Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno. Foto: PojokTIM

PojokTIM – Perhelatan bertajuk Pertemuan Penyair Nusantara ke-13 (PPN XIII)  di Jakarta bukan sekadar agenda ataupun mata acara, melainkan koreografi yang mengingatkan kita bahwa kota ini dibangun oleh persekutuan antara seni pertunjukan, literasi, ruang publik, dan kearifan bahasa. Sebab di Jakarta, puisi selalu punya bangku kosong untuk siapa pun yang ingin duduk.

“Kita berkumpul di sini bukan sekadar demi sebuah perhelatan, tapi juga untuk memperbarui janji, bahwa Jakarta selamanya akan menjadi kota yang bersedia mendengar, kota yang sanggup menampung perbedaan, kota yang sudi menjadi rumah bagi siapa saja yang datang membawa niat baik sambil membacakan bait-bait puisi,” ujar Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno dalam orasi budaya pada PPN XIII di Teater Kecil kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Jumat (12/9/2025) malam.

Hadir pada kesempatan itu Kepala Dinas Kebudayaan Jakarta Mochamad Miftahulloh Tamary, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta Nasruddin Djoko Surjono, Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal, Ketua Panitia PPN XIII Ahmadun Yosi Herfanda, dan para penyair dari berbagai daerah dan luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand.

Rano Karno menekankan, Jakarta tidak pernah selesai menulis dirinya. Setiap pagi kota ini membuka halaman baru yang diinterupsi oleh bising klakson, digarisbawahi oleh kumandang azan dan lonceng gereja, serta diwarnai puluhan atau mungkin ratusan bahasa yang saling melintas. Maka, wajar jika Jakarta bisa memamerkan seluruh kamus negeri ini sekaligus menulis kamus tentang kebhinnekaan. Di sinilah, gerbang kebudayaan berdiri. Sebuah gerbang yang tidak menanyakan asal-usul, melainkan menawarkan sapaan selamat datang untuk semua yang bertandang.

“Saya berdiri di sini bukan hanya sebagai wakil gubernur, melainkan sebagai anak Betawi asal Gang Kepu, Kemayoran, yang pernah dititipkan sebuah cerita,” tutur pemeran Si Doel dalam sinetron populer Si Doel Anak Sekolah.

Puluhan tahun silam, kata Rano, sebuah buku mengalir menjadi film, dan dari film itu tumbuh sinetron yang meminjam wajah kampung, nada bicara khas seorang ibu, beserta impian anak-anaknya.

“Si Doel mengajari saya bahwa sastra bisa menyuapi televisi dengan nasi hangat, dan televisi bisa mengembalikan uapnya ke ruang tamu warga. Dialek Betawi yang dulu disangka sempit, ternyata sanggup berjalan jauh melewati tembok. Kesenian menembus batas suku dan etnik, bukan karena ia tak punya identitas, melainkan karena identitasnya ialah keramahtamahan,” urai mantan Gubernur Banten itu.

Ketua Dewan Pengarah PPN XIII Imam Ma’arif. Foto PojokTIM 

Sebelumnya, Ketua Pengarah PPN XIII Imam Ma’rif mengatakan, kehadiran Wakil Gubernur pada acara tersebut merupakan kehormatan bagi para penyair sekaligus berkah untuk perkembangan sastra di Asia Tenggara. Imam melaporkan bahwa pelaksanaan PPN XIII dilaksanakan di 4 tempagt yakni PKJ TIM, Perpusatkaan Nasional, Badanb Bahasa dan Monumen Nasional (Monas).

“PPN XIII diikuti 128 peserta dan 70 orang peninjau dari dalam dan luar negeri. Mereka hadir dengan biaya sendiri,’ ujar Imam.

Selain orasi budaya, hari kedua pelaksanaan PPN XIII juga diisi dengan diskusi, Kampoeng Sastra, dan pembacaan serta musikalisasi puisi oleh Sanggar Matahari. Beberapa penyair yang tampil antara lain Illiza Sa’aduddin Djamal (Aceh), Awwabin Helmi (Thailand), Isbedi Stiawan ZS (Lampung), dan lain-lain.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini