PojokTIM – Ramah dan humble. Itu kesan pertama bagi siapa saja yang baru mengenal Wig SM. Pengabdian panjangnya sebagai seorang PNS di Kementerian Perindustrian tidak melunturkan jiwa kesenimanannya. Dengan topi rimba yang menjadi ciri khasnya, Wig tetap setia menyambangi kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM) yang sudah diakrabi sejak lama.
“Kolam renangnya sudah selesai. Kapan mau main ke Puncak?” sapa Wig kepada PojokTIM ketika bertemu di selasar Gedung Trisno Soemardjo komplek Taman Ismail Marzuki, pekan lalu. Wig secara khusus datang ke TIM karena diundang untuk membaca puisi pada acara peresmian Koperasi Jasa Penggiat Seni Indonesia (JAPSI).
Wig SM bukanlah sosok yang pandai memanfaatkan situasi dan kelebihan yang dimiliki untuk mendongkrak namanya di blantika kesusasteraan. Bagi Wig, berkesenian adalah kesenangan jiwa sehingga tidak ada yang ingin dikejar. Karena sikapnya, meski kiprahnya di dunia kesenian, khususnya teater dan puisi, terentang hampir sepanjang usianya, Wig jauh dari gemerlap lampu kamera, bahkan jarang dikenal oleh juniornya.
Berikut rangkuman perbincangan dengan Wig SM.
Anda sudah nyaman sebagai pejabat di kementerian. Mengapa masih sibuk berpuisi?
Aku sudah suka main teater dan bikin puisi sejak kecil, jauh sebelum kerja. Jadi tidak ada alasan untuk meninggalkannya. Apalagi aku penganggum WS Rendra. Saat masih SD tahun 1970-an, aku ikut baca puisi bersama di acara tujuhbelasan tingkat RW di daerah Kemayoran. Judulnya Kotbah karya Rendra. Aku jadi properti panggung. Disuruh jongkok jadi kursi seniorku.
Itu pertama kali aku kenal puisi, dan terus berlanjut. Karena suka tata bahasa dan sastra, aku ingin melanjutkan ke SMP, tapi orang tuaku tidak setuju, nyuruh aku masuk ST (Sekolah Teknik). Kalau di ST pelajarannya fokus tentang teknik, meski tetap ada pelajaran bahasa. Untungnya aku punya pacar. Tapi pacaran saat itu tidak ditunjukkan seperti remaja sekarang, malah tidak saling tegur sapa. Jalan pun tidak pernah bersama. Kalau aku di depan, dia di belakang, karena malu. Tapi komunikasi kami sangat intens, pakai surat-suratan. Apalagi ketika dia sedang cemburu, dan marah. Komunikasi pakai surat semakin sering. Tanpa sadar, kemampuan menulisku terasah. Bisa menyusun kata dan kalimat yang indah. Ketika akhirnya kami berpisah, aku alihkan kebiasaan menulis surat dengan puisi.
Dikirim ke media massa atau disimpan saja?
Selalu aku kirim ke media. Awal 80-an banyak puisiku yang dimuat di media, terutama media nasional yang ada di Jakarta seperti Prioritas, Merdeka, Berita Buana, Berita Yudha, Terbit, Simponi, Swadesi, Angkatan Baru, Media Indoensia, dan lain-lain. Ada juga media yang selalu menolak puisiku dengan alasan “tidak ada halaman”.
Kapan mulai berkegiatan di TIM?
Tahun 1978 aku sudah kenal sama Jose Rizal Manua. Saat Mas Jose bikin Teater Adinda, aku anggota pertama. Demikian juga ketika Mas Jose bikin Bengkel Deklamasi, aku anggota pertamanya. Pernah juga beberapa kali ikut pementasan keliling kota, ke Bandung, dan kota-kota lainnya. Setelah itu aku kenal dengan beberapa nama lainnya seperti Guntoro Sulung, Nanang R. Supriyatin, dan Remmy Novaris DM.
Pernah diundang dalam forum-forum kepenyairan saat itu?
Tidak pernah. Aku juga heran mengapa aku tidak diundang padahal jika patokannya karya, maka karyaku sudah banyak yang dimuat di berbagai media massa. Saya juga intens dalam berkarya. Sementara ada teman yang karyanya hanya sekali dimuat di media, ikut diundang dalam forum-forum itu.
Aku juga banyak kenal teman penyair lewat karya, termasuk Nanang. Kami kenal ketika sama-sama mengambil honor di kantor redaksi Berita Yudha. Puisi kami juga sering dimuat bersamaan. Honor 1 puisi saat itu hanya Rp 500. Kalau dimuat satu boks, beberapa puisi, honornya sampai Rp 1.500. Tapi tetap saja aku tidak masuk list sebagai penyair yang layak diundang.
Sudah menerbitkan berapa antologi puisi?
Sudah banyak. Yang terbaru tahun 2018, menerbitkan antologi puisi berjudul Siapalah Dia Siapa, dan kumpulan cerpen dengan judul Kik-kuk. Temanya tentang wanita, perjuangan, karir. Aku menulis sesuatu yang dekat dengan kehidupanku.
Dalam beberapa waktu terakhir, di sela kesibukan di Cisarua (Bogor), aku banyak menulis puisi juga. Sudah ada 85 puisi yang aku publish di Facebook. Rencananya hendak diterbitkan tahun ini, tapi batal karena ada urusan lain yang lebih urgent.
Kapan pertama kali bikin komunitas seni?
Tahun 1988 aku sudah bikin komunitas. Namanya Pustaka Sastra Budaya Jakarta. Kegiatan pertamanya bikin lomba dan pagelaran seni se-Jabodetabek. Dari kegiatan itu lahirlah beberapa seniman yang sekarang cukup punya nama.
Kemudian tahun 2018 mendirikan Forum Sastrawan Indonesia (FSI). Dari FSI lahir berbagai kegiatan seperti Sastra Gunung, Sastra Pantai dan Kerang Hijau, serta Panggung Diva Sastrawan Indonesia.
FSI juga kerap mengadakan kolaborasi dengan komunitas lain. Misal saat menggelar acara kesenian di Cisarua, kita libatkan anak-anak agar berani tampil. Karena menurutku, kesuksesan hidup dimulai dari keberanian kita tampil di muka umum, di pamggung. Tapi sekarang FSI vakum karena sekretarisnya, Ayid Suyitno PS, pindah ke Jawa.
Nah, kemarin ditunjuk menjadi Ketua Rumah Sastra Bekasi Raya. Saat ini sedang merancang kegiatan di wilayah Bekasi bersama guru-guru.
Perbedaan apa yang dirasakan antara kehidupan kesenian di tahun 80-an dengan sekarang?
Kesenian zaman dulu, terutama sastra, sangat kompetitif. Ada tolok ukurnya, msialnya cerpen atau puisinya pernah dimuat di media massa besar. Karena seleksi untuk bisa dimuat di media nasioanl kan sangat ketat, sehingga bergengsi. Aku sampai mempelajari gaya dan karakter koran, bahkan ikutb kursus jurnalistik karena ingin mempelajari gaya media massa.
Sekarang nulis di medsos saja sudah merasa sebagai penyair, sastrawan besar. Tidak ada seleksi lagi karena untuk menulis di medsos tidak ada kurator, tidak ada redaktur budayanya. Semua biasa kapan saja mengunggah karya di medsos.
Aku tidak menyalahkan zaman. Bagaimana pun perubahan pasti terjadi dan suka atau tidak kita harus menerimanya. Biarkan saja, pasti nanti ada seleksi alam.
Menurut Anda, puisi yang baik itu seperti apa?
Ini menurutku ya, bisa saja berbeda dengan yang lain. Menurutku puisi harus memiliki novum (peristiwa atau keadaan/bukti baru, red). Tanpa itu puisi hanya pengulangan. Tapi aku termasuk yang tidak peduli dengan penilaian orang. Aku berkarya dan berkarya saja. Mau puisiku dikatakan jelek, atau tidak memenuhi kaidah, monggo saja. Itu juga yang sering aku sampaikan kepada generasi muda sekarang. Terus menulis, jangan berkecil hati kalau tidak dibilang sastrawan.
Selain teater dan puisi, jenis kesenian apa lagi yang pernah Anda diikuti?
Saya punya grup kesenian kuda Lumping Krida Sari. Warisan dari mbah buyut. Beliau yang mendirikan sekaligus pemainnya. Sekarang aku yang mengelola. Tapi dalam waktu dekat akan aku serahkan kepada anak-anak muda. Alih generasi.
Kabarnya Anda juga pernah jadi wartawan dan pengacara?
Setelah ikut kursis publisistik, aku ingin juga mencoba jadi wartawan beneran. Tapi karena saat itu aku sudah jadi PNS, dan ada larangan untuk merangkap jadi wartawan, dan sebaliknya, wartawan juga tidak boleh merangkap jadi PNS, jadinya aku menggunakan nama lain ketika melakukan liputan.
Kalau pengacara, hanya sebatas sebagai legal attorney, di belakang layar. Ceritanya, setelah bekerja di kementerian, aku melanjutkan kuliah di fakultas hukum. Sampai strata 2 (S2). Lagi-lagi, karena aku PNS, maka tidak boleh beracara di pengadilan. Jadi aku membantu teman yang buka kantor hukum. Sekedar memberi tanggapan atau opini hukum pada kasus-kasus tertentu.
Ada pesan untuk teman-teman seniman?
Meski kita totalitas di kesenian, tetapi kerja di luar kesenian juga penting untuk menopang kebutuhan hidup. Kita tahulah, dari kesenian tidak mendapat apa-apa. Ada memang yang bisa hidup dari kesenian, tapi berapa jumlahnya? Aku termasuk yang butuh pendapatan dari luar kesenian, dengan bekerja sebagai PNS, untuk menopang jalan kesenianku.