PojokTIM– Banyak karya sastra berangkat dari hasil penelitian penulisnya sehingga dikenal dengan istilah fakta yang difiksikan. Kondisi demikian biasanya terjadi di negara-negara yang membelenggu kebebasan warga negaranya, termasuk di Indonesia di bawah rezim Orde Baru. Di masa itu, kebebasan informasi dibatasi sehingga fakta sensitif disampaikan melalui karya sastra.
Demikian dikatakan Lukman Hakim dalam bincang santai di Ruang Sastra Isbedy Stiawan ZS (ISZS), Permata Asri Karang Anyar Jati Agung Lampung Selatan, Rabu (18/9/2024) malam.
Acara yang diikuti anggota Komunitas Penulis Muda Lampung (KMPL) ini juga dihadiri esais cum jurnalis Endri Y Kalianda, jurnalis Kompas TV Roma, founder KMPL Anggi Farhan Saputra.
Dalam diskusi yang dipandu Fitri Angraini ini, Lukman memulai bincangnya dengan kisah semasa siswa MAN 1 Bandar Lampung. Kala itu, sebagai pelajar dan anak kos di Sukarame, untuk menemani kesepian adalah membaca.
“Saya baca apa saja, termasuk buku-buku sastra,” kata Lukman Hakim yang lahir di Lampung Timur. Saat itu, suasana di Sukarame sangat sepi. “Jadi tiap malam hanya hiburannya ialah membaca buku (pelajaran dan sastra),” lanjut alumni UGM Yogyakarta itu.
Lukman mengenal karya-karya sastra dari pengarang Korrie Layun Rampan, Kuntowijoyo, Danarto, Isbedy Stiawan ZS, dan lain-lain.
Menurut Lukman, ketika sejarah suatu negeri diberangus maka percayakan sejarah itu pada karya sastra. Lukman merujuk pada Rusia yang kembali ke sastra sebab negara itu nyaris kehilangan sejarah.
Menyinggung karya sastra yang mengangkat dari fakta, ia menekankan penting pula dilakukan penelitian sebelum ditulis. “Penulis dalam menulis sesuatu, penting didahului dengan penelitian (riset) terhadap persoalan yang akan ditulis,” tegas Lukman.
Dia mencontohkan karya-karya fiksi (cerpen) yang ditulis Seno, dari sekian banyak fakta yang diperoleh maka Seno bisa memilih mana yang dapat memilih untuk dijadikan fiksi. “Fakta-fakta ia kemas sedemikian rupa sehingga terkesan fiktif atau tak nyata,” ungkap Lukman.
Karya-karya sastra yang betolak dari fakta, menurut dia, banyak terjadi pada karya sastra yang lahir di era Orde Baru.
“Karya-karya sastra yang terlahir di rezim Orba, adalah fakta yang difiksikan. Seno Gumira Ajidarma, misalnya, dalam buku Saksi Mata adalah fakta yang difiksikan. Fakta yang terjadi di Dili, Timor Timur (kini Timor Leste), ia kemas menjadi fiksi,” jelas Lukman.
Kala itu, lanjut Lukman, Seno yang menjadi pemimpin redaksi Jakarta Jakarta harus berurusan dengan keamanan karena menurunkan pergolakan sesungguhnya di Dili. Bahkan Seno dikenakan wajib lapor oleh aparat keamanan.
Ketika tidak mungkin lagi mengungkap fakta melalui karya jurnalistik, maka Seno mengolah peristiwa di Dili menjadi karya fiksi. Dalam ‘kredo” di bukunya ia tulis: “Jika pers dibungkam, sastra yang bicara”.
“Ini menunjukkan bahwa karya sastra sangat kuat untuk bicara atau menceritakan ketimpangan maupun ketidakadilan,” tegas Lukman.
Pada kesempatan itu, Isbedy Stiawan ZS juga menambahkan, cerpen “Morak” yang dimuat Merdeka Minggu juga terinspirasi dari fakta yang terjadi pada masa Orde Baru, yakni penembakan misterius (petrus) untuk membuat efek jera para penjahat.
“Cerpen itu lahir dari fakta yang saya fiksikan, soal petrus kala itu,” jelas sastrawan Lampung itu.
Isbedy juga menyebut beberapa karyanya – puisi ataupun cerpen – yang terinspirasi dari fakta, sejarah, maupun budaya. Ketika lahir sebagai karya sastra, sudah bersosok fiksi. Bukan lagi dilihat sebagai fakta.
Fitri Angraini menggaris bawahi bahwa peran sastra sangat penting bagi perubahan. “Seperti dikatakan mantan Presiden AS John F Kennedy, jika politik bengkok maka puisi (sastra) meluruskan,” ujar pembina KPML ini.