PojokTIM – Setelah tertunda beberapa kali, PojokTIM akhirnya berhasil melakukan wawancara dengan penyair Julia Basri. Namun jejerit anak-anak dan bising suara kaki-kaki kursi yang bergeser dari area pusat kuliner gedung Trisno Soemardjo, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, memaksa PojokTIM menyudahi rekaman wawancara. Terlebih suara Julia Basri tidak cukup kuat sehingga bunyi bising dari luar (noise) lebih dominan. Hal itu tentunya akan mengganggu proses convert dari suara ke teks.
“Iya, itu lebih praktis,” kata Julia Basri menyambut tawaran untuk wawancara tertulis.
Penyair kelahiran Bengkulu itu, sudah aktif dalam dunia literasi, sastra dan teater sejak masih duduk di bangku sekolah. Puisi-puisinya telah dimuat di berbagai media massa dan antologi bersama. Julia pun sudah menerbitkan buku antologi puisi tunggal berjudul Sebelum Matahari Membakar Siang dan The School of Sorrow.
Kesibukan pemilik nama YuIiyanti Basri itu tidak perlu ditanya. Selain menjadi dosen, Julia juga mendirikan dan mengurus JB Edukreatif Indonesia – jejaring menulis buku yang anggotanya tersebar sampai pelosok nusantara. Kesibukannya kian bertambah setelah mendapat tugas sebagai Relawan Literasi Masyarakat (Relima) dari Perpustakaan Nasional.
Berikut wawancara tertulis PojokTIM dengan Julia Basri.
Masih menulis dan baca puisi?
Masih aktif menulis, juga membaca puisi.
Anda dikenal sebagai penggerak literasi nasional. Ada alasan tertentu yang mendorong Anda melakuakn aktifitas tersebut?
Dari kegelisahan, lahir kepedulian. Melihat anak-anak tenggelam dalam gawai membuat saya bertanya, apa yang bisa saya lakukan. Akhirnya saya bercerita membangun jembatan
dan menjadikan dongeng sebagai pintu masuk. Sebelum mereka mencintai buku, mereka harus terlebih dulu mencintai cerita. Menumbuhkan bukan menuntut . Ketika anak-anak penasaran dengan cerita baru, saya hadirkan buku. Bukan sebagai beban, tapi sebagai hadiah hingga mereka tertarik untuk membaca isinya.
Saya juga menemani proses tumbuh. Bukan kecepatan yang saya kejar, tapi keberlanjutan. Perlu kesabaran menumbuhkan rasa cinta itu, sedikit demi sedikit, hingga menjadi kebutuhan jiwa mereka.
Lalu kegelisahan saya terhadap rendahnya minat baca. Statistik minat baca di Indonesia sangat menyedihkan. Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa masyarakat kita lebih rajin berselancar di media sosial daripada membuka buku. Ini bukan sekadar data tapi luka budaya. Dari kegelisahan itulah lahir semangat untuk bergerak, walau perlahan dan awalnya sendiri.
Tapi saya yakin bahwa literasi adalah kunci keadaban. Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis. Literasi adalah kemampuan memahami dunia, memilah informasi, berpikir kritis, dan berempati. Dalam dunia yang kian bising dan penuh disinformasi, literasi menjadi perisai dan pelita.
Saya juga ingin mengubah takdir lewat kata, banyak penggerak literasi melihat bahwa anak-anak di pelosok, di desa, atau di lingkungan marginal memiliki potensi besar yang terkubur karena kurang akses. Dengan satu rak buku, satu rumah baca, satu kegiatan dongeng, takdir mereka bisa berbelok. Dan itulah harapan kecil yang membuat lelah jadi tak berarti.
Bisa ceritakan keterlibatan awal pada gerakan literasi?
Awal yang sederhana, tapi bermakna. Keterlibatan saya dalam gerakan literasi bukan berangkat dari seminar, program resmi, atau pelatihan. Namun lahir dari keresahan kecil di halaman rumah. Setiap hari saya menyaksikan anak-anak di sekitar rumah lebih akrab dengan gawai daripada dengan buku. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam menatap layar, tertawa sendiri, atau meniru tren video yang mereka tonton. Sementara buku cerita, majalah anak, bahkan permainan tradisional mulai dilupakan.
Saya sempat berpikir, apakah memang sudah zamannya berubah? Apakah cerita-cerita lama sudah tak punya daya tarik lagi? Kegelisahan saya itu tak hilang. Justru makin kuat. Saya merasa ada yang hilang dari pertumbuhan mereka: imajinasi, rasa ingin tahu, dan kehangatan dari dunia kata-kata.
Lalu saya mencoba sesuatu yang sangat sederhana: bercerita. Saya undang beberapa anak, lalu duduk bersama di teras rumah. Dengan suara pelan tapi penuh irama, saya mulai mendongeng,dan membaca puisi, kisah dongeng nya tak rumit tentang binatang, petualangan, atau dongeng rakyat. Respon mereka cukup mengejutkan. Mata mereka berbinar. Mereka menyimak hingga selesai. Bahkan ada yang meniru suara tokohnya, tertawa, lalu bertanya, apakah besok ada cerita lagi.
Itulah momen kecil yang mengubah segalanya. Saya mulai menyusun strategi pelan-pelan. Bukan dengan jargon gerakan literasi, tapi dengan pendekatan hangat dan personal. Cerita dulu, lalu buku. Setelah mereka terpikat oleh dongeng, saya perkenalkan buku cerita anak. Saya tidak memaksa mereka membaca. Saya hanya membiarkan mereka penasaran, lalu membuka sendiri halaman demi halaman.
Dan dari situ, semuanya tumbuh, seperti benih yang jatuh di tanah yang tepat. Dari halaman rumah ke arah yang lebih luas. Apa yang awalnya hanya kegiatan sore hari berkembang menjadi semacam taman kecil literasi. Anak-anak mulai saling meminjam buku. Saya kebetulan hobi membeli buku, menyimpannya hingga memiliki koleksi buku bacaan,saya mengumpulkan lebih banyak bacaan, bahkan menulis cerita sendiri untuk mereka. Kadang saya ajak mereka membuat ilustrasi. Kadang kami mengarang bersama. Hasil tulisan mereka itu saya kumpulkan dan saya jilid semacam buku, ketika mereka memiliki buku jilid hasil karya mereka sendiri itu, mereka sangat senang dan bahagia. Merasa bisa membuat buku yang sama dengan buku yang mereka baca.
Dari situ, saya mulai belajar bahwa literasi bukan sekadar bisa membaca dan menulis, tapi mencintai makna dan menyusun dunia. Gerakan literasi yang saya jalani tidak selalu besar atau formal. Tapi saya percaya, gerakan sekecil apapun, jika konsisten dan dijalankan dengan cinta, akan menemukan jalannya sendiri untuk berdampak.
Karena di teras rumah semakin hari semakin ramai, saya akhirnya mendirikan komunitas jejaring penulis buku Edukreatif Indonesia. Dengan adanya wadah ini membuat gerakan saya lebih luas. Dari yang tadinya di rumah, berkembang ke sekolah-sekolah di Kota Bogor dan akhirnya jejaring meluas, menjangkau luar Pulau Jawa. Bukan saja anak -anak yang menjadi anggotanya melainkan guru-guru di hampir seluruh pelosok Nusantara seperti Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Muaro Jambi, Sumatera Barat, dan lain-lain.
Jejaring ini semakin luas dan saya membuat desain program literasi sendiri untuk meningkatkan kemampuan kompetensi berliterasi semua anggota. Hingga kini ribuan penulis tercipta dari berbagai wilayah nusantara. Anggota dan peserta program yang digerakkan juga berasal dari ratusan sekolah.
Apa saja kegiatan dan program JB Edukreatif Indonesia?
Beberapa kegiatan dan program utama JB Edukreatif Indonesia, yang didirikan sejak tahun 2019 dan aktif memajukan literasi lewat berbagai bentuk kolaborasi dan kreativitas di antaranya:
- Pendampingan, Pelatihan & Penerbitan Buku
JB Edukreatif bekerja sama dengan sekolah, guru, siswa, dan masyarakat umum untuk mendampingi mereka dalam menulis dan menerbitkan buku cerita atau karya literasi lainnya. Mereka juga memberikan apresiasi berupa sertifikat, plakat, dan slempang berdasarkan capaian kepenulisan peserta membangun jejaring kolaborasi dengan lembaga seperti Badan Bahasa, Perpustakaan Jakata, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, BRIN, hingga Pemkot Kota Bogor.
- Festival Nasional Kreatif
Festival ini diselenggarakan setiap awal tahun (misalnya Februari 2025) di GSG DPR/MPR Senayan, Jakarta, dengan tema seperti Bersinergi dalam Kekuatan Karya dan Prestasi. Dalam festival ini digelar apresiasi bagi sekolah, guru dan siswa yang berhasil menerbitkan buku bersama JB Edukreatif. Acara juga menghadirkan pertunjukan seni (puisi, teater, musikalisasi, pantomim, tari) dan talkshow inspiratif dari tokoh literasi dan pendidikan nasional, bahkan Duta Besar luar negeri.
- Kolaborasi dengan Dinas Perpustakaan & Komunitas Lokal
Salah satu kegiatan nyata mereka adalah menyerahkan buku-buku hasil penerbitan ke Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah (Arpusda) seperti di Kota Bogor pada Mei 2025 sebagai bentuk sinergi untuk mempraktikkan ilmu dari literasi ke kegiatan nyata masyarakat, misalnya menanam, merajut, membuat kerajinan, dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk menuntaskan literasi hingga ke tahap praktek dan berkarya literasi bukan sekadar membaca, melainkan menghasilkan tindakan nyata.
- Pendampingan & Penerbitan Buku
Membantu siswa, guru, dan masyarakat menulis dan menerbitkan karya sendiri.
- Festival Nasional Kreatif
Ajang apresiasi dan diskusi antara penggiat literasi, pendidikan, dan kreativitas.
- Kolaborasi dengan Arpusda & Komunitas
Menyalurkan buku & mendorong literasi menjadi praktik nyata di masyarakat.
JB Edukreatif Indonesia tak hanya fokus pada buku sebagai media baca, tetapi juga memperkuat makna literasi sebagai jembatan antara membaca dan berkreasi, antara teori dan tindakan nyata. Salah satu filosofi kuat kami adalah literasi tertinggi tercapai ketika seseorang mampu mengamalkan apa yang dibacanya dalam kehidupan sehari-hari.
Julia Basri bersama Duta Besar Ekuador untuk Indonesia Luis Guillermo Arellano Jibaja, dosen FIB UI Danny Susanto dan Ketua Pelaksana Festival Literasi Kreatif Nasional Herman Syahara yang digelar JB Edukreatif Indonesia di Gedung GSG DPR/MPR.
Sejauh mana peran dan dukungan pemerintah terhadap gerakan literasi?
Peran pemerintah terhadap JB Edukreatif Indonesia adalah sebagai mitra kolaboratif, bukan pemilik program. Pemerintah memberikan ruang, akses, dan dukungan kebijakan, serta fasilitasi acara dan pengakuan publik, akses ke lembaga negara dan arsip literasi. Namun keberhasilan JB Edukreatif tetap terletak pada inisiatif mandiri, gerakan dari bawah, dan kekuatan jejaring komunitas yang dibangun secara konsisten oleh pendiri dan para pendamping literasi.
Di tengah kebijakan efesiensi anggaran pemerintah, bagaimana komunitas literasi, termasuk kesenian,menyikapinya agar tetap bisa berkarya?
Bukan hanya saat ada kebijakan efisiensi anggaran. Komunitas literasi dan kesenian sering menjadi pihak yang terdampak secara langsung ketika pemerintah membuat kebijakan pengetatatan anggaran. Biasanya dana untuk program kebudayaan dan pemberdayaan masyarakat termasuk yang dipangkas lebih dulu.
Namun, keterbatasan anggaran bukan berarti keterbatasan berkarya. Justru di sanalah sering muncul inovasi, solidaritas, dan daya juang yang tak tergantikan. Berikut adalah cara-cara strategis yang bisa diambil komunitas seperti JB Edukreatif Indonesia dan lainnya.
- Menguatkan Gotong Royong dan Kolaborasi
Saat dana minim, kekuatan komunitas adalah gotong royong. Berbagi peran, saling membantu fasilitas, iuran sukarela, hingga barter karya bisa menjadi cara bertahan. Komunitas bisa menjalin kolaborasi lintas bidang: dengan sekolah, UMKM, pelaku seni, pengusaha lokal, atau media kampus.
Misalnya, buku bisa dicetak terbatas tapi dibaca dalam forum dongeng, atau cerita bisa ditayangkan dalam bentuk podcast gratis.
- Memanfaatkan Teknologi & Platform Gratis
Gunakan platform digital seperti Google Docs, Canva, YouTube, Instagram Reels, atau blog gratis sebagai panggung literasi dan seni. Banyak komunitas mulai beralih ke bentuk buku digital, audio storytelling, dan pementasan virtual. Ini tidak hanya memangkas biaya, tapi juga menjangkau lebih luas.
- Membangun Kemitraan Non-Pemerintah
Cari sponsor dari CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan, yayasan pendidikan, atau tokoh publik yang peduli budaya. Lembaga seperti JB Edukreatif dapat menawarkan proposal bernilai sosial dan edukatif, seperti pelatihan menulis, penerbitan kolektif, atau festival literasi sekolah. Bentuk apresiasi sederhana (sertifikat, publikasi karya, atau testimoni) sangat dihargai oleh mitra.
- Fokus pada Dampak Kecil tapi Nyata
Daripada mengejar proyek besar yang bergantung pada dana, komunitas bisa berfokus pada gerakan mikro yang berdampak langsung seperti 1 anak membaca sam dengan 1 perubahan dunia kecil, 1 sekolah menerbitkan buku berarti 1 lompatan budaya. Dengan dokumentasi yang baik, dampak ini bisa menjadi modal untuk meyakinkan calon mitra di masa depan.
- Adaptasi Format Karya & Pementasan
Seniman dan komunitas bisa bereksperimen, misalnya puisi jadi lagu, cerpen jadi poster atau komik strip, pementasan teater jadi drama radio atau konten TikTok edukatif. Prinsipnya, bukan format yang penting, tapi pesan dan rasa yang tersampai.
Namun kadang perjuangan dan proses tidak sebanding ketika dihadapkan harus melunasi tagihan sana sini sehabis kegiatan tersebut. Karena minim sponsor yang di dapat, terkadang harus merogoh kocek sendiri
Bagaimana Anda melihat perkembangan literasi di sekolah?
Perkembangan literasi di sekolah sudah mulai bergerak ke arah yang baik. Namun, masih perlu meningkatkan kualitas pelatihan guru literasi, menyediakan buku yang relevan dan dekat dengan dunia siswa, membangun kegiatan literasi berbasis pengalaman, bukan hanya rutinitas.
Jika sekolah bisa menjadi rumah yang memeluk buku dan mendengarkan cerita anak-anak, maka kita bukan hanya mendidik mereka—kita sedang menyiapkan generasi yang berpikir, merasa, dan berperadaban.
Selain gerakan sastrawan masuk sekolah, program apa lagi yang perlu dilakukan agar siswa tertarik mengikuti kegiatan literasi?
Ada beberapa program inovatif yang bisa dilakukan untuk menarik minat siswa dalam kegiatan literasi seperti klub literasi digital dan kreatif yang menggabungkan literasi dengan media digital, festival literasi sekolah, perpustakaan hidup yakni dengan menghadirkan tokoh-tokoh inspiratif, literasi tematik budaya lokal, kelas menulis kreatif terbuka, jurnalisme sekolah, dan gerakan 1 buku 1 siswa.
Apa pandangan Anda soal Taman Ismail Marzuki?
Sejak awal, TIM dijadikan sebagai inkubator seni, mendukung seniman eksperimental dan kontemporer di Indonesia, termasuk gelombang Gerakan Seni Baru yang digagas di lokasi ini.
Saya pribadi tidak asing dengan nama Taman Ismail Marzuki ini, karena sejak tahun 1998, semasa SMA, saya sudah terjun dalam dunia seni teater, tari, dan membaca puisi melalui komunitas teater di daerah saya yaitu Taman Budaya Bengkulu. Tahun 1998, saya dan tim teater pentas di teater besar dengan memainkan peran Ibu suri. Dan tahun 2001, saya mengikuti parade membaca puisi nasional yang diselenggarakan oleh TIM. Setelah lulus SMA saya hijrah ke Bogor, melanjutkan kuliah di IPB Bogor. Walaupun jurusan tersebut tidak berkolerasi dengan passion dan hobi saya, tapi saya tetap konsisten mengikuti kegiatan dI TIM dan sempat bergabung bersama Bengkel Teater Rendra di Depok Sawangan, tahun 2013-2015. Banyak ilmu yang saya dapatkan di sana. Namun karena kesibukan, saya kemudian vakum.
Saya juga pernah kuliah di Fakultas Seni Pertunjukan, jurusan Seni Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 2015 karena terdorong keinginan yang kuat terhadap seni teater, tari dan membaca puisi. Karena suatu hal, saya berhenti di semester empat. Kemudian saya mengambil S2 di Perguruan Tinggi Ilmu Administrasi Negara ( STIAMI) Jakarta.
Sepanjang tahun saya tidak pernah meninggalkan TIM, mengikuti berbagai kegiatan seni sastra, komunitas dan temu penyair. Terlebih saat saya dipercaya sebagai Relawan Literasi Masyarakat (Relima) melalui SK Perpusnas RI. Tugas tugas dan peran saya adalah bergerak dalam pengembangan budaya baca dan kecakapan literasi masyarakat. Kecakapan literasi ini mencakup semua unsur termasuk pemahaman literasi sastra, seni budaya dan kebahasaan. Juga mengkoordinir pelatihan (workshop) kepenulisan sastra.
Saya juga bergabung dengan kepengurusan Yayasan Hari Puisi. Turut berjuang dengan hambatan yang begitu berat dan tidak mudah demi penetapan Hari Puisi Indonesia. Syukur alhamdulillah 26 Juli 2025 Hari Puisi Indonesia resmi ditetapkan oleh Kementerian Kebudayaan. SK Penetapan langsung ditandatangani oleh Menteri Kebudayaan Bapak Fadli Zon. Saya sangat bangga karena Indonesia sekarang telah memiliki Hari Puisi, dan saya tercatat di dalam sejarahnya. Sehingga ruh puisi semakin hidup dalam masyarakat.
Taman Ismail Marzuki, bukan sekadar ruang pertunjukan, tetapi jantung seni dan edukasi budaya Indonesia. Dengan fasilitas yang lengkap, revitalisasi kekinian, serta kekayaan program seni, TIM layak dikenal sebagai tempat inspiratif dan kreatif, terutama untuk memperkenalkan siswa pada dunia budaya, sastra, dan seni interaktif.
Sebagai wadah dalam pergerakan turut membangun bangsa dan turut mencerdaskan kehidupan bangsa saya mendirikan dan membangun komunitas sendiri yaitu JB Edukreatif Indonesia yang berfokus pada pergerakan literasi sastra, seni dan budaya.
TIM memberikan fasilitas lengkap dan modern, menawarkan berbagai ruang kreatif dan edukasi seperti Graha Bhakti Budaya, Teater Jakarta, Galeri Seni, Perpustakaan dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin dan lainnya. Sungguh hal ini bermanfaat bagi komunitas seperti JB Edukreatif Indonesia untuk turut berpartisipasi memajukan literasi sastra, kebahasaan, seni dan budaya.
Walaupun TIM tetap menjadi ikon seni dan budaya nasional, tantangan terbesarnya adalah menjaga keseimbangan antara modernisasi dan nilai-nilai perjuangan seni, antara kemewahan fasilitas dan kerendahan hati pelayanan publik.