Kemeriahan Festival Senen 2025; dari Musikalisasi Puisi Pelajar hingga Bazar Buku Murah

PojokTIM – Taman Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) di sebelah selatan gedung Gelanggang Remaja di bilangan Senen Jakarta Pusat, yang biasanya sepi mendadak meriah. Sebuah panggung besar ukuran 6×8 meter berdiri megah. Sejumlah seniman dan sastrawan terkenal, hingga pejabat daerah, dan pelajar memenuhinya mulai pukul 13.00 WIB, Sabtu (29/11/2025), untuk mengikuti Festival Senen 2025 yang digelar komunitas Sajak Pusat.

Acara dibuka dengan penampilan grup Gambang Kromong binaan Suku Dinas Kebudayaan (Sudinbud) Jakarta Pusat. Setelah itu acara berlanjut dengan Fragmen Puisi Senen oleh Nurhadi eMSa yang melibatkan anak-anak PAUD, pembacaan puisi oleh penyair nasional dan unjuk kebolehan grup musikalisasi puisi dari SMAN 77 Jakarta, SMAN 67 Jakarta, SMAN 30 Jakarta dan SMA Kartini Jakarta.

“Festival Senen 2025 menggelar lomba cipta puisi tingkat SMA sederajat di mana setelah dikurasi, karya terpilih dibukukan dalam antologi puisi berjudul Melihat Jakarta dari Jendela Kelas,” ujar Nanang R Supriyatin, yang menjadi kurator lomba tersebut bersama IRZI.

Selain itu, demikian Nanang, panitia juga menerbitkan antologi puisi berjudul Senen: Dulu, Kini dan Nanti yang diikuti peserta dari berbagai daerah, serta bazar buku murah yang diselenggarakan di Lapangan Tekad Merdeka selama dua hari yakni Sabtu dan Minggu, 29-30 November 2025. Bazar diikuti 10 komunitas dan penerbit yakni PojokTIM, Jagat Sastra Milenia (JSM), Balai Pustaka, Rumah Baca Ceria (RBC), Komunitas Literasi Betawi (KLB), Satarupa, Republik WC Umum, Kedsu Sketsa, Kosakata dan Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI).

“Festival Senen 2025 adalah tonggak awal dari perjalanan panjang. Kami berharap kegiatan ini dapat berlangsung setiap tahun,” kata penyair yang baru saja mendapat penghargaan 40 tahun berkarya dari Badan Bahasa.

Seniman dan penyair yang hadir dalam Festival Senen 2025 di antaranya Kurnia Effendi, Imam Ma’arif, Riri Satria, Octavianus Masheka, Ni Made Sri Andani, Julia Basri, Diana Prima Resmana, Marlin Dinamikanto, Abimanyu, Giyanto Subagio, Ipoer Wangsa, Nuyang Jaimee, Humam S Chudori, Yuki Sastradireja, Wig SM, Herman Syahara, Ahmadun Y Herfanda, Dyah Kencono Puspito Dewi, Mustofa Ismail, Rintis Mulya, Mogan Pasaribu, Fanny J Poyk dan Nunung El Niel dan Rissa Churria yang menjadi MC bersama Inung Nurjanah.

Kasi Pemanfaatan Sudinbud Jakarta Pusat memukul gong tanda dibukanya Festival Senen 2025. Foto: dokpanitia

Sementara dari kalangan pejabat, hadir Wakil Camat Senen, Kasi Pembinaan dan Kasi Pemanfaatan Sudin Kebudayaan Jakarta Pusat, serta sejumlah pejabat dari UPT Gelanggang Remaja Jakarta Pusat.

“Kegiatan seperti ini (Festival Senen, red) harus bisa digelar rutin setiap tahun. Kami siap membantu para seniman mengadakan kegiatan secara rutin,” kata Wakil Camat Senen Raffi Andri.

Saat membuka acara, Kasi Pemanfaatan Sudin Kebudayaan Jakarta Pusat, Sumiyem mengatakan pihaknya memiliki komitemn untuk menghidupkan kegiatan kesenian, khususnya sastra, di Jakarta Pusat.

Wakil camat Senen Raffi Andri memberikan sambutan pada acara Festival Senen 2025. Foto: dokpanitia

Mengembalikan Kejayaan Masa Lalu

Dalam sambutannya, Ketua Panitia Yon Bayu Wahyono menerangkan, kawasan Senen tidak bisa dilepaskan dari perjalanan kesenian, khususnya sastra, tanah air.  Banyak penyair dan prosais besar yang lahir dan berproses dari sebelum hingga masa-masa awal kemerdekaan. Sebut saja Chairil Anwar, Sobron Aidit, SM Ardan, Usmar Ismail, Ajip Rosidi, dan HB Jassin. Mereka berkelindan dengan para politikus yang tengah mencari bentuk ideal bagi negara yang baru diproklamasikan. Bahu-membahu sesuai kapasitas masing-masing.

Dalam catatan Misbach Yusa Biran, masa kejayaan Senen sebagai episentrum kesenian tanah air redup setelah era demokrasi terpimpin dan kuatnya tarik-menarik politik. Sebagai seniman yang enggan terlibat dalam perdebatan-perdebatan politik praktis, memilih menepi. Pasca geger G30S/PKI, kawasan Senen benar-benar ditinggal oleh seniman.

“Terlebih pada 10 November 1968, Gubernur Jakarta Ali Sadikin meresmikan Taman Ismail Marzuki (TIM) dan mendirikan sejumlah gelangganag remaja yang menjadi pusat-pusat kesenian baru, misalnya Bulungan,” terang Yon Bayu.

Geliat seni yang dulu membara pun terperangkap dalam ruang-ruang sempit, tertutup sorot gemerlap ekonomi kota, lengkap dengan dunia malamnya yang tak pernah tidur. Para seniman dari luar kawasan tak lagi melihat Senen sebagai poros kebudayaan. Yang tersisa hanya satu benang tipis: pasar buku murah—tempat buku bekas, bajakan, hingga stensilan hidup berdampingan, menjadi oase kecil bagi para pencari ilmu.

Nurhadi eMSa bersama siswa PAUD dalam Fragmen Puisi Senen. Foto: dokpanitia

Upaya menghidupkan kesenian di Senen terus dilakukan, termasuk setelah reformasi 1998. Lampion Sastra pada tahun 2008 menjadi nyala pertama, menghadirkan tokoh-tokoh besar seperti Deddy Mizwar hingga Harmoko. Di tahun yang sama, Komunitas Planet Senen (KoP’S) menggelar pembacaan dan musikalisasi puisi Chairil Anwar di Gelanggang Planet Senen.

Sampai saat ini, masih ada beberap kegiatan sastra di kawasan Senen, namun sifatnya sporadis, tidak terjadwal, apalagi menjadi agenda tahunan. Hal itulah yang menjadi semangat para seniman dan sastrawan membentuk Sajak Pusat, komunitas Sastra Jakarta Pusat— menggelar Festival Senen 2025 dengan tema Senen: Dulu, Kini dan Nanti.

“Sebenarnya kami ingin melakukan napak tilas ke beberapa titik bersejarah di kawasan Senen. Seperti kita ketahui, Senen memiliki banyak tempat bersejarah di bidang sastra yang dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata. Namun kegiatan tersebut terpaksa kami batalkan karena keterbatasan anggaran,” kata Yon Bayu.

Salah satu penampilan musikalisasi puisi pelajar. Foto: dokpanitia

Menurutnya, Festival Senen 2025 hanyalah langkah kecil—tetes dari arus panjang yang ingin ia kerjakan. Ia berharap ke depan, Festival Senen dapat menjadi agenda tahunan yang dinantikan—ikon seni dan budaya Jakarta Pusat, dan Jakarta secara lebih luas.

“Semoga Festival Senen mampu menarik kembali para pengunjung dari berbagai daerah, seperti masa ketika Senen adalah jantung yang berdegup untuk seni, sastra, dan kebebasan berkarya,” tutup Yon Bayu.

Bagikan ke Media Sosial

Pos terkait