PojokTIM – Puisi menjadi salah satu cara untuk menumpahkan kerinduan pada hal-hal yang sudah lampau. Di tangan penyair yang baik, kenangan itu seraya hadir kembali dalam warna yang – bukan saja puitis dan menghadirkan hal-hal yang sebelumnya mungkin tidak terucap, namun juga energi positif sebagai hasil refleksi.
Demikian tampak dari serangkai puisi yang terhimpun dalam buku antologi Rindu Beriak di Sungai Siak karya Ayu Yulia Djohan yang dibedah di PDS HB Jassin, Minggu (7/9/2025). Selain pembacaan dan musikalisasi puisi, kegiatan bertajuk Cakap Buku yang diselenggarkan oleh Komunitas NyaPoe, Teater Cakra, Cakra Budaya Indonesia, dan Bale Sastra Nusantara tersebut juga diisi dengan diskusi menghadirkan Ewith Bahar, Sofyan RH Zaid dan moderator Nuyang Jaimee.
Menurut Ayu Yulia, judul buku diambil dari salah satu judul puisi yang bercerita tentang kerinduan sekaligus kenangan pada masa kecilnya saat tinggal di Pekanbaru, Riau. “Buku ini mencerminkan nostalgia saya pada masa lalu, cinta, kehilangan, dan luka yang saya tuangkan lewat puisi,” tutur Ayu.
Sungai Siak yang digunakan sebagai latar, bukan tanpa alasan, melainkan cermin kerinduannya yang sangat dalam. “Sungai Siak merupakan salah satu sungai terdalam di Indonesia. Dengan menggunakan latar Sungai Siak, saya ingin mengatakan sedalam itulah kerinduan saya pada masa lalu yang kini tinggal kenangan,” urai Mak Cik, sapaan akrab perempuan kelahiran 10 Juli yang murah senyum itu.
Beberapa puisi Ayu Yulia juga sudah dibuat lagu. Salah satunya berjudul Kemuning yang dalam acara itu dinyanyikan bersama Malik Ardi.
Untuk diketahui, sebelumnya Ayu Yulia sudah menerbitkan antologi puisi Jelita (2017) dan Tarian Badai (2022) yang terbit dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, di mana versi terakhir berjudul The Dancing Stroms.
Ayu Yulia, Sofyan RH Zaid, Ewith Bahar dan Nuyang Jaimee dalam diskusi Rindu Beriak di Sungai Siak. Foto: Rissa Churria
Kesedehanaan
Menurut Ewith Bahar, puisi-puisi yang terhimpun dalam buku Rindu Beriak di Sungai Siak adalah serupa biografi Ayu Yulia. Di dalamnya ada cerita tentang keluarga, pergulatan batin, suara hati, hobi, dan lain-lain.
“Tema puisi-puisi Ayu Yulia sangat dekat dengan kesehariannya. Sederhana namun memiliki sentuhan yang sangat personal. Itu sebuah kekuatan,” ujar Ewith.
Bagi Ewith, beberapa puisi Ayu Yulia sangat jelas menggambarkan sebuah peristiwa yang meninggalkan jejak dalam hidupnya. Oleh karenanya, Ewith mengingatkan, penyair tidak begitu saja menuangkan apa yang dilihat oleh mata. Ada hal-hal yang membutuhkan perenungan dan hasil perenungan atas suatu peristiwa itu dituangkan melalui simbol atau diksi yang memiliki ragam tafsir.
“Berbicara tentang ketelanjangan dalam puisi Ayu Yulia, bisa dimaknai sebagai ketelanjangan sepasang kekasih yang tengah bercinta. Namun jika dikemas lebih dalam, ketelanjangan itu bisa memberi tafsir berbeda, misal metafora kesendirian, atau sebentuk kejujuran hamba pada penciptanya. Telanjang artinya tanpa topeng, tanpa ada kepentingan atau unsur tersembunyi. Dengan demikian puisinya akan memiliki makna lebih mendalam,” terang Ewit yang juga penyair dengan sederet prestasi.
Sementara Sofyan, yang juga menjadi editor buku tersebut, mengungkapkan bahwa 56 puisi yang terhimpun dalam Rindu Beriak di Sungai Siak merupakan puisi pilihan.
“Puisi-puisinya bagus. Saya bangga (sebagai editornya). Ada progres, perkembangan, dalam karya Ibu Ayu dibanding buku-buku sebelumnya,” kata Sofyan.
Diakui Sofyan, puisi Ayu Yulia memang sederhana. Namun kesederhanaanya menjadi tidak sederhana karena Ayu mampu menghadrikan simbol dalam puisinya.
Sofyan menekankan, ada dua mahzab besar tentang menulis puisi yang berkembang sampai hari ini. Pertama, menulis hanya berdasarkan bakat alam, yakni menulis mengikuti suasana hatinya sehingga seperti orang kesurupan.
Kedua, menulis berdasar intelektual. “Jadi puisi dibuat menggunakan teknik, serupa tukang membuat meja atau kursi. Ada yang menyebut sebagai pengrajin puisi,” kata Sofyan.
Mazhab pertama diamini Robert Prost di mana puisi-puisi yang memposisikan “aku” sebagai diri penyair sebagai puisi yang baik. Sementara di seberangnya ada TS Elliot yang mengatakan puisi adalah cara lari dari kepribadian. Artinya “aku” dalam puisi versi Eliot, bisa apa saja.
“Menurut Eliot, “aku” dalam puisi adalah suara yang lain. Saya sedikit setuju dengan pendapat TS Eliot,” kata Sofyan.
Namun demikian, Sofyan menyerahkan pada setiap penyair untuk memilih cara ucap mana yang paling cocok. “Mana yang cocok sama kita itulah yang kita pilih. Saya berharap Ibu Ayu mencoba menulis puisi secara teknik untuk memperkaya karyanya,” tutup Sofyan.