PojokTIM – Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) terus bergerak melakukan kegiatan untuk menghidupkan kesenian di Jakarta. Setelah menggelar road show pembacaan puisi di 6 wilayah di DKI Jakarta, TISI kembali membuat gebrakan dengan menerbitkan dan meluncurkan 2 buku antologi puisi di PDS HB Jassin, komplek Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Minggu (28/9/2025).
Buku pertama berjudul Republik Puitik berisi karya 87 penyair yang berusia di atas 50 tahun. Buku ini dimaksudkan sebagai kado ulang tahun ke-80 tahun Republik Indonesia. Sedang buku kedua yang berjudul Manifesto berisi karya 59 penyair se-Jabodetabek.
“Ide dasar lahirnya (antologi) Republik Puitik adalah adanya keinginan untuk memetakan angkatan-angkatan penyair di Indonesia. Dulu HB Jassin berhasil memetakan angkatan penyair sampai Angkatan 66. Setelah itu lahir Angkatan 70 dan 80. Namun kemudian terputus. Lalu di mana posisi penyair tahun 2000 sampai sekarang?” tanya Ketua TISI M Octavianus Masheka ketika membuka acara launching buku antologi tersebut.
Hadir dalam kesempatan itu sejumlah penyair ternama seperti Sutardji Calzoum Bachri, Aspar Paturusi, Jose Rizal Manua, Imam Ma’arif, Halimah Munawir, Heryus Saputro Samhudi, Adri Darmadji Woko, Nestor Rico Tambun, Mustari Irawan, Humam S. Chudori, Wardjito Soeharso, Armen S Untung, Alex R. Nainggolan, Nurhadi Maulana Saibin, Ewith Bahar, Rissa Churria, Atik Bintoro, Guntoro Sulung, Wawan Hamzah Arpan, Wig SM, dan ratusan penyair lainnya dari berbagai daerah dengan pewara Swary Utami Dewi.
Selain pembacaan puisi, acara peluncuran buku juga diisi dengan diskusi yang dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama yang membahas buku Republik Puitik menghadirkan Isbedy Stiawan ZS dan Sofyan RH Zaid sebagai pembicara. Sementara Maman S Mahayana dan Ahmadun Yosi Herfanda menjadi pembahas buku Manifesto. Kedua diskusi itu dipandu penyair Nanang R Supriyatin.
Menurut Octa, pertanyaan tentang angkatan yang menggelitik itu pernah didiskusikan dengan beberapa orang namun tidak menemukan jawaban. Dari situ kemudian muncul ide untuk menerbitkan buku Republik Puitik.
“Harapan saya, Republik Puitik dapat menjadi pemantik diskusi yang lebih besar. Mudah-mudahan tahun depan Dewan Kesenian Jakarta tergerak hatinya untuk meneruskan tradisi itu supaya keberadaan penyair-penyair saat ini dapat terpetakan sebagaimana penyair angkatan-angkatan sebelumnya,” harapnya.
Tidak Oke-oke Saja
Isbedy yang tampil sebagai pembicara pertama mengungkapkan, makalahnya ditulis jauh sebelum terjadinya peristiwa yang kini dikenal sebagai Agustus Membara. Saat itu, Isbedy menduga Republik Puitik adalah soal menjaga kedaulatan negara. Terlebih waktunya bersamaan dengan perayaan HUT RI.
“Tetapi karena buku ini diluncurkan pasca demo besar-besaran di akhir Agustus, saya melihat Republik Puitik secara berbeda. Karena ternyata, mengutip ucapan seorang demonstran, negara kita tidak sedang oke-oke saja,” cetus Isbedy.
Penyair berjuluk Paus Sastra Lampung itu melihat saat ini negara telah merebut narasi-narasi estetika dan penyair masih tertatih membangun estetika baru. Simbol-simbol untuk menutupi ketidakadilan dan kesalahan memimpin, diurai dengan cara prosaik, termasuk menggunakan metafora.
“Republik Puitik seakan telah terjangkit sampai ke pemangku kekuasaan. Bahasa simbolisasi, metafora, diksi-diksi yang rasanya imajinatif sekali, yang biasanya digunakan sastrawan telah dipakai pula oleh pemimpin bangsa ini. Sayangnya untuk tujuan yang tidak semestinya,” ujarnya.
Isbedy juga mengapresiasi 87 penyair yang berpartisipasi dalam antologi Republik Puitik. “Eksistensi mereka dalam dunia kepenyairan Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Sepak terjangnya sudah terbukti,” tegas Isbedy.
Sementara Sofyan berpendapat, Republik Puitik menjadi penting dalam konteks keindonesiaan hari ini. “Setidak-tidaknya dapat kita baca sebagai penanda 80 tahun Indonesia merdeka secara angka, menyiratkan kejujuran yang pahit di tengah narasi penguasa yang manis sekaligus menyalakan obor haraoan di tengah gelapnya kenyataan,” urainya.
Kehadiran buku Republik Puitik, bagi Sofyan, setidaknya berdimensi tiga hal. Pertama, ngalab (mencari) berkah dari para penyair senior yang puisinya dimuat dalam buku tersebut. Kedua, ngaji pada puisi-puisi mereka perihal perjumpaan puitiknya dengan Indonesia.
“Sehingga saya mengerti apa yang pernah ditulis oleh Sutardji bahwa tak setiap penyair mampu mengongkretkan pengalaman puitiknya menjadi puisi yang berhasil,” kata Sofyan.
Ketiga, punya kesempatan bertemu guna merayakan kebersamaan yang kian terpisah. “Sambil terus membayangkan Indonesia menjadi republik yang puitik pada akhirnya,” tutup Sofyan.