Catatan: Kurnia Effendi
Seperti saya sampaikan di media sosial bahwa agenda PPI (Penyair Perempuan Indonesia) mengunjungi kawasan eksotik Indonesia dengan tajuk: Pulang ke Kampung Tradisi sangat baik dan bermanfaat. Saya sebut baik karena seperti perantau yang mudik, lebih filosofis: bertandang ke dalam diri. Saya sebut bermanfaat, tentu saja, sebab akan menambah kekayaan pengetahuan bagi para penyair yang sebelumnya tidak mengenal tradisi di “kampung” tersebut. Penyair Riau jadi tahu tentang Garut, penyair Makassar mengenal Yogyakarta lebih mendalam, penyair Jawa Timur memahami karakter orang Baduy. Oleh karena itu, “ritual” itu perlu dilanjutkan seandainya Kunni Masrohanti yang saat ini menjadi Ketua PPI mengalihkan tongkat estafet ke tangan ketua berikutnya.
Lebih bermakna lagi karena setiap pengalaman kunjungan ke Kampung Tradisi tidak berlalu ditiup angin tau lenyap perlahan dari ingatan. Dengan membukukan kesan kenangan baik pribadi maupun kolektif berupa puisi (tentu, ini komunitas penyair, bukan arkeolog), orang-orang lain sebagai pembaca mengenal kampung tradisi tersebut secara simbilik, puitik, lirik, dan epic.
Ajari Aku Baduy merupakan buku kedua atau ketiga yang diterbitkan PPI selepas para penyair berkunjung ke suatu tempat. Setelah Yogyakarta dan Garut, mereka memilih Kampung Baduy di Banten sebagai objek sekaligus subjek. Mengenal secara indrawi, juga menangkap substansi dengan perasaan dan pikiran. Ketika kemudian hasil silaturahmi dengan alam dan masyarakat setempat diolah menjadi puisi: tampak perspektif masing-masing penyair yang berbeda satu sama lain.
Keanekaragaman yang disajikan setiap penyair menurut saya justru memperkaya nilai antologi. Menunjukkan pula bahwa setiap penulis memiliki ketertarikan yang tidak sama. Dalam antologi Ajari Aku Baduy tentu ada benang merah, misalnya filosofi atau warisan leluhur yang menjadi sikap hidup mereka. Namun, ada satu kata yang tampaknya itu nama orang—Alis—memberikan kesan kuat kepada setiap penyair.
Buku ini memiliki tema yang kuat dan menggambarkan Baduy secara komprehensif walau tidak berupa narasi prosaik. Puisi—yang satu di antara kekuatannya adalah multifafsir—akan mengawetkan kesan untuk dibaca kapan pun bahkan berulang-ulang. Namun demikian, tidak ada khilafnya bila saya memberikan respons atas pembacaan terhadap suara batin para perempuan penyair di PPI. Dengan jumlah puisi dari tiga hingga sepuluh setiap penyair, saya akan berkomentar. Soal penting atau tidak, bukan persoalan. Ini seperti refleks sekaligus refleksi saya setiap membaca karya.
Alfabetik saja sesuai dengan urutan penyair dalam antologi ini.
Agatha, di hampir setiap akhir kalimat puisi, ada titik-titik, jumlahnya dua. Semula saya mengira saltik, ternyata itu ada di mana-mana. Kalau puisi Putri Marino, di ujung baris ada titik tiga. Gatel juga membacanya. Dalam EYD, titik satu, tiga, empat, itu ada maksud sesuai aturan yang disusun oleh Badan Bahasa. Titik dua beruntun, apa maksudnya?
Materi yang dikandung umum saja, bahkan ada kalimat yang saya pikirkan, tetapi tidak bertemu makna tepatnya: Badui adalah surga baginya, bak kotak pandora yang lama tak dibuka. Apakah ini bagi si penyair sendiri yang dijadikan POV-3? Sang penyair kelahiran 1997 masih banyak waktu untuk membaca banyak puisi karya penyair yang baik.
Ana Ratri, penulisan puisinya banyak melanggar kaidah EYD. Saya setuju dengan mendiang Ahmad Yulden Erwin, penyair yang baik adalah penyair yang menguasai aturan berbahasa tulisan (teks), misalnya awalan dan kata depan, penggunaan huruf kapital, dll.
Ketika saya membaca biodatanya sebagai seorang redaktur, jadi agak sangsi dengan memeriksa naskah-naskah yang akan ditayang atau diterbitkan.
Asmariah sudah menulis banyak puisi di berbagai antologi. Secara umum keterampilannya tinggal diisi materi, dalam hal ini berupa fakta kearifan masyarakat Baduy. Normatif.
Ada satu ungkapan yang mungkin perlu diperbaiki: “bening seperti kain putih”. Memang air putih juga istilah umum untuk air bening tak bewarna, tetapi ada baiknya tidak diperluas ke benda yang lain.
Devie Komala Syahni yang dikenal dengan nama Devie Matahari … wah, baru membaca bait pertama kok jiwa saya ikut berlagu. Ia menulis “hanya” tiga puisi dan semuanya matang pohon (ibarat durian atau mangga). Kesadarannya sebagai komposer, puisinya sangat musikal. Padat bermakna seperti berpijak pada rujukan. Misalnya kata “simbut”, itu jenis kain buatan tangan yang sudah ada ratusan tahun lalu di tatar Sunda, bahkan menjadi salah satu leluhur wastra Nusantara.
Devie, berkenanlah menyanyi untuk kami …. Saya percaya, puisi itu ditulis sambil berdendang.
Geva sebagai ringkasan Genoveva Dian, tidak saja mahir menulis cerpen dan novel, ternyata puisi-puisinya tertib dan bernas. Ada koheren dan inheren yang menjadi bangunan puisinya utuh, harmoni, fokus.
Pada puisi pertama ia menunjukkan metaforis pastoral. Pada puisi terakhir, ia menggunakan metode referensi dalam berbagi informasi mengenai Kanekes.
Jauza Imani, pada dasarnya lembut sehingga dalam berpuisi atau menulis cerpen kurang berani lantang atau tegas. Pada puisi kedua terlihat upaya menggunakan estetika persajakan. Disampaikan tentang makna kearifan turun-temurun Baduy pada puisi ketiga.
Sudah saatnya ia belajar melihat bukan dari yang tampak, tetapi juga yang ada di sebaliknya.
Kunni Masrohanti, selain menulis banyak puisi—sepuluh di buku ini—juga memborong berbagai topik. Ia menangkap fenomena, tiap puisi fokus pada materi yang digali, ungkapannya tidak ragu bahkan menyisipkan banyak ekspresi suara yang mengingatkan saya pada troubadour Leo Kristi. Mengemas substansi dengan permainan kata, bergegas, tanpa ada yang tersepelekan.
Puisi-puisinya menunjukkan pengamatan yang menyingkap lapis demi lapis tradisi. Kadang melalui tokoh ia menggali yang tersmbunyi dengan metaforis. Khidmat sekaligus mengesankan selarik mantra yang mencair. Mungkin ini gaya penyair Riau sebagai sumber bahasa Melayu. Ada kesan bunyi, ada kesan visual.
Mita Katoyo mungkin tergolong penulis puisi cepat, cepat habis pula saat dibaca. Problemnya—semoga ia sepakat menganggapnya sebagai problem—bila puisi ini ditaruh di kumpulan mana pun, tidak akan memberikan karakter apa pun. Apakah latarnya Balige, Boyolali, Gorontalo, atau Mataram … Artinya tidak memiliki akar untuk mencengkeram tumpah darah yang menumbuhkan puisi tersebut.
Kesan-kesan sekilas tentang permukaan tanpa menggali humus, menangkap yang kasat mata tanpa karakter. Sekalinya menyebut masyarakat Baduy, diserahkannya sebagai takdir.
Nia Kurnia puisinya bertutur panoramis. Melaporkan tentang datangnya kemajuan (teknologi), tetapi masyarakat tidak menggelutinya apalagi menafaatkannya. Ada pemberontakan, tetapi terpendam karena kuatnya tradisi. Cerita-ceritanya merupakan paparan fisik. Memunculkan gegar budaya dan sebagian warga Baduy yang berada di persimpangan. Kehadiran atau eksistensi manusianya pun digambarkan yang fisikal. Selebihnya menceritakan pengalamn perjalanan itu sendiri.
Masih perlu mencermati EYD agar makin terampil mengolah bahasa dan aturannya.
Nuraeni seperti menegaskan dalam puisinya bahwa kehidupan masyarakat Baduy tidak dapat diubah. Ikhlas dan pasrah terhadap kearifan yang terjaga sebagai warisan leluhur tanpa sentuhan Pendidikan, mungkin menjadi pertanyaan kita semua. Alamlah yang diharapkan dan memang dianggap memberi pelajaran kepada mereka.
Puisi-puisinya umum dan normatif, mengisahkan pengalaman kunjungan dan melihat Baduy sebagai objek yang kasat mata saja. Hal yang fisik kemudian ditafsir secara simbolik.
Resti Nurfaidah sebagaimana sejumlah penyair lain menulis tentang Alis. Di tengah masyarakat Baduy, saya mendapatkan kesan bahwa gadis belia itu cerdas. Objek yang menarik sekaligus mungkin meresahkan bagi kita yang hidup di luar tradisi mengikat. Puisi “Potret”, sesuai judulnya, memang hanya memotret yang terlihat.
Puisi-puisinya yang ditulis dalam bahasa Sunda bisa menarik karena umumnya akan lebih pas dan serasi dalam menyajikan peristiwa atau nasihat dengan perumpamaan yang tidak terwakili dalam bahasa Indonesia. Penyair ini juga membuat semacam obituari ringkas pada puisi pemungkas.
Rini Intama seperti sudah memiliki branding sebagai penulis puisi sejarah. Balada yang dikemas dengan metafora, memaparkan bukan saja tradisi, malainkan juga mengenai peran peristiwa sebagai saksi zaman. Dengan mengajukan satu subtema dalam setiap puisi, potensinya sebagai dokumentator akan menjadi jawaban bagi benyak pertanyaan generasi mendatang.
Ada dua puisi yang memikat dengan gaya berkait, yakni kata penutup baris merupakan pokok pikiran bagi baris berikutnya, menyusun cerita dari hulu ke hilir. Di satu puisi, “pikukuh” yang menjadi undang-undang, menjaga sekaligus memenjara bagi masyarakat Baduy.
Teti Marlina baru saya ketahui ternyata menulis puisi. Sebagai guru yang tertarik kepada literasi diharapkan menjadi jembatan bagi peserta didik untuk gemar membaca dan menulis. Puisi-puisinya belum menunjukkan identitas. Andai tidak dicantumkan kata Baduy, puisi-puisi itu bebas dari klaim budaya tertentu.
Ulandari Fitri melakukan banyak kesalahan aturan dalam menulis walau puisi memiliki lisensi puitika. Membaca puisi-puisinya menjadi cukup terganggu, boro-boro ingin mencerna makna dan hakikat. Bila membaca judul-judulnya, sebetulnya cukup menarik. Pikiran dan prasangka saya pun bercabang kepada syak: jangan-jangan editornya juga kurang cermat atau malah tidak sempat membacanya.
Vironika menulis sepuluh puisi yang rata-rata normatif, tidak menyarankan gagasan atau topik yang baru. Misalnya dalam hal ini ia menyisipkan materi Baduy permulaan, subjek yang menjadi objek, yang mudh ditemukan dari sumber terbuka. Ia belum memberikan pemahaman atau isu baru yang siapa tahu luput dari pengetahuan orang dari luar Baduy selama ini.
Kurang lebih demikian. Mari kita baca, syukur dari penyampaian verbal suara, yang saya anggap normative itu akan bersinar. []
*) Disampikan dalam diskusi buku “Ajari Aku Baduy” di Lantai 14 Dewan Kesenian Jakarta, TIM, Minggu, 10 November 2024.