PojokTIM – Sastra menjadi standar hidup-matinya suatu masyarakat karena pada zamannya sastra merupakan instrumen yang melembutkan hati seseorang. Oleh karena seseorang yang sudah tidak bergetar hatinya oleh bunga-bunga yang mekar, suara musik, serta keindahan untaian kata puisi, menurut Imam Gozali, perlu diperiksa jiwanya.

Demikian dikatakan Direktur Kebudayaan Universitas Indonesia (UI) Ngatawi Al-Zastrouw, ketika membuka Semaan Puisi dan Haul Sastrawan 2025, di Makara Art Center, Selasa (26/10/2025) malam. “Mungkin hatinya sudah mengeras dan membatu,” lanjutnya.

Ditambahkan Al-Zastrouw, saat ini media sosial dan dunia politik, cenderung mematikan rasa. Maka ada baiknya  kita menyisakan sedikit ruang dalam hati untuk kembali mengungkap, menghidupkan dan merevitalisasi tasawuf sebagai alat untuk membasuh jiwa yang terluka, menghidupkan kembali batin yang terkoyak.

“Malam ini kita mencoba menghidupkan batin, jiwa dan  nurani melalui sastra. Barangkali peristiwa pertemuan dengan seniman dan budayawan merupakan momentum dalam upaya merevitalisasi batin, membersihkan dan membasuh jiwa kita. yang sudah tercemar dan terkotori oleh sampah-sampah peradaban,” harap Al-Zastrouw.

Selain para mahasiswa dan staf pengajar UI, pelajar dari sejumlah sekolah dan pesantren, haul untuk 12 sastrawan yakni —Hamzah Fansuri, Chairil Anwar, WS Rendra, Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, Ajip Rosidi, Sutan Takdir Alisjahbana, HB Jassin, Sanusi Pane, Rivai Apin, dan Asrul Sani, juga dihadiri  oleh Mutiara Sani, istri almarhum Asrul Sani. Galibnya haul, sebelumnya juga sempat diadakan pembacaan tahlil oleh sejumlah santri di atas panggung.

Acara semakin intens dengan pembacaan puisi oleh sastrawan-sastrawan kondang seperti Taufiq Ismail, Jose Rizal Manua, Acep Zamzam Noor, A Slamet Widodo, dan Sihar Ramses Simatupang. Juga penampilan Devie bersama Sanggar Matahari, Sinta Debetu & Ario Srengenge, dan lainnya

Sampah Peradaban

Al-Zastrouw berulangkali menekankan buruknya sampah peradaban dari dunia Barat maupun Timur Tengah yang menutup pancaran hati nurani.

“Kita mencoba membersihkan sampah-sampah itu dengan puisi dan sastra, maka acara ini diberi nama Haul Sastrawan. Makna haul sendiri adalah mengambil inspirasi dan menghidupkan kembali spirit dari orang-orang yang pernah berjasa dan memberikan inspirasi kepada kita. Tujuannya supaya jasa-jasanya bisa berpijar kembali sehingga menginspirasi kita bersama,” tegasnya.

Al-Zastrouw juga mengajak komunitas sastra untuk turut menghidupkan Makara Art Center. Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan adalah menggelar forum sastra.

“Mas Mahwi (Mahwi Air Tawa, founder Semaan Puisi dan Ada Kopi) sudah menghidupkan melalui Semaan Puisi dengan melibatkan anak-anak muda. Di Makara juga ada Majelis Nyala Purnama, juga kegiatannya menggali, mengembangkan sastra untuk musikalisasi, dibaca dan diapresiasi. Tujuannya cuma satu, menghidupkan sastra sebagai instrumen penting dan efektif mengasah rasa yang selama ini barangkali sudah mulai beku dan hilang,” pungkas Al-Zastrouw.

Setelah pembacaan puisi oleh Taufiq Ismail, yang membacakan 2 puisi karyanya berjudul Mimbar dan Kita Harus Menang, acara dilanjutkan dengan orasi kebudayaan oleh Jamal D Rahman yang bertitik tumpu pada kiprah Asrul Sani.

“Bagi Asrul Sani, Gelanggang Seniman Merdeka bukan sekadar komunitas seniman. Ia adalah ruang batin dan intelektual tempat generasi muda Indonesia pasca-kemerdekaan merumuskan ulang makna kebudayaan,” ujar mantan Pemimpin Redaksi Redaktur Majalah Sastra Horison itu.

Jamal, yang juga pernah menjadi Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta, menyebut Gelanggang adalah tempat Asrul menyuarakan bahwa menjadi Indonesia berarti menjadi manusia dunia yang berakar, merdeka, dan berjiwa. Di sana, seni bukan hanya bentuk ekspresi, melainkan cara berpikir dan bertanggung jawab terhadap kemanusiaan.

“Dalam perdebatan dan pencarian gagasan, Asrul menemukan bahwa kebudayaan tidak lahir dari doktrin atau ideologi, melainkan dari keberanian menatap diri sendiri dan zamannya. Gelanggang Seniman Merdeka baginya adalah laboratorium kesadaran di mana cita-cita kemerdekaan diuji bukan oleh politik, melainkan oleh kejujuran seni dan kedalaman nurani,” ujar Jamal dengan lantang.

Sebelumnya, di tempat yang sama juga digelar acara bedah buku Menggali Api Pancasila karya Ngatawi Al-Zastrouw dengan panelis Dekan Fakultas Ilmu Budaya UI Bondan Kanumoyoso dan peneliti dari BRIN, Darmawati Majid.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini