PojokTIM– Jika hanya melihat penampilannya di atas panggung, banyak yang mungkin mengira Devie Komala Syahni adalah sosok yang serius dan penuh wibawa. Namun di balik panggung, sosok yang lebih dikenal dengan nama Devie Matahari ini justru ramah, hangat, dan sangat cair dalam pergaulan. Tak heran bila hampir semua seniman yang berkegiatan di lingkungan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) mengenal dirinya.
“Kami baru pulang dari Aceh,” ujar Devie, didampingi sang suami penyair sekaligus mantan anggota Komite Sastra DKJ, Fikar W Eda saat ditemui PojokTIM di kawasan Cikini.
Di Aceh, mereka tak sekadar melancong. Dari “berkebun puisi” hingga menelusuri jejak peradaban Gayo, semua dilakoni Devie dengan penuh gairah.
“Bagi saya, berkarya bisa dilakukan di mana saja. Pasar, kebun, bahkan pinggir jalan sekalipun. Yang penting totalitas,” ujarnya. Ia mencontohkan aksi kelompok Rangkaian Bunga Kopi, komunitas seni yang digagas sang suami. “Mereka pernah tampil di pasar sambil membawa cello besar. Itu bukan gimmick tapi wujud keseriusan berkarya tanpa membatasi tempat,” tambahnya.
Dalam perbincangan hangat bersama PojokTIM di pusat kuliner Gedung Trisno Soemardjo, Devie berbagi banyak cerita: mulai dari perjalanan kesenian di Aceh, kiprah Sanggar Matahari, hingga keterlibatannya dalam seni pertunjukan inklusif bersama anak-anak difabel. Tidak berlebihan pendapat yang mengatakan, jika seni adalah kebun, maka Devie Matahari telah menanam, menyiram, dan merawatnya dengan cinta dan kerja keras hingga tumbuh subur dalam berbagai rupa, dari Jakarta hingga Gayo, dari panggung teater hingga ladang kopi.
Berikut petikan lengkap PojokTIM dengan Devie Matahari yanag dilakukan dalam berbagai kesempatan.
Bagaimana perkembangan kegiatan kesenian di Aceh?
Terkhusus di Takengon dan Bener Meriah, masih terus tumbuh dan berproses. Banyak perkembangan yang membanggakan. Terlebih banyaknya anak anak muda yang meneruskan belajar/kuliah di jurusan seni. Juga dengan adanya kampus ISBI di Jantho, semakin banyak anak anak Gayo menekuni seni secara akademis.
Salah satunya juga melalui kegiatan Desember Kopi Gayo, acara tahunan yang dirintis Bang Fikar sejak 2016. Kegiatan ini menggabungkan perayaan panen kopi dengan seni budaya. Kami mengundang lebih dari 300 penyair dan seniman dari seluruh Indonesia, dan responnya luar biasa.
Apa yang membuat Desember Kopi istimewa?
Karena ini bukan sekadar ajang baca puisi. Peserta kami ajak mengenal kopi secara utuh dari menanam, memilih biji, memetik, sampai menyaksikan proses penggilingan kopi di pabrik tua yang masih orisinal. Kami juga menggelar Dialog Kopi serta pertunjukan budaya dengan tema Kopi, melibatkan masyarakat dan anak anak muda pegiat seni dan sastra Gayo. Kegiatan Desember Kopi juga harus berdampak bagi masyarakat Gayo, seperti halnya setelah selesai Dialog Kopi yang dihadiri para petani kopi se Aceh Tengah, dengan narasumber dari Kementerian Pertanian serta Bekraf (2016) menjadi awal komunikasi yang baik dan menyambungkan banyak pihak untuk kolaborasi kedepannya.
Pada tahun 2021, tepatnya bulan Januari lahirlah Forum Beru Gayo, komunitas perempuan menulis yang saya gagas dan dirikan bersama teman-teman penulis dan pegiat seni Gayo.
