PojokTIM – Gerimis turun sejak siang, menipis dan memanjang hingga memasuki sore. Langit Jakarta tampak seperti halaman buku tua yang warnanya mulai luntur. Dari kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jumat (5/12/2025) kami berangkat dalam keheningan yang tak direncanakan. Tidak ada percakapan berarti, hanya tarikan napas panjang dan deru motor yang melaju sempoyongan seolah berpacu dengan titik gerimis yang mulai turun.
Tujuan kami hanya satu: Rumah Sakit Premier Jatinegara, tempat Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia, tengah dirawat dalam kondisi yang membuat banyak orang mencemaskan. Menurut informasi awal, Bang Tardji menderita demam berdarah dengue (DBD). Namun setelah menjalani serangkaian pemeriksaan lanjutan, tim medis menemukan adanya beberapa masalah kesehatan lain yang ikut memperberat kondisinya.
“Awalnya gejala DBD, tapi setelah pemeriksaan secara menyeluruh, ditemukan pula beberapa gangguan lain, antara lain pada hernia dan prostat serta gangguan lambung,” tulis Ewith Bahar di akun Facebook.
Di usia 79 tahun, kombinasi penyakit seperti itu bukan perkara ringan. Salah satu perawat yang bertugas di lantai lima mengatakan bahwa kondisi vital Bang Tardji perlu dipantau ketat. “(Kondisi) beliau naik-turun, tapi responsnya masih bagus,” katanya.
Ruang perawatan yang ia tempati tampak redup. Hanya suara mesin pemantau detak jantung dan hembusan ventilator ruangan yang terdengar. Tubuhnya terbaring tenang, ditutupi selimut biru yang tampak terlalu luas untuk tubuh yang kini merapuh.
Sosok Penting
Bang Tardji adalah salah satu poros penting sastra Indonesia. Melalui gagasan pembebasan kata, ia mengacak-acak pakem puisi modern dan membuka ruang baru bagi generasi penyair setelahnya. Kata, baginya, tidak selalu harus menanggung makna; ia bisa berdiri sendiri, menjadi energi yang murni.
Melihat lelaki yang gagasannya mengguncang peta sastra Indonesia itu kini terbaring dalam sunyi, ada sesuatu yang terasa menggetarkan. Bukan semata kesedihan, tetapi kesadaran bahwa waktu akhirnya menyentuh semua orang, termasuk mereka yang pernah menciptakan api di dalam kata.
Di ruang perawatannya Kelas 2 (sungguh kami ingin protes!), kami mendekat dengan langkah hati-hati. Bang Tardji membuka mata perlahan ketika mendengar suara-suara kami. Ada cahaya redup, tapi masih ada kehangatan yang sama seperti dulu kala ketika ia membaca “O” atau merapal mantra-mantranya di panggung.
Beliau mengenali kami. Senyum tipis muncul, nyaris tak terlihat, tetapi cukup untuk membuat dada bergetar. “Bagaimana TIM?” suaranya lirih, patah-patah, namun tetap membawa nada yang khas—nada yang dulu memecah ruang-ruang baca puisi.
Tidak ada jawaban panjang dari kami karena kami tahu ia perlu istirahat. Kadang sikap paling jujur terhadap seorang penyair adalah memberikan sunyi.

Lorong Waktu
Kunjungan itu tidak berlangsung lama, tapi meninggalkan kesan mendalam. Dalam diam yang menyelimuti ruang perawatan, kami seperti mendengar gema masa lalu: pembacaan puisi Bang Tardji di Gedung Teatar Besar, di Graha Bhakti Budaya, atau diskusi panjangnya di PDS Hb Jassin, serta gelak tawa yang selalu muncul saat ia bercerita tentang perjalanan kepenyairannya seraya menyeru sepanggal lagu kesukaannya.
Malam mulai turun ketika kami meninggalkan rumah sakit. Gerimis masih merintik, tetapi lebih tipis, seperti hendak berhenti. Jalanan Matraman yang kami lalui tampak samar di balik kabut rendah. Tulisan ini mungkin hanya menangkap sedikit dari keseluruhan kondisi, tapi satu hal jelas, Bang Tardji masih berjuang. Para sahabat, keluarga, dan komunitas sastra mengawal hari-harinya dengan doa, kunjungan, dan dukungan yang pelan tetapi terus-menerus.
Ada kesunyian yang mengitari keseharian di kamar 504 itu, tetapi kesunyian yang bukan tanda menyerah—melainkan jeda. Jeda sebelum kondisi membaik. Jeda sebelum kata-kata kembali mengalir dari laki-laki yang sepanjang hidupnya membebaskannya.
Di luar rumah sakit, lampu-lampu jalan mulai menyala. Kota Jakarta bergerak seperti biasa. Namun bagi kami yang baru saja menjenguk, malam itu terasa berbeda. Seakan seluruh kota ikut menahan napas, menunggu penyair besar itu bangun dan berkata: kata belum selesai!
Ah, lekas sembuh, Bang. Jangan terlalu lama tidurkan kata!





