Sengkewe, kunikahen ko orom kuyu
(Sengkewe, kunikahkan kau dengan angin)
Waih walimu, tanoh saksimu,
(Air walimu, tanah saksimu)
Matanio saksi qalammu
(Matahari saksi kalammu)
PojokTIM – Tetua suku Gayo mewariskan ilmu pengetahuan melalui bait-bait sastra lisan yang terdengar serupa mantra. Salah satunya, pengetahuan tentang menanam kopi dalam “mantra” Sengkewe di atas. Menurut Fikar W Eda, sastrawan asal tanah Gayo, mantra Sengkewe bertutur tentang proses menanam kopi. Sengkewe sendiri berarti kopi.
“Jika dijadikan bahan pembelajaran di sekolah, bisa menjadi beberapa semester. Oleh karenanya, tetua Gayo memilih menyampaikannya dalam bentuk sastra lisan sehingga mudah dan cepat dipahami oleh anak keturunannya,” ujar Fikar saat menjadi pembicara dalam acara Peluncuran dan Diskusi Antologi Puisi Sengkewe di aula PDS HB Jassin, kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Minggu (14/9/2025).
Acara yang dihadiri ratusan muda-mudi Gayo itu juga mengundang sastrawan Helvy Tiana Rosa dan Win Gemade dengan moderator Asmira Dieni serta dimeriahkan oleh pertunjukan puisi oleh Forum Beru Gayo, Teater Kosong Satoe dan Sanggar Seni Nurul Yaqin.
Menurut Fikar, tema perempuan dalam buku puisi Sengkewe bukan asal comot. Sebab realitanya, perempuan Gayo memegang peranan penting dalam proses pembuatan kopi. Sejak buah kopi dipetik, diproses hingga diseduh menjadi secangkir kopi yang nikmat, semua dikerjakan oleh perempuan. Laki-laki hanya bekerja di awal yakni saat pembukaan ladang, memilih bibit, menanam dan merawat.
“Bukan hanya dalam puisi, fakta di lapangan dalam hal mengolah kopi, perempuan Gayo sangat dominan. Perempuan Gayo mulai turun ke ladang setelah kopi berbuah sampai panen. Perempuan Gayo ke ladang sambil gendong anak dan berdendang. Mereka memetik, menjemur, menggongseng (roasting), menumbuk hingga menjadi bubuk, lalu menyeduhnya untuk suami atau tamu yang berkunjung ke rumahnya,” terang Fikar
Dari segi ekonomi, demikian Fikar, kopi memegang peranan penting di mana 98 persen perekonomian masyarakat Gayo tergantung pada kopi. Di tanah Gayo yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, serta sebagian Aceh Timur dan Aceh Tamiang terdapat 106 ribu hektar kebun kopi yang didominasi jenis Arabika, terluas di Asia Tenggara.
“Setiap keluarga Gayo mempunyai kebun kopi, meski sudah menyandang profesi lain seperti guru, bahkan bupati. Sebab kopi juga bagian dari identitas masyarakat Gayo,” ujar jurnalis senior itu.
Bagi orang Gayo , kopi bukan sekedar gaya hidup, namun juga untuk memuliakan. “Ketika akan menikahkan anak, saya minta izin ke reje – kepala kampung, dan minta prosesi itu ditangani oleh kampung. Waktu berkunjung ke kepala kampung saya bawa termos berisi kopi. Namun saya belum bisa menyampaikan maksud dan tujuan kunjungan sebelum reje bersedia meminum kopi yang saya bawa,” terang Fikar.
Kopi juga menjadi minuman kehormatan bagi tamu yang datang ke tanah Gayo. Tuan rumah akan langsung menyuguhkan kopi, tanpa menawarkan minuman lain semisal teh. “Dan si tamu wajib minum kopi itu sebagai bentuk penghormatan juga kepada tuan rumah,” tutup Fikar.
Win Gemade mengamini pernyataan Fikar, di mana perempuan Gayo cukup dominan dalam urusan domestik. “(Kerja) yang keras-keras bagian laki-laki, tapi dompet dipegang perempuan,” kata Win dengan lugas.
Pada kesempatan itu Win juga menyampaikan keresahannya tentang Bahasa Gayo yang terancam punah. Menurutnya, di Aceh ada 10 bahasa daerah, tetapi anak muda Aceh, termasuk Gayo, mulai suka menggunakan istilah asing.
“Dari hasil penelitian, Bahasa Gayo terancam punah. Oleh karenanya, saat ini sedang dilakukan revitalisasi bahasa melalui puisi, di mana saya termasuk di dalamnya. Mudah-mudahan Bahasa Gayo bisa tetap lestari sampai kapan pun,” harapnya.
Penerbitan antologi puisi Sengkewe dalam 3 bahasa yakni Gayo, Indonesia dan Inggris, menurut Devie Matahari – founder Forum Beru Gayo, adalah juga bagian dari upaya menyelamatkan Bahasa Gayo.
“Kita terus menyala dan tak pernah padam dalam upaya melestarikan dan mengangkat budaya Gayo ke pentas yang lebih terhormat,” kata Devie sambil menambahkan Sengkewe adalah buku kedua yang diterbitkan Forum Beru Gayo atas dukungan penuh Desember Kopi Gayo.

Identitas Gayo
Helvy Taiana Rosa yang tampil sebagai pembicara pertama, mengungkapkan tema Sengkewe yang ditulis oleh 18 perempuan Gayo, bukan sekedar simbol budaya tapi benar-benar dekat dengan kehidupan masyarakat Gayo.
“Kopi dalam buku Sengkewe hadir bukan hanya sebagai minuman, tetapi juga identitas, sejarah, doa dan bahkan tubuh perempuan,” ujar dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Helvy memuji para penyair yang mampu menyajikan perspektif tentang perempuan secara lebih luas. Tidak hanya sebagai pekerja kopi, melainkan ibu dari segala musim seperti dalam puisi karya Asmira Dieni: perempuan Gayo menimang, merawat dan berdendang untuk kopi laksana merawat anak.
“Ini feminisme lokal yang subtil (lembut) dan berwibawa,” tegas Helvy yang telah menulis puluhan buku.
Helvy memuji keberanian para penyair perempuan Gayo yang menggunakan kopi sebagai metafora kritik akan penderitaan sosial-ekonomi, bukan sekedar menghadirkan kenikmatan.
“Dari tema perempuan, kopi hadir menjadi apa saja, termasuk kenangan cinta dan waktu seperti yang dalam karya Anita Permata Sari. Kopi menjadi medium spiritual: pahit-manis hidup,” ujarnya.
Menurut Helvy, buku Sengkewe menonjol pada diksi konkret seperti bau kopi, kabut, alu dan jemari, serta menghadirkan simbol konsisten yakni cangkir, hujan, tanah, rahim dan musim.
“Gaya penulisan dalam Sengkewe terbagi menjadi 2 yakni liris dan retoris,” kata Ketua Bidang Sastra Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) itu.
Sebelum diskusi, Asmira mengajak peserta meneriakkan yel-yel penyemangat khas Gayo.
“Ahoooi..!” seru Asmira yang langsung disahut, “uiiii” oleh peserta diskusi.





