PojokTIM – Bagi masyarakat Jawa, horor yang berasal dari dunia gaib, tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan. Dunia gaib juga digunakan untuk meraih dan melegitimasi kekuasaan raja, serta pengobatan psikis maupun fisik. Karena dilakukan secara turun-temurun selama ratusan tahun, horor mestinya ditempatkan sebagai sebuah budaya yang sejajar dengan budaya-budaya lain.

Demikian dikatakan Yon Bayu Wahyono dalam Diskusi Meja Panjang di aula PDS HB Jassin, kompleks Taman Ismail Marzuki, Jumat (26/7/2024). Dalam kegiatan yang diselenggarakan Dapur Sastra Jakarta (DSJ), bekerjasama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pemprov DKI Jakarta serta komunitas Literasi Kompasiana (LitKom), Yon Bayu bertindak selaku pembicara utama. Pembicara lainnya adalah Ni Made Sri Andani dengan pembicara pembanding Sunu Wasono.

Tampak hadir dalam diskusi yang dihadiri lebih dari 100 peserta tersebut di antaranya Ketua DSJ Remmy Novaris DM, perwakilan PDS HB Jassin Dini Dwi Utari, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr Mu’jizah, mantan Kepala Pelaksana PDS HB Jassin Ariany Isnamurti, Ketua JSM Riri Satria, sastrawan Kurnia Effendi, sutradara teater Arief Akbar Bsa, penulis cerita-cerita horor Ikhwanul Halim, cerpenis Fanny Jonathan Poyk, budayawan Bambang Widiatmoko, penggiat literasi sekolah yang juga penyair Ujang Kasarung, sutradara film Guntoro Sulung dan Budi Maryono, jurnalis, Kompasianer, anggota Komunitas Pelestari Budaya Nusantara (PPBN), para sastrawan, budayawan hingga pelajar dan mahasiswa.

Selain paparan tentang sastra horor, acara yang dipandu Piet Yuliakhansa dan moderator penyair Nanang R Supriyatin, juga dimeriahkan dengan pembacaan puisi oleh Elisa Koraag dan Boyke Sulaiman.

Dikutip dari buku makalah, Yon Bayu menerangkan raja-raja di Jawa membutuhkan makhluk gaib untuk menopang kekuasaannya. Cerita tentang wahyu keprabon, di mana jika seseorang mendapat wahyu tersebut maka sah menjadi penguasa (raja), sudah ada sejak zaman Ken Arok- pendiri Kerajaan Tumpel (Singhasari) hingga Panembahan Senopati- pendiri Kerajaan Mataran Islam.

“Wahyu bersifat gaib. Wahyu yang diterima Ken Arok melalui perantara betis Ken Dedes. Sementara wahyu Burung Gagak Emprit yang menjadi legitimasi keturunan Ki Ageng Pemanahan menjadi penguasa tanah Jawa, diturunkan melalui buah kelapa. Baik wahyu yang diterima Ken Arok, maupun raja-raja Jawa lainnya, tidak perlu pembuktian karena bersifat gaib,” terang Yon Bayu, penulis novel PRASA, Oparasi Tanpa Nama.

Makhluk gaib juga menjadi sarana pengobatan. Bahkan sampai sekarang, jasa paranormal atau dukun gaya baru, masih dipercaya dan menjadi jujugan tokoh-tokoh ternama. Mereka bahkan rela mengeluarkan uang ratusan juta hingga milyaran rupiah demi pengobatan sampai bantuan secara gaib untuk meraih kedudukan politik.

“Pasien dukun-dukun modern itu bukan lagi melayani penjual pecel yang ingin dagangannya laris, tapi juga politisi, pengusaha sampai jenderal yang berambisi meraih kedudukan lebih tinggi,” terang Yon Bayu.

Sementara dalam seni hiburan, hampir semuanya juga berhubungan dengan makhluk gaib, baik secara langsung atau hanya sarana. Sintren dan kuda kepang adalah contoh permainan yang melibatkan makhluk gaibs ecara langsung. pagelaran wayang kulit juga membutuhkan bantuan makhluk gaib untuk menunda hujan.

“Tanpa disadari, sejak lahir sampai mati manusia Jawa hidup bersisian dan berkelindan dengan makhluk gaib. Bahkan saat lahir, sudah membawa makhluk gaib yang disebut sedulur pancer. Masyarakat Jawa mempercayai ari-ari dan orok bersaudara. Ari-ari hidup di alam gaib, sementara orok hidup di alam fana,” papar penulis novel Kelir yang menceritakan budaya Jawa tersebut.

Horor yang hanya mengeksploitasi ketakutan dan sesualitas tubu perempuan, didasarkan pada cerita kaum urban (urban legend). Namun dampaknya, semua budaya Jawa yang berkelindan dengan makhluk gaib atau horor, mendapat stigma yang sama.

“Sudah saatnya horor yang berasal dari kebiasaan dan tradisi masyarakat Jawa diakui sebagai budaya. Dengan demikian, karya fiksi yang berlatar budaya mistis Jawa, sepanjang ditulis dengan kaidah-kaidah sastra yang benar, adalah sastra horor,” tegas Yon Bayu.

Pada kesempatan itu, Made Andani lebih menyoroti tentang fungsi cerita horor sebagai motivasi. Misalnya cerita tentang orang yang bangkrut karena memelihara burung perkutut, dan setelah melepas burung itu, ekonominya kembali membaik.

“Secara simbolis kita diajak untuk tidak mengekang burung dalam sebuah sangkar karena alamnya berbeda. Burung harus hidup di alam bebas. Bukankah aneh ketika ada yang mengeklaim pencinta binatang, tetapi mengekang burung dalam sangkar,” cetus Andani yang juga seorang dokter hewan.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini