Ketua Simpul Seni DKJ Aquino Hayunta memberikan sambutan pada acara membedah Proses Kreatif Emi Suy. Foto: PojokTIM

PojokTIM – Emi Suy menghadirkan corak baru dalam peta puisi Indonesia kontemporer. Ia menolak kebisingan, memilih diam, tetapi diam yang dalam dan berdaya. Ia membangun matriks puitika dari sunyi, rindu, dan doa, memanfaatkan simbol domestik sebagai arsitektur makna, dan melahirkan spiritualitas yang dapat dibaca lintas budaya. Oleh karenanya, puisinya layak ditempatkan dalam percakapan global sastra yang menekankan spiritualitas sehari-hari sebagai bagian dari humanisme universal.

Demikian dikatakan sastrawan Helvy Tiana Rosa ketika menjadi pembicara dalam acara Membedah Proses Kreatif Emy Suy yang diselenggarakan Komunitas Kosakata di Gedung PPSB Jakarta Barat, Sabtu (6/9/2025). Helvy memuji puisi-puisi Emi yang membuatnya kesengsem sehingga kemudian tergerak membuat puisi untuk Emi berjudul Suara Sunyi dan dibacakan penuh penghayatan.

“Saya jarang membuat puisi untuk seseorang. Namun setelah membaca puisi Emi, saya tergerak membuat puisi (untuk Emi Suy),” ujar dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.

SelaIn Helvy, dalam diskusi yang dipandu Octavianus Masheka itu, Imam Ma’arif dari Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta dan Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) Riri Satria juga turut menjadi pembedah proses kreatif Emi Suy. Acara yang dihadiri Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Barat Joko Mulyono, Pembina Kosakata Anto Ristargie, dan Ketua Kosakata Chintya, semakin lengkap dengan pembacaan puisi oleh Herry Tany, Rissa Churria, Nunung El Niel dan Shantined.

Pada kesempatan itu Imam menceritakan awal Emi Suy berproses menjadi penyair. Perkenalannya di tahun 2008 sama sekali tidak membekas karena puisi Emi masih belum menemukan bentuk. “Bahkan saya dengar puisi-puisi itu pernah dibukukan tapi kemudian dibakar,” ujar Imam.

Namun dalam perkembangannya, Imam menjumpai Emi dalam rupa berbeda. Emi banyak bergaul dengan sastrawan-sastrawan besar dan tak malu bertanya. Emi terus belajar memasak kata dan makna menjadi rasa yang nikmat. “Alur prosesnya sudah benar. Saya melihat ada pergerakan pengetahuan dan pergerakan laku yang paralel,” kata Imam.

Sampailah kemudian Emi menerbitkan buku-buku lain, yang menurut Imam, sudah mulai menemukan bentuk melalui teropong sunyi. Walaupun belum menembus ke titik jantung sunyi, setidaknya pilihan jalannya sudah benar. “Untuk masuk ke jantung sunyi tentunya butuh proses. Tidak ujug-ujug.”

Pada Alarm Sunyi dan Ayat Sunyi, Imam menangkap proses sunyi masih menjadi situasi dan keluhan.  Namun, pada buku Api Sunyi, Emi sudah mengalami perkembangan yang signifikan.  “Saya juga menangkap sinyal, tiket masuk ke dalam kota-kota sunyi telah ia raih,” puji Imam.

10 Buku

Uraian lengkap tentang Emi Suy disajikan oleh Riri Satria. Staf Khusus Menko Polhukam itu secara kronologis menjabarkan perjalanan kepenyairan Emi dan proses kreatif lainnya dalam makalah berjudul Kisah Sepuluih  Buku Emi Suy. Disebutkan, Emi sudah menerbitkan lima buku kumpulan puisi tunggal, yaitu Tirakat Padam Api (2011), serta trilogi Sunyi yang terdiri dari Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), Api Sunyi (2020) serta Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (2022), dan buku kumpulan esai sastra berjudul Interval (2023).

Pada buku kedua, Alarm Sunyi, Emi baru menemukan jati diri kepenyairannya dan merupakan awal dari trilogi sunyi. Buku tersebut mendapat sambutan luas serta mengalami cetak ulang beberapa kali. Emi mulai mendapat pengakuan pada buku ketiga, Ayat Sunyi, di mana ia meraih sejumlah penghargaan, salah satunya dari Perpustakaan Nasional RI pada tahun 2019 sebagai Juara Harapan III untuk kriteria buku puisi di Indonesia.

“Pada 2023, Emi juga menerbitkan buku kumpulan puisi bersama saya yang berjudul Algoritma Kesunyian. Algoritma adalah dunia saya, sementara diksi kesunyian milik Emi,” terang Riri.

Dosen Universitas Indonesia (UI) itu menambahkan, saat ini Emi Suy sedang menyelesaikan buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Perempuan Mesti Bisa Menjahit Setidaknya Menjahit Lukanya Sendiri yang rencananya akan diterbitkan akhir tahun 2025 di mana Riri memberi epilog.

Menurut Riri, seperti juga penyair lain, Emi menjalani proses yang panjang untuk sampai pada cara ucap yang tepat melalui puisi-puisinya.  “Dari awalnya tidak percaya diri, akhirnya  berhasil menemukan bentuk pengucapan yang tepat untuk dirinya,” kata Riri.

Satu hal yang patut diteladani dari Emi, menurut Riri, adalah keberhasilannya membangun hubungan keluarga. Sebab banyak penulis perempuan yang berhenti berkarya setelah berkeluarga karena tidak mendapat dukungan dari keluarganya.

Di akhir acara, Emi menjelaskan beberapa hal terkait proses kepenyairannya, termasuk diksi perempuan mesti bisa menjahit, setidaknya menjahit lukanya sendiri yang akhirnya menjadi quote yang banyak dipakai di media sosial. Quote itu dilandasi pemahaman bahwa perempuan tidak hanya berperan sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya, namun juga tokoh di keluarganya.

“Jika dia mampu menyelesaikan persoalannya sendiri, selesai dengan dirinya – menjahit lukanya itu, maka dia bisa mencarikan jalan keluar bagi persoalan keluarganya, persoalan di lingkungannya,” terang Emi.

Keputusannya membakar buku pertamanya, dan bahkan menghilangkan dari daftar buku yang pernah diterbitkan, menurut Emi, disebabkan karena buku tersebut memang tidak layak untuk diterbitkan dan tidak layak dibaca oleh orang lain, baik secara konten maupun fisiknya.

“Namun atas saran dan masukan beberapa teman, saya akhirnya “mengakui” buku pertama saya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses kepenyairan yang saya jalani,” tutup Emi.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini