PojokTIM – Hujan deras yang mengguyur wilayah Jakarta Pusat, Selasa (11/6/2024) sore, tidak menghalangi keinginan Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) serta Pimpinan Umum Sastramedia, Riri Satria bertemu PojokTIM di kantin Gedung Trisno Soemardjo kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (11/6/2024).
Riri tampak sumringah dalam balutan kaos merah. Ditemani segelas teh hangat dan sepiring pisang goreng, obrolan tentang peresmian hotel di kompleks TIM, mengalir deras laksana curah hujan di awal bulan Juni.
Sebagai penyair, Riri sudah menerbitkan buku kumpulan puisi:Jendela (2016), Winter in Paris (2017), Siluet, Senja, dan Jingga (2019), Metaverse (2022), dan Algoritma Kesunyian (2023) bersama Emi Suy, serta 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya. Selain itu, dia juga menulis esai yang dibukukan dalam Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis (2003), trilogi Proposisi Teman Ngopi (2021) yang terdiri tiga buku Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital, Pendidikan dan Pengembangan Diri, dan Sastra dan Masa Depan Puisi; serta Jelajah (2022).
“Saya akan berbicara dalam kapasitas sebagai sahabat para seniman yang kebetulan paham soal ekonomi dan bisnis serta memiliki idealisme yang sama dengan mereka terkait TIM,” ujar Riri menanggapi surat terbuka yang dilayangkan Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (#saveTIM) kepada Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Direktur Utama PT Jakpro, tertanggal 8 Juni 2024.
Dalam surat tersebut, #saveTIM menyampaikan bahwa pengelolaan Wisma Seni di kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) dengan standar hotel berbintang, tidak sesuai dengan kesepakatan awal antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan seniman yang memiliki kepedulian terhadap TIM.
Oleh karenanya penandatanganan seremoni pada tanggal 22 Mei 2024 yang dilakukan oleh Direktur Utama PT Jakpro, Iwan Takwin dan Chief Operating Officer Artotel Group, Eduard R Pangkerego dengan dihadiri Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi, sangat melukai perjuangan seniman #saveTIM yang sejak awal telah menolak pembangunan hotel dalam rancangan revitalisasi TIM.
#saveTIM juga menyertakan 9 poin penting terkait perjuangannya menolak Wisma Seni dikelola dengan standar hotel berbintang.
Seperti diketahui, Gubernur Anies Baswedan mengatakan di TIM (23/9/2022) bahwa revitalisasi TIM menelan anggaran Rp 1,4 triliun. Sementara itu Direktur Utama Jakpro saat itu Widi Amanasto mengatakan bahwa dana Rp 1,4 triliun itu bersumber dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Mengutip Kompas (2/7/2019), Gubernur Anies Baswedan menyebutkan bahwa pengelolaan TIM akan diserahkan kepada Jakpro selama 30 tahun pascarevitalisasi di mana tugasnya menerima pemasukan, mengelola penerimaan dan pengeluaran. Anies beralasan, pengelolaan diserahkan kepada Jakpro agar pengelolaan seimbang dengan bisnis. Pengembalian dalam hitungan bisnis akan membutuhkan waktu sekitar 23 tahun.
Berikut rangkuman wawancara PojokTIM dengan Riri Satria yang juga Komisaris Utama di salah satu BUMN.
PT Jakpro tetap menyerahkan Wisma Seni kepada Artotel Group sehingga nantinya akan dikelola dengan standar hotel berbintang. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya tidak tahu persis perjanjian di dalamnya. Saya hanya mencoba untuk memotret dari luar. Menurut saya, model yang dipergunakan dalam revitalisasi TIM ini dalam dunia bisnis disebut BOT (Build, Operate, and Transfer). Ini artinya Jakpro bertugas untuk membangun atau build, setelah itu mengoperasikan atau operate, dan kemudian diserahkan atau transfer ke Pemda Jakarta. Masa mengoperasikan atau operate itu adalah 30 tahun pascarevitalisasi yang tujuan jelas untuk mengembalikan investasi yang sudah dilakukan untuk revitalisasi TIM. Menyimak penjelasan Gubernur Anies Baswedan tahun 2019 dulu, dalam masa 30 tahun itu, 23 tahun pertama adalah masa payback period atau kembali modal, dengan mempertimbangkan inflasi, dan sisanya 7 tahun adalah profit taking atau memanen keuntungan.
Pertanyaannya, siapa yang memiliki inisiatif untuk melakukan revitalisasi TIM dengan skema BOT ini? Jika gubernur yang mempunyai inisiatif tapi kemudian tidak punya anggaran, maka gubernur mengundang Jakpro untuk membiayai revitalisasi TIM. Jakpro kemudian dikasih konsesi pengelolaan dengan jangka waktu tertentu, sampai balik modal atau profit, dalam hal ini 30 tahun. Atau justru Jakpro yang mencium bau duit karena posisi TIM sangat strategis. Jakpro kemudian mengirim proposal ke gubernur yang intinya mengiming-imingi adanya potensi sumber pemasukan baru (PAD) bagi Pemprov DKI. Jakpro kemudian melakukan revitalisasi dan mendapat konsesi pengelolaan. Wallahu alam mana yang benar.
Namun, saya yakin bahwa ini skema BOT yang berjalan. Ingat, Jakpro merupakan BUMD yang pola pikirnya adalah return of investment atau ROI sehingga setelah memperoleh konsesi akan menciptakan “mesin uang” di lingkungan TIM untuk mengembalikan modal yang telah diinvestasikan. Kerjasama dengan pihak hotel untuk mengelola salah satu bagian yang tadinya disebut untuk Wisma Seni, adalah salah satu cara Jakpro menciptakan “mesin uang” tersebut. Dalam teori ekonomi atau bisnis, tidak ada skema BOT yang berjalan tanpa adanya “mesin uang”. Jangan-jangan masih ada rencana untuk membuat “mesin uang” yang lain, who knows? Menurut logika BOT sih kemungkinan besar masih ada lho!
Bukankah sudah ada “mesin uang” dari sewa gedung pertunjukan?
Mari kita hitung, dengan investasi Rp 1,4 triliun, dengan konsesi 30 tahun, juga dengan memperhitungkan nilai inflasi, apakah dari pemasukan sewa-sewa gedung seperti termasuk gedung teater, akan mencukupi? Hitung-hitungan saya sih tidak mencukupi. Oleh karea itu, dibutuhkan “mesin uang” yan lain, dan itu jelas yang disiapkan adalah bangunan di atas Gedung Ali Sadikin itu. Ketika dikelola dalam wujud hotel berbintang maka akan menjadi mesin uang yang memberi pemasukan secara rutin. Semoga saja tidak akan pernah menjadi mal di sana walaupun kecil.
Artinya masuknya hotel itu sudah diskenario dari awal oleh Jakpro?
Jika didasarkan hitung-hitungan tadi, maka saya bisa bilang iya. Barangkali ini tidak dijelaskan secara terbuka atau transparan, namun bagi yang paham tentang ekonomi dan bisnis serta skema BOT, maka kejadian ini tidaklah mengherankan dan sangat memugkinkan.
Tetapi seperti disebutkan dalam surat terbuka #saveTIM poin ketujuh, pada saat pertemuan antara perwakilan #saveTIM yakni Radhar Panca Dahana, Noorca M. Massardi, Exan Zen, Tatan Daniel dan Joe Marbun dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Dirut Jakpro Dwi Wahyu Daryoto yang dimediasi oleh Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf, awal Maret 2020, telah disepakati bahwa moratorium revitalisasi TIM akan dicabut setelah dilakukan Focus Group Discussion (FGD). Dari beberapa FGD kemudian disepakati rancangan hotel diubah menjadi Wisma Seni. Tanggapan Anda?
Jujur, dengan segala maaf kepada semua pihak terkait saya katakan bahwa saya sulit untuk percaya, sebab hitungan bisnisnya tidak masuk jika bangunan itu hanya dijadikan wisma. Dengan konsesi 30 tahun dan payback period 23 tahun, maka itu tidak membuat Jakpro mencapai return of investment atau ROI yang diinginkan. Jakpro itu butuh “mesin uang” kok di dalam TIM untuk menjalankan skema BOT.
Ingat, walaupun itu dana PEN, namun harus dipahami bagaimana PEN itu bekerja. Jakpro tetap memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana Rp 1,4 triliun itu menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) DKI Jakarta, karena PEN sejatinya merupakan dana pinjaman ke pemerintah pusat melalui PT Sarana Multi Insfratruktur (SMI). Ringkas cerita, Jakpro tetap butuh “mesin uang” untuk mengembalikan uang itu semua.
Nah, dulu Gubernur Anies Baswedan mengatakan bahwa mekanisme pasar dan mekanisme bisnis sejalan dengan kegiatan kebudayaan. Nah, saya bingung, ini konkritnya bagaimana? Karena ini dua dunia yang sangat sulit untuk disatukan tata kelolanya.
Saat ini perjanjian kerjasama antara Jakpro dengan Artotel Group sudah terjadi. Menurut Anda, apa yang harus dilakukan teman-teman seniman yang peduli TIM?
Sejak awal saya sudah menyarakan agar teman-teman membuat task force untuk mengawal proses revitalisasi TIM yang berkaitan dengan kepentingan seniman. Perlu dicermati hitung-hitungan bisnisnya. Contohnya janji kesepakatan tidak ada hotel melainkan Wisma Seni, ini mestinya dikawal oleh task force yang anggotanya terdiri dari seniman peduli TIM dan stakeholders yang memiliki kesamaan tujuan perjuangan. Saya pribadi sulit percaya bahwa tidak akan aada mesin uang besar di dalam TIM, karena Jakpro butuh balik modal. Ini situasinya memang kompleks, jadi benar-benar harus dicermati dengan seksama, termasuk hitung-hitungan bisnisnya
Bukankah sudah ada #saveTIM?
