Atik Bintoro (berpeci) menerima doorprize dari Ketua TISI pada acara peluncuran buku puisi Republik Puitik dan Manifesto.

PojokTIM –  Bagi para ilmuwan, sastra menjadi ruang untuk menyembunyikan gagasan dan ide-ide yang dianggap mendahului zaman. Di samping “takut” ditertawakan, alasan lain adalah agar idenya tidak diambil orang lain. Setidaknya itu berlaku bagi Prof Ir Atik Bintoro, MT, APU.

“Lewat puisi saya bisa membayangkan masa depan yang tidak bisa digambarkan saat ini,” ujar Atik Bintoro, periset pada Pusat Riset Teknologi Penerbangan BRIN, Rumpin, Bogor, Jawa Barat, usai mengikuti acara peluncuran buku antologi puisi Republik Puitik dan Manifesto yang diterbitkan Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) di PDS HB Jassin, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Minggu (28/9/2025) lalu.

Pak Atek, sapaan akrabnya, menyertakan 2 puisi berjudul Patung Dirgantara yang berkisah tentang cita-cta Ir Soekarno untuk menguasai dirgantara Indonesia, serta Berawal dari Pati yang menuturkan awal mula terjadinya demonstrasi besar-besaran yang berujung kerusuhan di berbagai daerah. Seperti diketahui, demo berawal dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dipicu oleh kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara dratis disertai sikap Bupati Sudewo yang dinilai arogan dalam menghadapi protes masyarakat.

Pak Atek sudah menulis puisi sejak SMP dan terus dilakukan sampai hari ini. Meski demikian, sekolahnya justru di bidang teknologi, baik di Universitas Brawijaya maupun Universitas Indonesia. Ia meyakini antara puisi dan teknologi bisa selaras. Menurutnya, ilmuwan zaman dulu, jago-jago menulis puisi seperti Rene Descates dan Isaac Newton.

“Itu dua sisi yang saling menguatkan. Saya insinyur yang tugasnya merancang masa depan, dan puisi meyakinkan,” tegasnya.

Pak Atek termasuk rajin menulis puisi. Buku puisi pertamanya berjudul Mengapa Harus Puisi. Dan di tahun 2025 ini, sudah menerbitkan 3 buku puisi tunggal yakni Sembunyi di Balik Puisi, lalu yang kedua Sinergi 123 Sajak Berbalas Puisi.

“Isi buku pertama adalah bagaimana puisi menjadi wadah untuk menyembunyi ide dan gagasan,” katanya.

Dicontohkan puisi tentang reaktor bulan. Dalam puisi itu dijelaskan bagaimana bidang nuklir dan kedirgantaraan, khususnya drone, digabung untuk menciptakan reaktor bulan yang dapat menggantikan peran bulan saat tidak sedang purnama. “Jika dalam kondisi gelap, tidak purnama, reaktor bulan bisa dinyalakan. Setiap kecamatan akan terang terus selama tidak mengganggu. Istilahnya purnama sepanjang tahun. Itu salah satu cita-cita saya yang disembunyikan lewat puisi.”

Buku ketiga, Roket Bersarung Menjelajah Dirgantara, sangat ilmiah. Dijelaskan, jika menerbangkan roket dalam kecepatan tinggi, muncul sonic boom. Jika bisa tembus maka roket sudah melebihi 1 mach (satuan kecepatan suara di mana 1 mach ekuivalen 342 meter per detik).

“Itu kondisi kritis. Roket kita semuanya bisa tembus itu,” terang Pak Atek sambil mengatakan puisinya banyak terinspirasi dari pengalamannya mendesain roket.

Ditanya apakah sering menghadiri acara-acara sastra, Pak Atek menjawab diplomatis, “Penyair ada 2 macam, penyair profesional dan penyair untuk diri sendiri. Saya termasuk penyair untuk diri sendiri,” katanya sambil tertawa.

Pak Atek berharap, Indonesia tidak melupakan teknologi dan puisi. Meskipun, andai teknologi roket dan antariksa negara lain sudah mencapai 100 dan Indonesia baru 1, tidak masalah. Yang penting sudah dimulai.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini