PojokTIM – Aula Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Lantai 14 Gedung Ali Sadikin kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) Cikini, Jakarta Pusat, mendadak ramai. Puluhan perempuan berbaju adat, didominasi pakaian Baduy, asyik berkisah tentang perjalanan ke daerah-daerah yang masih melestarikan dan menerapkan hidup sesuai filosofi, adat istiadat dan tradisi leluhur.
Tidak tampak wajah-wajah lelah meski mereka datang dari berbagai daerah seperti Riau, Lampung, Bandung, dan lain-lain. Keceriaan mereka baru benar-benar pudar saat sesi Bincang Buku antologi puisi Ajari Aku Baduy yang ditulis oleh anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), dibuka oleh Devie Matahari.
“Ajari Aku Baduy adalah buku keempat PPI. Buku ini menjadi spesial karena sebelumnya para penulisnya berinteraksi secara langsung dengan orang-orang Baduy (luar) di Kampung Kanekes, Leuwidamar, Banten. Hal itu bagian dari program PPI yang bertajuk pulang ke kampung tradisi,” ujar Ketua PPI Kunni Masrohanti, Minggu (10/10/2024).
Menurut Kunni, yang juga seorang jurnalis, dengan melakukan interaksi langsung, para penyair bisa mendapatkan gambaran secara utuh tentang obyek yang hendak dijadikan puisi. Bukan hanya yang tampak oleh mata, namun juga yang dirasakan.
“Sama-sama menulis tentang Alis, gadis Baduy yang kami temui, tetapi cara penyampaian dan pesan yang terkandung dalam puisi kami berbeda-beda, Saya merasa trenyuh dengan masa depannya, sementara ada anggota PPI yang menyoroti bibirnya yang bergincu, atau perhiasan emas yang dikenakan. Jadi, membaca buku Ajari Aku Baduy adalah membaca perasaan dan perspektif 15 penyair perempuan terhadap obyek yang sama yakni kampung Baduy dan keseharian orang-orangnya,” terang Kunni yang berasal dari Riau.
Antropologi Seni
Kembali ke kampung tradisi yang dilakukan anggota PPI, menurut penyair Fikar W Eda adalah bagian dari kegiatan antropologi budaya yang menitikberatkan pada kesenian.Oleh karenanya Fikar yang didapuk sebagai pemantik diskusi, membedah isi buku Ajari Aku Baduy secara runut dan rinci dari sisi antropologi seni.
Fikar W Eda saat mengulas puisi-puisi dalam buku antologi Ajari Aku Baduy. Foto: Ist
“Dalam puisi berjudul Seba Baduy yang ditulis Jauza Imani, kita merasakan upacara Seba sebagai tradisi yang kaya dengan nilai kesetiaan, kesederhanaan dan penghormatan terhadap alam dan pemimpin,” terang Fikar.
Sebagai pengajar antropologi budaya, pembahasan Fikar menukik lebih jauh pada simbolisme yang masih dipakai dalam upacara-upacara adat maupun kesehariannya.
“Ketulusan diwujudkan dalam bentuk fisik (tanpa sepatu) menandakan keselarasan antara identitas budaya dan ekspresi fisik. Langkah kakinya bukan sekedar gerak tetapi sebuah “tanda” yang mengkomunikasikan kesetiaan pada tradisi, menunjukkan betapa nilai-nilai budaya meresap dalam tubuh dan tindakan masyarakat Baduy. Demikian pula halnya dengan menanam padi. Bukan sebatas kegiatan agraris tetapi ritual yang penuh nilai spiritual,” terang Fikar.
Sementara Kurnia Effendi yang menjadi pemantik pertama dalam diskusi yang dipandu Rini Intama, menguliti 80-an puisi dalam antologi Ajari Aku Baduy dari segi bahasa. KEF, demikian sapaan akrab penulis novel Pangeran Dari Timur itu, mengapresiasi penggunaan arkais sebagai diksi puisi yang mengangkat tema kampung tradisi.
Namun demikian, KEF juga mengingatkan agar penyair tidak terlalu “liar” dalam memperluas pengertian kata. “Ada satu ungkapan yang mungkin perlu diperbaiki: “bening seperti kain putih”. Memang air putih juga istilah umum untuk air bening tak bewarna, tetapi ada baiknya tidak diperluas ke benda yang lain,” ujar KEF ketika membedah puisi Asmariah. .
Demikian juga soal EYD. Menurut KEF, masih banyak penyair yang tidak disiplin dalam penggunaan tanda baca. Padahal, penyair yang baik adalah yang menguasai aturan berbahasa tulisan (teks), misalnya awalan dan kata depan, penggunaan huruf kapital, dll.
Acara yang dihadiri Ketua Simpul Seni DKJ Imam Ma’arif, Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri, dan para penggiat kesenian, ditutup dengan pembacaan puisi oleh anggota PPI.