PojokTIM – Kehadiran festival di berbagai daerah termasuk Balige Writers Festival atau Festival Balige sangat penting untuk menciptakan ekosistem budaya. Oleh karenanya festival-festival tersebut harus bersifat inklusif dengan melibatkan komunitas lain.

“Festival Balige jangan hanya dihadiri oleh orang Batak. Demikian juga festival-festival lain yang menggunakan nama daerah. Harus terbuka karena tujuannya mengangkat dan mengenalkan kekayaan lokal sebagai bagian dari budaya Indonesia. Sebagai kegiatan yang diinisiasi dari bawah, bottom up, kita harus mendukung. Terlebih sudah tidak ada pertemuan-pertemuan sastrawan yang dari pemerintah,” ujar sastrawan Sihar Ramses Simatupang melalui sambungan telepon, Selasa (11/6/2024).

Saat menjadi pembicara dalam acara pre Balige Writers Festival, Sihar mengungkit adanya kerinduan dari manusia-manusia urban akan kampung halamannya. Mereka mengumpulkan jejak dan remah-remah budayanya untuk memperkuat identitasnya di tengah keriuhan budaya urban.

“Kita terus mencari remah-remah itu, dan generasi mendatang juga akan melakukan hal yang sama. Biarkan saja,” ujar Sihar yang didapuk menjadi Kawan Bicara pada acara yang diselengarakan di BacaDiTebet, sebuah perpustakaan dan ruang temu di Jakarta Selatan.

Acara itu juga diisi dengan bedah buku Taroetoeng- Sitor Pernah Singgah di Sini, karya Dian Purba, sejarawan muda yang banyak meniliti tentang sejarah Batak. Selain Sihar, acara yang dipandu Debra Yatim dan Julionatan, juga menghadirkan Nestor Rico Tambunan, serta Ita Siregar selaku penggagas Festival Balige yang sudah 3 kali digelar.

Dalam paparannya, Ita Siregar menyebut, ide dan gagasan Festival Balige tercetus saat dirinya ke Balige pada November 2019. Saat itu Ita mendapat beasiswa residensi penulis dari Komite Buku Nasional (KBN) di bawah Kementerian Pendidikan , Kebudayaan, Ristek dan Teknologi.

Dalam proposalnya, Ita ingin melakukan riset terkait informasi pertemuan Raja Sisingamangaraja XII dengan Nommensen di daerah Balige dan Bakkara.

Sampai di Balige, Ita Siregar yang lahir di Sukabumi, Jawa Barat, terpukau dengan Kota Balige yang dipenuhi makam-makam keluarga.

“Masyarakat balige hidup berdampingan dengan makam. Makam-makam itu tidak menakutkan, bahkan terkesan mewah. Semakin terpandang orang yang meninggal, semakin mewah makamnya,” terang Ita.

Sayangnya, menurut Ita, Kota Balige minim literasi.Padahal secara perekonomian, Balige cukup makmur.Sejak dulu di Balige sudah menjadi pusat usaha tekstil. Tahun 1920 orang Balige sudah menyekolahkan anaknya di Batavia (Jakarta). Sudah banyak mobil Mercedes berkeliaran di jalanan Kota Balige.

“Tapi di Kota Balige kurang obrolan-obrolan sastra, buku, dan kegiatan seni. Dari situlah ide mengadakan Festival Balige tercetus,” ujar Ita.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini