BPojokTIM – Langkah Iwan Burnani Toni (73) tetap gagah layaknya di atas panggung teater. Tidak terdengar nafas yang memburu atau ekspresi lelah saat menyusuri selasar Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk menghadiri diskusi publik tentang Jakarta sebagai City of Literature yang digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Teater Wahyu Sihombing, Kamis (23/5/2024) malam.
“Setiap pagi, sebelum sarapan, saya olahraga sampai badan berkeringat,” ujar Bang Iwan, sapaan akrab sutradara film Petang di Taman (2022) yang diadaptasi dari naskah drama Iwan Simatupang. Film Petang di Taman menjadi genre teater film pertama sekaligus debut bagi Iwan Burnani sebagai sutradara film setelah puluhan tahun menekuni dunia teater bersama Bengkel Taeter asuhan WS Rendra.
“Mas Willy (WS Rendra, pen) guru saya sekaligus saudara satu mertua. Saya belajar banyak hal, khususnya dunia teater, dari Mas Willy. Namun kami pun pernah bertengkar hebat karena saya mengkritik pementasan Hamlet,” kenang Iwan Burnani.
Rasa hormat Iwan Burnani kepada WS Rendra tak pernah padam. Naskah drama Film Bunga Semerah Darah yang ditulis Rendra saat masih kelas 2 SMP, diolah menjadi teater film yang memukau dan mendapat sambutan hangat penonton dan pemerhati film.
“Bunga Semerah Darah ditulis Mas Willy tahun 1950 dan mendapatkan penghargaan dari Dikbud. Bunga Semerah Darah sempat diputar di Teater Kecil TIM sekalian mengenang Rendra, Ken Zuraida, Lily Suardi – istriku, dan semua anak-anak Bengkel Teater yang sudah wafat termasuk Radhar Panca Dahana,” jelas Bang Iwan.
Bukan hanya soal teater dan film, Bang Iwan juga sedang terlibat upaya memasyarakat film produksi dalam negeri. Di samping adanya kuota tayang yang diterapkan bioskop jejaring, film produksi dalam negeri kian sulit mendapat tempat karena minimnya gedung bioskop. Bahkan banyak kota kabupaten yang tidak memiliki gedung bioskop.
Berikut perbincangan PojokTIM dengan Iwan Burnani Toni selengkapnya.
Teater film Bunga Semerah Darah mendapat pujian luas, terutama karena keberanian dan kepiawaian Anda menggabungkan seni teater dengan film dalam satu frame. Tanggapan Anda?
Saya orang teater, maka ketika saya masuk ke film, unsur-unsur teater yang saya kuasai, sedapat mungkin ikut menyatu. Saya tidak memberi ekspektasi apa pun pada karya itu. Ketika Tempo dan teman-teman kritikus menyebutnya sebagai genre baru, teater film, saya tidak mempersoalkan. Silakan publik menilai dan menikmati.
Dalam proses pembuatan film yang mengkombinasikan seni panggung dan film, apakah murni sikap Anda atau tuntutan naskah karena diadaptasi dari naskah drama?
Dalam bekerja, saya menggunakan ilmu yang saya kuasai. Kebetulan saya belajar teater dari ahlinya, Mas Willy, dan belajar film dari ahlinya juga, Sjuman Djaya, Chaerul Umam, dan lain-lain. Sebagai seniman tentu saya ingin menghasilkan karya yang sedikit berbeda. Meski syuting di atas panggung, tapi gambar tidak saya ambil one take, one shot. Seluruh adegan di panggung saya ambil cut to cut persis syuting film. Bahkan sebuah adegan bisa berkali-kali dilakukan take.
Saya cukup surprise ketika film Bunga Semerah Darah ditayangkan di (channel YouTube) Indonesia Kaya ternyata mendapat sambutan luar biasa. Selama 3 bulan penayangan, ditonton sekitar 3 juta kali. Setelah itu di-take down.
Iwan Burnani Toni. Foto: Ist
Mengapa di-take down?
Saya mendapat bantuan biaya produksi film Bunga Semerah Darah dari Bakti Budaya Djarum Foundation yang memiliki channel Indonesia Kaya. Ada juga galerinya. Nah, sesuai kontrak, film saya ditayangkan di channel YouTube Indonesia Kaya selama 3 bulan setelah penayangan di Tetaer Kecil. Selesai tayang di YouTube, film dikembalikan kepada saya. Pola kerjasama seperti ini saya rasa sangat bagus karena karyanya tetap menjadi milik kita sebagai sineas, sebagai seniman, meskipun mereka yang membiayai produksinya.
Kabarnya Anda sedang terlibat pembuatan bioskop keliling?
Bukan bioskop keliling, melainkan gedung bioskop permanen di sejumlah kota di Indonesia di bawah naungan Sam’s Studio. Bedanya dengan gedung bioskop yang ada sekarang, kita akan lebih mengutamakan film-film produksi dalam negeri yang “ditolak” atau hanya punya kesempatan tayang terbatas di bioskop-bioskop jejaring.
Apa kelebihannya?
Pertama tentu memberi kesempatan dan kemudahan kepada masyarakat di kota-kota kabupaten atau kecamatan yang ingin pergi ke bioskop. Seperti kita ketahui, saat ini gedung bioskop yang tersisa sangat sedikit dan hanya ada di kota-kota besar. Padahal animo masyarakat terhadap film cukup tinggil.
Kedua, mendorong para sineas berbakat untuk tidak ragu-ragu berkarya karena Sam’s Studio tidak membatasi genre atau aliran film. Bebas saja. Drama, horor, apa saja. Kami juga tidak akan membatasi durasi tayang. Selama masih ada yang menonton, filmya tidak akan kami turunkan.
Sam’s Studio. Foto: Ist
Bukankah sekarang banyak platform over the top (OTT) atau layanan streaming film, apakah tidak takut ditinggal penonton?
Kami sudah melakukan survei mendalam sebelum memulai proyek bioskop ini. Masyarakat tetap rindu untuk menonton film di gedung bioskop. Tentu jumlahnya tidak sebesar seperti ketika teknologi OTT belum dikenal. Tetapi ceruk yang tersedia masih sangat besar. Potensi ini yang sedang kami maksimalkan dengan berbagai kemudahan dan pendekatan.
Apakah Sam’s Studi sudah berjalan?
Saat ini gedung bioskop di bawah manajemen Sam’s Studio sudah dibangun di 17 kota yakni Cibadak, Jalur Sukabumi, Cianjur, Garut, Subang, Pekalongan, Unggaran, Salatiga, Klaten, Indramayu, Probolinggo, Pemalang, Nganjuk, Keediri, Gombong, Pasuruan, dan Solo.
Ke depan segera dibangun di beberapa kota di Sumatera, bekerjasama dengan pengusaha setempat yang memiliki kepedulian sama terhadap film-film karya anak bangsa.
Membuka sistem franchise?
Iya, konsep Sam’s Studio begitu, supaya dapat menjangkau ke banyak kota dalam waktu yang relatif singkat. Lagi pula orang daerah yang lebih tahu film-film mana yang akan ditayangkan, dan berapa lama durasi penayangannya.
Apakah Anda juga sedang memproduksi film baru?
Saya sudah mengantongi izin, menjadikan lagu “Tak Gendong” karya Mbah Surip sebagai film layar lebar. Saya memiliki interpretasi mendalam terkait lagu itu. Sebab frasa Tak Gendong memiliki makna dan tafsir beragham. Tergantung sudut pandang kita meski secara harfiah bisa kita artinya sebagai ibu-ibu yang bekerja dan beraktifitas sosial sambil menggendoing anaknya, digendong ke mana-mana. Saya belum bisa membocorkan jalan ceritanya, tetapi intinya tentang perjuangan seorang ibu.