Dengan segala hormat saya kepada teman-teman #saveTIM, buat saya ini adalah gerakan moral atau moral pressure, bukan task force, sehingga tidak memiliki kekuatan yang terstruktur serta tidak memiliki agenda kerja yang tertata rapi. Mereka memiliki nurani dan moral, namun tidak memiliki kemampuan atau kapasitas yang cukup untuk mengawal keruwetan dan kompleksitas situasi ini, di samping kurang paham dengan birokrasi, lobi-lobi, permainan politik, hitungan ekonomi dan bisnis, dan lain-lain.
Apakah masih ada celah manfaat untuk para seniman dengan hadirnya hotel berbintang di kawasan TIM? Misalnya meminta keringanan atau diskon khusus jika seniman mengadakan kegiatan di TIM dan membutuhkan penginapan?
Itu yang paling mungkin. Namun marwahnya menjadi hilang sebagai center of excellence dunia kesenian di Indonesia bisa menjadi redup kalau tidak dikelola dengan hati-hati. Lagi pula, belum tentu juga setiap kegiatan bisa menggunakan fasilitas diskon itu. Contohnya kemarin ketika kumpulan komunitas sastra di Jakarta mengadakan 40 Hari Meninggalnya Sastrawan Abdul Hadi WM. Kita tetap bayar sewa Teater Kecil sebesar Rp 10 juta, tanpa ada diskon meski kita secara resmi telah mengajukan mengingat kegiatan itu bukan komersial.
Jadi mari kita, para seniman yang benar-benar peduli dengan TIM duduk bersama lagi. Cari upaya baru meski dengan ruang gerak yang tersedia semakin sempit.
Bagaimana dengan sikap Ketua DKJ yang menghadiri penandatangan MOU antara Jakpro dengan Artotel Group?
Menurut saya itu blunder. Itu menunjukkan Ketua DKJ sebagai representatif insan seniman Jakarta memberikan sinyal posisi yang membingungkan. Dengan ketuanya hadir, maka dapat diterjemahkan bahwa DKJ merestui masuknya manajemen Artotel Group untuk mengelola Wisma Seni menjadi hotel berbintang. Apakah ini sudah melewati kajian yang mendalam oleh DKJ? Mungkin sudah, mungkin juga tidak. Tetapi sekali lagi, menurut saya itu blunder. Apakah ini bagian dari strategi devide et impera yang dilakukan kepada para seniman untu membuat posisi daya tawarnya melemah? Mungkin saja.
Jadi apa lagi yang masih bisa diperjuangkan?
Mencari celah-celah agar seniman mendapatkan peluang untuk berkarya dengan memanfaatkan fasilitas yang ada. Misalnya menuntut adanya aturan, melalui SK Gubernur, di mana seniman dapat menggunakan Teater Besar dan Teater Kecil secara gratis atau mendapatkan fasilitas khusus, tidak diserahkan kepada kebijakan pengelola semata, harus dikawal dengan regulasi.
Dan yang tidak kalah penting, seniman harus tetap bisa menjaga marwah TIM. DKJ harus menjadi kurator acara yang ada di sini. Dengan syarat DKJ kredibel dan akuntabel. Jangan sampai ketika seniman yang punya karya hebat ingin menggunakan ruang teater yang ada, dikalahkan oleh kegiatan pensi (pentas seni) anak-anak sekolah karena mereka punya duit.
Bagaimana jika DKJ-nya malah tidak berpihak pada seniman?
Berarti (nasib) seniman sudah selesai, sebab menurut saya, DKJ merupakan benteng terakhir. Ketika berbicara tentang seniman di Jakarta, tidak ada lagi lembaga yang secara formal memiliki kedudukan lebih tinggi dari DKJ sebagai representasi mereka, dan DKJ harus berpihak kepada para seniman.
Sungguh pun demikian, kita masih bisa membentuk koalisi seniman untuk menjaga marwah TIM. Koalisi ini harus berisi seniman-seniman yang memiliki kapasitas, memiliki integritas, dan telah selesai dengan dirinya. Tidak menjadikan komunitas seni untuk cari proyek yang hanya menguntungkan dirinya atau kelompoknya sendiri. Yang seperti ini mudah “ditaklukkan”.
Bukan zamannya lagi seniman berjalan sendiri-sendiri. Sekarang zamannya network. Seniman harus bergandengan tangan dengan teman-teman ahli hukum, ahli manajemen, ahli ekonomi dan bisnis, dan bidang lainnya yang mempunyai idealisme sama, yang satu frekuensi. Jangan sampai seniman merasa paling top sendiri. Gawat juga kan kalau sudah merasa paling top begini.
Kita harus berjuang bersama-sama. Ketika saya berbicara begini saya tidak memiliki kepentingan apa-apa, sebab sejak awal saya peduli dengan gerakan teman-teman terkait revitalisasi TIM. Saya terpanggil karena saya bagian dari teman-teman penyair yang menganggap TIM adalah rumahnya.