PojokTIM – Pelukis menginterpretasikan karya sastra dan menuangkannya dalam lukisan? Mengapa tidak! Konsep berkolaborasi untuk menelurkan karya bersama bukan hal baru. Salah satu yang fenomenal adalah poster perjuangan yang dibuat oleh maestro pelukis Affandi, dengan kalimat kutipan penyair Chairil Anwar yang berbunyi “Boeng Ayo Boeng”.
Demikian dikatakan pelukis sekaligus sastrawan Putra Gara ketika berbincang dengan pojoktim.com, Senin (25/3/2024). Meski bukan hal baru, sayangnya seni rupa sastra tidak menggeliat sebagaimana mestinya. Dalam arti masih temporer, seperti ketika ada event tertentu.
“Contohnya saat saya melukiskan Fadmi Tari Gamyong, di mana saya melukis figur Fadmi dengan latar belakang penari Gamyong itu sendiri,” ujar Gara, yang juga Ketua Dewan Kesenian Kota Bogor..
Oleh karenanya, Gara ingin kolaborasi alihwahana dari teks ke gambar bisa lebih membumi. Sebab, pada dasarnya, melukis kolaborasi dengan karya sastra tidak beda dengan melukis apa pun. Tetapi ini lebih kepada menuangkan saripati sastra ke dalam bahasa gambar. Perenungan dan pengendapannya lebih ekstra karena terkait karakter dan sifat cerita.
Karakter dan sifat cerita itulah yang harus mampu ditangkap oleh perupa atau pelukis, sehingga melahirkan karya yang selaras dan se-ruh dengan karya sastra tersebut.
“Tentu saja tidak mudah karena terkait dengan garis dan warna. Sehingga karya sastra tersebut terwakili dari pola lukis yang dibuat. Ritme itu harus didapat dari pengamatan, perasaan, dan memahami alur cerita dari karya sastra,” terang penulis Novel Samudra Pasai itu.
Tidak semua perupa mampu memeras saripati sastra menjadi wujud rupa. Karena ini bukan copy paste, tapi mencari yang non-kasat mata (deskripsi) menjadi nyata (gambar).
“Agak menarik memang membahas seni rupa sastra. Karena ini bisa dijadikan semacam gendre baru dari seni rupa itu sendiri,” tegas Gara.
Masalahnya, berapa banyak perupa atau pelukis yang mau susah-susah memeras otak untuk membaca karya sastra, lalu dituangkan dalam gagasan nyata, dari endapan yang telah dilakukan.
Terkait apakah bisa terjadi salah interpretasi dari seorang pelukis terhadap karya sastra, Gara menuturkan, pada dasarnya setiap karya, baik sastra maupun seni rupa yang dihasilkan dari interprtetasi karya sastra, tak ada yang salah. Semua memiliki sudut pandang tersendiri.
“Hanya saja bicara kapasitas, di situlah nilainya atau poinnya. Karena semua tergantung dari kapasitas personal pelaku seni itu sendiri,” kata Gara.
Gara tidak terlalu memperhatikan tanggapan penikmat sastra maupun lukisan. Bukannya tidak mau menghiraukan, atau tidak mau dikritik, tetapi tiap penikmat karya memiliki sudut pandang sendiri.
“Jadi, poin besarnya adalah bebaskan berkarya, meski tetap harus ada kredo dan koridor yang kita buat untuk menjadi rujukan,” tegas Gara.
Untuk diketahui, dalam acara bedah novel “Padmi” karya Halimah Munawir Anwar di aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin, Komplekas Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, beberapa waktu lalu, Putra Gara langsung melukis Gamyong, setelah membaca kutipan novel “Padmi”.
Lukisan Gamyong diselesaikan dalam waktu hampir satu jam, dan langsung diserahkan kepada sang novelis.