saat masih muda dan mulai bertemu hal-hal baru di luar yang diajarkan di rumah. Interaksi dengan teman-teman teater di TIM memberi banyak pengalaman batin. Terlebih saat itu saya banyak memainkan teater dengan naskah-naskah penulis Barat, yang umumnya non-Muslim.
Sekarang saya berani mengatakan bahwa saya menganut agama IIslam) bukan karena warisan, bukan karena keturunan, tapi benar-benar karena saya menemukan kebenaran di dalamnya. Proses spiritual yang saya jalanai sangat panjang. Hasil berdialog dengan tokog-tokoh agama lain, termasuk membaca kitab sucinya. Saya memperoleh pengalaman batin yang mungkin tidak semua orang bisa mendapatkannya. Mempertebal keimanan saya sekaligus bersikap toleran dengan perbedaan yang ada.
Mengapa Anda beralih ke puisi Betawi? Bagaimana ceritanya?
Ada beberapa teman yang cerita, belum ada puisi yang menggunakan Bahasa Betawi sesuai kaidahnya. Saya tidak paham apakah memang benar-benar belum ada, atau sudah ada namun kurang dikenal. Yang pasti sebagai orang Betawi, obrolan itu memantik keinginan saya untuk menulis dengan bahasa ibu, bahasa sehari-hari.
Saya merasa menjadi diri sendiri ketika menulis puisi menggunakan Bahasa Betawi. Sebab keseharian saya juga ngomong nyablak. Misalnya ketika saya menuliskan pengalaman saat tugas di Belanda, dan merasakan rindu yang begitu puitik. Puisi itu saya beri judul Waktu Kangen Dateng.
/….//
Kenape gue kudu nyampe di Belanda/Tanah si bule penjajah negeri/Alamnye nyang kagak bersahabat/Persis kaya orangnye/Sekarang bulan Oktober/Musim auntumn kate orang sane/Kalo kate gue musim rontok/Puun-puun pade kagak bedaon/Gundul botak klimis/Tinggal cabang ame rantingnye doang/Kebosenin ngeliatinnye/Cuman burung gaok item nangkring di ujung cabang/Angguk-anggukan celingukan//
Baju anget tebel tambah sarung tangan/Disetiap hembusan nafas dari mulut/Keluar uap putih naek ke udara/Jalan nyusurin trotoar Rotterdam/Buat mengusir rindu/Ke kedai kopi serudut segelas kopi panas/Buat mengusir dingin/Tetep aje gue gelisah/Gue tereak dalem ati “Gue kagak betah”/Roman muka loe kebayang terus/Mesem kecil bibir loe/Kolokan manja loe/Terus aje nyangket di mata/Terus aje lengket di pikiran gue/Susah dibuang ngikutin terus/Ke mane gue pegi..//
Menulis dalam bahasa sehari-hari tentu memiliki tantangan tersendiri. Sisi mana yang menurut Anda menjadi tantangan?
Budaya Betawi lebih banyak bertutur. Tutur katanya banyak yang nyablak. Kalau dituturkan dan didengerin oleh orang Betawi, atau orang yang sudah lama tinggal di lingkungan Betawi, kagak ada masalah. Enak aja didengar. Tetapi apakah juga masih enak kalau ditulis? Sebab banyak kata-kata atau diksi dalam Bahasa Betawi yang mungkin “menganggu” komunitas lain ketika dituliskan.
Ini tantangan yang coba saya atasi. Sebab saya tidak mau menyinggung perasaaan orang. Jadi saya terus bertanya-tanya, apakah puisi yang saya tulis dengan Bahasa Betawi menyingung perasaan orang atau nggak? Ungkapan seperti mak dirodok atau mak dikipe yang artinya sialan lu atau brengsek lu, biasa saja dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Betawi. Atau ketika ada yang mengeluh kenapa doanya tidak sampai ke langit, cuma mentok di atap,.Lantas temannya menanggapi, lu doanya kebalik, mestinya iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in lu balik, iyyaka nasta’in wa iyyaka na’budu. Maksud candaan ini, mestinya kamu beribadah dulu baru minta pertolongan, tapi dibalik minta pertolongan dulu baru beribadah, Makanya doanya tidak dikabulkan. Candaan ini merupakan candaan sehari-hari di Betawi. Tetapi apakah ketika ditulis menjadi puisi tidak akan menimbulkan tafsir lain? Dianggap mengolong-olok agama? Ini yang masih saya pertimbangkan.
Seperti kemarin ketika ada yang ngomong “tempat jin buang anak”. Di Betawi itu biasa untuk menggambarkan tempat yang jauh dan sepi. Tetapi ketika digunakan untuk menyebut daerah lain, kan jadi ramai.
Mungkin karena ada unsur politik?
Nah, di situ yang saya kuatirkan. Penggunaan Bahasa Betawi yang nyablak ditanggapi berbeda oleh kelompok lain ketika ada kepentingan politik. Tulisan kita dipolitisir sehingga beda maknanya. Kita maksudnya apa ditanggapinya apa.
Padahal saya ingin menulis apa saja, bukan hanya tentang cinta, namun juga sosial, bahkan kritik terhadap persoalan-persoalan aktual yang ada di sekitar kita dengan bahasa nyablak. Faktanya banyak hal-hal dalam budaya Betawi yang menarik untuk dijadikan inspirasi tulisan.
Lalu bagaimana Anda menyikapinya?
Saya tulis dulu dengan bahasa nyablak, persis sesuai bahasa asli Betawi. Setelah itu saya baca ulang, dan merevisi yang kemungkinan bisa menimbulkan tafsir berbeda ketika dibaca oleh komunitas lain.
Sepertinya sangat menarik. Kapan buku kumpulan puisi Betawi ini akan diluncurkan?
Saya sedang berusaha menyelesaikan beberapa puisi lagi. Ini jalan-jalan sambil mencari ide. Tadi di kereta dapat juga inspirasi yang bagus. Jadi belum tahu berapa puisi yang akan dimuat dalam buku antologi kedua saya, dan belum ditentukan juga jadwal launching-nya. Mudah-mudahan bisa secepatnya.