Forum ini sudah menerbitkan antologi puisi. Tahun ini, kami akan meluncurkan buku berjudul Sengkewe, menyusul antologi sebelumnya, Subang, yang terinspirasi dari penemuan perhiasan kuno (subang/anting) di Gua Mendale, Takengon temuan arkeolog Ketut Wiradnyana yang menyingkap jejak peradaban Gayo prasejarah.
Penulis buku kami beragam: dari pelajar, petani, ibu rumah tangga, mahasiswa, guru dan seniman. Prosesnya inklusif, tanpa kurasi ketat dan pembinaan karena tujuannya adalah membangun keberanian menulis dan membagikan pengalaman perempuan Gayo melalui puisi.
Bisa ceritakan perjalanan Sanggar Matahari?
Sanggar Matahari didirikan oleh Papa saya, H. Fredie Arsi, pada 5 Oktober 1980 di Otista, Jakarta Timur. Tahun ini, genap berusia 45 tahun. Sejak kecil kami dididik Papa untuk tak hanya menjadi pemain, tapi juga mampu memproduksi pertunjukan: dari menulis naskah, menyutradarai, mengatur teknis, hingga memegang kabel. Kami diajari bahwa seniman bukan “tuan” yang ditonton, tapi bagian dari tim sama pentingnya dengan kru lainnya.
Papa bahkan pernah menghidupi keluarga dari pertunjukan di klub malam. Ia menggabungkan teater dengan tarian erotis agar tetap menarik secara komersial, namun tetap menyisipkan ruang bermain bagi aktor-aktor sanggar.
Kami tumbuh bersama keberagaman. Anggota Sanggar Matahari berasal dari berbagai latar, termasuk eks-narapidana. Rumah kami menjadi markas anak teater. Karena sempit, Papa sempat membantu pekerjaan adiknya seorang kontraktor yang sukses, sehingga kami bisa menempati rumah berisi 12 kamar di Sampur Tanjung Priok. Lantai bawah jadi kantor dan markas teater, atasnya tempat tinggal keluarga.
Kehidupan kami sederhana. Pernah, karena tidak punya uang, mama hanya bisa masak nasi goreng tanpa kecap. Tapi Papa mengajak kami menutup mata, dan membayangkan ada ayam bakar dan sambal kecap di piring kami. Kami makan dengan lahap, karena imajinasi Papa yang luar biasa. Nilai-nilai itu yang selalu saya pegang.
Sejak kapan Anda memimpin Sanggar Matahari?
Kami enam bersaudara. Sepeninggal Papa tahun 2011, tidak ada yang langsung mengklaim sebagai pemimpin. Tapi sejak wafatnya Bang Ane (Andre S. Putra) pada 2016, saya mulai memegang tanggung jawab program sanggar.
Bang Dedies berperan sebagai konseptor. Dia gudangnya ide. Tapi soal menjalin jejaring, presentasi program, dan eksekusi kegiatan, saya yang jalankan. Saya membangun ulang jaringan yang dulu dirintis Papa dan Bang Ane, walau tantangannya tentu berbeda. Banyak jaringan lama yang sudah putus karena perubahan zaman, posisi, dan relasi. Tapi kami terus bergerak.
Apa strategi Anda membangun jaringan baru?
Beberapa jaringan lama kami rawat, seperti kerja sama dengan PDS HB Jassin yang saya anggap sebagai rumah sendiri. Ketika tak ada ruang latihan, almarhum Mas Endo mengizinkan kami pakai ruang terbuka di PDS (lantai atas), bahkan memberi kami kunci. Sekarang pun kami masih difasilitasi, tentunya dengan kebijakan baru yang berlaku.
Kami juga menggelar workshop musikalisasi puisi se-Jabodetabek, bekerjasama dengan sekolah, perpustakaan, hingga media lokal seperti Radar Pena Bogor. Anak-anak sanggar yang kini sudah jadi guru pun ikut menyebarkan semangat berkesenian ini.
Bagaimana awal mula Sanggar Matahari melibatkan anak-anak difabel?
Sejak dulu Papa sudah peduli pada teman-teman difabel. Bahkan dulu, ada anak difabel yang tinggal bersama kami di sanggar. Perjalanan ini dilanjutkan Bang Ane,
ia pernah membina 40 anak jalanan dan difabel di Bekasi, dan menggelar pertunjukan orkestra dengan nama unik: Suku Kulit Muka Berminyak.
Kini, kami terus melibatkan sahabat-sahabat difabel, seperti Pao, dalam pentas musikalisasi dan drama musikal. Kami tekankan: mereka bukan tempelan. Mereka adalah bintang utama. Konsep kami diapresiasi Komite Teater DKJ karena memberikan ruang ekspresi yang utuh dan manusiawi.
Apa tantangan dalam membina anak difabel?
Kesensitifan mereka berbeda-beda. Contoh kecil: dalam grup WhatsApp, beberapa hanya bisa merespons lewat voice note. Jadi kami harus peka dan belajar menyesuaikan. Prinsip kami: bukan mereka yang menjadi seperti kita, tapi kita yang berusaha menjadi seperti mereka.
Dan jangan salah, kreativitas mereka luar biasa. Anak-anak autis misalnya, memiliki daya ingat yang menakjubkan.
Sumber: Facebook Devie Matahari
Apa rencana besar Sanggar Matahari tahun ini?
26 Juli 2025, kami membuat kegiatan “Membaca Museum” Anak Anak Matahari di Museum Kebaharian, kegiatan ini akan terus berlanjut dan merupakan ruang belajar serta pentas bagi regenerasi Sanggar Matahari. Selain itu, kami sedang menyiapkan pertunjukan Konser Bunyi Nusantara, sekaligus merayakan 45 tahun Sanggar Matahari. Kami ingin mengundang seluruh keluarga besar sanggar dari berbagai provinsi, termasuk komunitas difabel. Harapannya, bisa digelar di TIM atau Gedung Kesenian Jakarta.
Kami juga akan meluncurkan buku biografi Matahari, yang sempat tertunda 4 tahun. Sebagian besar narasumbernya sudah wafat, jadi kami harus bolak-balik ke Aceh, Medan, dan Binjai mencari jejaknya.
Bagaimana Anda menilai kondisi TIM pasca-revitalisasi?
Banyak perubahan dari segi pembangunan, terasa berjarak dan tak hangat. Penghuninya kurang “guyub”.
Tanggapan Anda soal kebijakan ruang seni di TIM?
Masih prihatin dengan harga sewa yang mahal. Dulu, saya jadi ingat saat nyaris batal pentas di GBB karena biaya, Papa minta bantuan Mas Willy (WS Rendra). Beliau turun tangan dan kami bisa pentas.
Tapi Mas Willy sudah tiada. Kami berharap ke depan, ada kebijakan yang adil dan konsisten, bukan tergantung siapa yang dikenal atau diminta tolong. Kelompok seni yang sudah puluhan tahun berkarya mestinya diberi kemudahan,diberi jatah tempat pertunjukan minimal 2 kali dalam setahun.
Pesan untuk generasi muda seniman?
Pertama, jangan cepat puas. Jangan habiskan energi untuk hal-hal remeh. Nikmati prosesnya dan terus belajar. Temukan “gaya” sendiri dalam berkarya.
Kedua, luaskan pergaulan. Berjejaring . Jangan eksklusif dalam kelompok sendiri. Bawa karya ke tengah masyarakat.
Ketiga, totalitas. Kalau mau baca puisi, pahami puisinya. Latih intonasi, temukan “gong” dalam bait-baitnya. Seperti memasak takaran bumbu harus pas agar rasanya sempurna.
Percayalah, dengan jalan kesenian yang ditempuh secara konsisten.