Remon Agus dari Penerbit Bestari menyerahkan buku A Tribute to Pipiet Senja kepada perwakilan keluarga didampingi Nuyang Jaimee. Foto: PojokTIM
PojokTIM – A Tribute to Pipiet Senja merupakan sebentuk kado dari para teman-teman yang tergabung dalam komunitas Penyair Seksih. Pipiet Senja rajin memberi motivasi kepada para sahabat untuk terus berkarya sehingga layak disebut sebagai tokoh literasi yang menginspirasi dan menjadi teladan bagi penulis muda.
Demikian dikatakan Ketua Pelaksana A Tribute to Pipiet Senja, Nuyang Jaimee, di aula PDS HB Jassin, kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Minggu )7/12/2025). Hadir dalam kesempatan itu sejumlah sastrawan dan penyair senior seperti Adri Darmadji Woko, Noorca M Massardi bersama istrinya Rayni N Massardi, Sastri Bakry, Aryani Isnamurti, Stefan Danerek, serta Hasyim Yakub dari Malaysia. Acara juga diisi dengan diskusi yang menghadirkan tiga narasumber yakni Free Haerty, Kurniawan Junaedhie dan Fanny J Poyk.
“Sejak lahir Pipiet Senja hidup berdampingan dengan penyakit thalassemia, sebuah kondisi genetik yang menuntut perawatan seumur hidup. Melalui karya-karyanya, beliau tidak hanya menulis tentang kehidupan, namun juga menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan, spiritualitas, empati, keberanian, dan keteguhan hati perempuan yang menginspirasi. Menggambarkan bagaimana kata bisa menjadi sarana perlawanan, penghiburan sekaligus terapi penyembuhan,” lanjut Nuyang.
Pipiet meninggalkan karya-karya yang terus hidup. Warisannya tidak hanya buku, tetapi juga jiwa-jiwa yang pernah disentuh, didampingi dan dikuatkan. “Semangat, dedikasi dan nilai yang beliau wariskan akan terus menyala dan menjadi inspirasi yang menuntun generasi penulis setelahnya, serta menjadi bagian penting dalam perjalanan literasi Indonesia,” kata Nuyang, yang juga Ketua Cakra Budaya Indonesia.
Dalam buku A Tribute to Pipiet Senja: Jejak Inspirasi dan Warisan Sastra yang diterbitkan oleh Cakra Budaya Indonesia dan Penerbit Bestari Buana Murni dan dilaunching pada acara tersebut, sang putri, Zhizhi Siregar menulis sisi lain yang mungkin belum banyak diketahui dari seorang Pipiet Senja.
“Hidupnya penuh dengan perjuangan, Ingin rasanya aku lihat dia merasakan indahnya dunia. Tiga puluh dua tahun dia bertahan di pernikahan penuh kekerasan, sampai giginya pun sudah hancur di usia 40-an tahun,” tulis Zhizhi.
Di bagian lain Zhizhi yang dipanggil Butet oleh ibunya, menulis, suatu ketika Pipiet baru keluar dari ruang operasi dan menyeka air matanya sambil berkata, “Ngga boleh cengeng begitu, Butet harus kuat”. Zhizhi pun merasa yang sakit yang justru menguatkan.
“Ia menamaiku AdzimattinurBenteng Cahaya, ketika justru ialah benteng cahaya di hidupku,” tutur Zhizhi.
Ada 100 kontributor, di luar Zhizhi, yang turut memberikan catatan, kenangan, apresiasi, kesaksian hingga ungkapan mendalam tentang Pipiet Senja melalui puisi yang terhimpun dalam buku setebal 296 halaman.
Pipiet Senja dikenal sebagai novelis yang sangat produktif. Bukan hanya roman, Pipiet yang terlahir dengan nama Etty Hadiwati Arief pada 16 Mei 1956, juga menulis cerita anak hingga buku yang bertutur tentang pengalamannya sebagai penyintas thalassemia. Atas dedikasinya, Pipiet memperoleh penghargaan “50 Tahun Berkarya” dari Badan Bahasa Indonesia pada tahun 2024.
Pipiet meninggal dunia di Depok, Jawa Barat pada Senin pukul 21.07 WIB dan dikebumikan di TPU Cikutra Bandung. Pipiet meninggalkan dua anak Haekal Siregar dan Adzimattinur Siregar, serta lima cucu.
“Bagi saya, Teh Pipiet adalah inspirasi, kekuatan, kesetiaan, keteguhan dan kasih sayang yanag tiada habisnya,” ujar Remon Agus dari Penerbit Bestari yang telah banyak menerbitkan buku-buku Pipiet Senja.





