PojokTIMUrip mung sak dermo nglakoni. Ungkapan dalam Bahasa Jawa itu mungkin tepat untuk menggambarkan perjalanan kreatif Guntoro Sulung baik di teater maupun film. Ya, manusia sekedar menjalani kehidupan ini karena Tuhan telah mengatur segalanya.

“Saya tidak pernah bercita-cita menjadi sutradara, atau terlibat dalam produksi teater. Prosesnya mengalir begitu saja,” cetus Guntoro Sulung, mengawali pembicaraan panjang dengan PojokTIM, Jumat (14/6/2024).

Tidak terhitung lagi film yang pernah ditangani Guntoro Sulung, baik saat menjadi penata kamera maupun sutradara. Kiamat Sudah Dekat 3 (SCTV, 2007), Rinduku Cintaku (SCTV, 2008), Rindu Satpam Kita (TVRI, 2015) adalah beberapa sinetron serial yang disutradarai. Kepiawaiannya di belakang layar dibuktikan dengan beberapa kali masuk nominasi seperti penata kamera terpuji pada Festival Film Bandung (20025 dan 2006) dan videografi terbaik Festival Film Indonesia (2005).

Selain sinetron TV, Guntoro Sulung juga menyutradarai film layar lebar seperti Ayu Anak Titipan Surga (2015) dan Bumipati (2021) produksi Rumah Sinema Watulumbung.

Sore merambat menuju gelap. Suasana di kantin Gedung Trisno Soemardjo semakin ramai. Peserta Pangung Maestro di Teater Wahyu Sihombing berbaur dengan pengisi acara dan penonton Pekan Sastra Jakarta yang dihelat Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) DKI Jakarta di Gedung Ali Sadikin, kawasan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM).

Di sela-sela keriuhan itu, Guntoro Sulung membagikan kisah di balik capaian-capaian kreatifnya yang sangat inspiratif. Berikut rangkumannya.

Anda sebenarnya orang teater atau film?

Aku harus ceritakan dari awal mengapa akhirnya dikenal sebagai orang teater,sekaligus sutradara film. Sesuatu yang awalnya sama sekali tidak terpikirkan. Ayahku menghendaki aku jadi pilot, atau masuk AKABRI. Maklum, aku kan dari keluarga militer. Kebetulan saat itu ada jalur ke sana.

Aku kemudian melanjutkan sekolah di Akademi Penerbangan Curug (Akademi Penerbangan Indonesia berubah menjadi Pendidikan Latihan Penerbangan pada tahun 1978, dan tahun 2000 kembali berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia, red). Aku ambil (jurusan) engineering, namun tidak sampai selesai. Setelah itu pindah-pindah sekolah. Pernah juga kursus  jurnalistik dan public relation di balai Wartawan di daerah Gunung Sahari (Jakarta Pusat). Bareng Jhony Ness dan Herling Tumbel.

Saat itu aku mulai main ke TIM, nonton banyak pementasan teater, tari, puisi sampai pameran seni rupa. Aku kenal dengan Korrie (Korrie Layun Rampan) dan Nanang (Nanang R. Supriyatin) dan mulai ikut-ikutan belajar nulis puisi. Sering juga menjadi juara lomba baca puisi dan cerpen, termasuk menjadi Juara 2 lomba baca puisi Satu Abad Chairil Anwar tahun 2022,  .

Tetapi semakin banyak yang dibaca, aku malah takut nulis puisi. Akhirnya aku belajar teater kepada banyak guru, Aku main ke rumah WS Rendra, ikut diskusi teater di tempat Teguh Karya. termasuk belajar kepada Jose Rizal Manua. Dia guru teaterku.

Tapi aku bukan orang Bengkel Teater, bukan anggota Teater Populer, atau Teater Tanah Air. Aku dekat dengan mereka sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Pada saat itu aku juga menjadi anggota Kine Club sehingga bisa nonton film-film yang tidak ada di bioskop. Kadang ikut nonton juga di beberapa kedutaan besar.

Wawasan dan pengalamanku pun bertambah selama nongkrong di TIM. Aku bisa belajar semuanya. Bagiku, TIM ini laboratorium. Atau kalau dalam bahasanya Putu Wijaya, TIM ibarat akademi liar, kampus terbuka. Siapa pun bisa belajar apa pun di TIM. Tergantung diri kita mau belajar apa. Meski sebenarnya saat itu aku juga belum tahu mau jadi apa.

Selama proses belajar itu, tentu butuh biaya hidup. Apakah masih disubsidi orang tua atau sudah bisa menghasilkan uang sendiri?

Ya, waktu itu aku tidak berani pulang, karena kuliah berantakan. Jadi aku harus cari penghasilan, minimal untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Entah dari mana idenya, aku bikin TTS (Teka Teki Silang) untuk beberapa media, terutama Suara Karya dan Pos Kota. Aku belajar sendiri cara bikin TTS yang rumit agar tidak mudah dijawab oleh penggemar TTS. Jadi aku hidup dari honor membuat TTS.

Selain itu kadang aku juga menjadi caddy golf. Kebetulan rumah orang tua tepat di samping lapangan golf Halim Perdanakusuma.

Mengapa akhirnya memilih ke teater?

Waktu itu aku membayangkan, betapa hebat dan bangganya bisa main teater. Tetapi secara batin belum ke sana. Aku masih dalam tahap mempelajari semua hal, termasuk ikut mendirikan teater untuk mengikuti festival di IKIP. Jadi saat itu, mahasiswa semester 6 diwajibkan ujian akting, tapi harus melibatkan orang luar. Jadi aku diminta oleh beberapa mahasiswa IKP untuk menjadi sutradara. Aku kemudian bikin grup teater dengan anggota mahasiswa-mahasiswa IKIP. Di festival itu, teaterku memborong piala, memang di semua kategori. Mungkin karena hal itu, tahun berikutnya mahasiswa IKIP tidak boleh lagi mengajak orang luar. Jadi aku tinggalkan teater IKIP

Kebetulan saat itu aku diajak oleh Eddy Effendi yang saat itu masih kuliah di IAIN Ciputat, sekarang UIN, untuk menjadi sutradara Teater Ampera. Pemainnya kebanyakan teman-teman dari IAIN, dan sekarang sudah banyak yang menjadi orang hebat.

Hal apa yang paling mengesankan dalam proses belajar dan pencarian jati diri itu?

Aku pernah dinasehati oleh Teguh Karya, bahwa kesenian itu proses, kematangan jiwa. Kamu belajar saja, nanti juga akan ketemu sendiri, kata Teguh Karya. Sejak itu aku tidak punya target apa-apa. Ikut semua kegiatan, dan belajar apa saja.

Sampai kemudian saat sedang membantu membuat dokumentasi pementasan Bengkel Teater, Rendra bilang, kalau mau berteater, harus pinter-pinter cari pendapat dari tempat lain. Tidak cukup hanya mengandalkan penghasilan dari teater. Rendra mencontohkan dirinya yang masih menulis, jadi pembicara di seminar, dan lainnya. Kamu ke film saja, saran Rendra.

Saat itu, aku tidak terlalu menanggapi saran Rendra. Nah, pada tahun 1994, saat ramai-ramainya orang bikin sinetron, ada teman ngajak syuting. Dia tahu aku sering foto-foto untuk dokumentasi pementasan. Jadi aku disuruh bantu-bantu di bagian kamera. Saat itu aku tidak tahu apa-apa tentang kamera film. Jadi aku nurut saja apa yang disuruh. Proses itu aku jalani sekitar setahun sampai aku bisa jadi operator kamera.

Dari situ Anda langsung jadi kameramen?

Tidak. Pada syuting berikutnya saya malah disuruh pegang script, di bawahnya sutradara dan astrada (asisten sutradara). Pada saat syuting di Karawang, prosesnya berjalan sangat lamban. Aku lihat kelemahannya di kameramen. Tapi aku tidak berani bilang. Tiba-tiba astradaku, Usman Gumanti, bilang, lu lebih jago, coba saja. Beberapa pemain pun bilang begitu. Akhirnya sutradaranya nyuruh aku pegang kamera. Setelah aku jadi kameramennya, proses syuting berjalan lancar. Namun aku menolak ketika disuruh menjadi kameramen secara full. Aku bilang harus pakai grupku karena saat itu aku sudah punya grup penata kamera di Jakarta. Sutradaranya setuju sehingga kemudian aku dan anak buahku yang pegang kamera sampai syuting selesai.

Sejak itu aku dikenal sebagai kameramen. Job mengalir deras. Aku pernah menjadi kameramen untuk Hanung (Bramantyo), Deddy Mizwar, Dedi Setiadi, Edward Pesta Sirait, dan lain-lain. Dari situ aku mulai paham kerja sutradara, tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Penata kamera untuk sintron saja atau layar lebar juga?

Aku merambah ke layar lebar ketika Deddy Mizwar syuting Kiamat Sudah Dekat. Saat itu belum zaman digital, masih pakai pita kaset dan prosesnya di Hongkong. Awalnya aku tidak pede. Kalau untuk TV sudah biasa, tapi layar lebar bagiku hal yang baru. Tapi Deddy Mizwar terus meyakinkan bahwa aku bisa. Akhirnyaa aku dibantu Mr Wong, seorang ahli film. Setelah diproses di Hongkong, menurut Mr Wong, hasilnya lumayan bagus.

Kapan mulai menjadi sutradara?

Selesai syuting Kiamat Sudah Dekat, aku kembali ke sinetron. Bekerjasama dengan sutradara-sutradara muda, malah ada yang baru lulus dari IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Saat syuting, saya sering gregetan karena merasa aku lebih mampu dari dia. Tetapi aku tidak boleh bilang begitu karena job desk-ku kamera.

Kesempatan itu akhirnya datang setelah aku bergabung kembali dengan Deddy Mizwar mengarap Kiamat Sudah Dekat menjadi sinetron serial. Kalau tidak salah sampai 40 episode. Kemudian dibikin sekuelnya, Kiamat Sudah Dekat #2 yang disutradarai Dedi Setiadi, Aku masih menjadi penata kamera. Nah, pas sedang menggarap Kiamat Sudah Dekat #3, aku dapat tawaran untuk menyutradari karena butuh penyegaran. Aku pikir memang sudah saatnya aku tampil, jadi aku terima tawaran itu. Aku sutradarai Kiamat Sudah Dekat #3 mulai episode 2 sampai selesai, setelah episode 1 disutradarai Goetheng Ikhu Ahkin.

Apa perbedaan paling dirasakan ketika beralih dari penata kamera ke sutradara?

Jadi sutradara tidak setajir kameramen. Saat menjadi penata kamera, tawaran datang dari mana-mana karena mereka sudah mengenalku. Sementara setelah jadi sutradara, sepi job karena aku orang baru di dunia penyutradaraan. Tapi kemudian aku sadar, pilihan menjadi sutradara sudah tepat. Karena faktor usia, aku tidak akan mampu bertahan sebagai kameramen. Itu juga yang dialami oleh teman-temanku. Akhirnya aku bersyukur karena berani mengambil keputusan yang tepat sehingga sampai sekarang masih eksis sebagai sutradara, meski sebatas layar lebar. Kalau untuk sinetron TV, tidak sanggup lagi. Terlebih setelah terkena serangan jantung. Tidak kuat lagi syuting siang malam seperti dulu, kejar jam tayang, uber-uberan dengan waktu.

Benarkah sutradara diibaratkan raja dalam sebuah produksi film?

Dulu memang begitu. Kata-kata Teguh Karya, Dedi Setiadi dan para sutradara senior benar-benar didengar, bertuah. Semua nurut, termasuk produser. Sekarang, sutradara bisa kalah oleh bintang filmnya. Misalnya dalam sebuah produksi, ada bintang film yang tidak bisa bekerjasama dengan sutradara, maka sutradaranya yang diganti.

Selama menjadi sutradara, film mana yang paling berkesan?

Pada dasarnya semua film berkesan karena memiliki keunikan dan proses pengerjaan yang berbeda-beda. Film Ayu Anak Titipan Surga juga memberikan kesan mendalam karena merupakan obsesiku sejak lama untuk membuat film anak-anak. Ketika dapat tawaran dari Dina Subono, aku langsung menerimanya. Dina kemudian mengenalkan pada produser Bagus Haryanto.

Syuting film Ayu Anak Titipan Surga dilakukan Purwakarta. Ceritanya hampir menggambarkan kondisiku saat kecil, di-bully di lingkungan, dianggap aneh oleh teman-teman. Bagi anak-anak kota, mungkin film itu biasa saja. Tapi di daerah, film itu meledak. Bukan di gedung bioskop, tapi dibuat nobar di sekolah-sekolah.

Bagaimana dengan film terbaru?

Film Bumipati yang diproduksi tahun 2021 juga sangat berkesan. Saat itu sedang pandemi Covid-19. Aku sedang tidak ada job karena untuk syuting membutuhkan perizinan yang sangat ribet. Ada PPKM, di mana semua kegiatan dibatasi, termasuk syuting film. Tiba-tiba aku dapat tawaran dari Boy Rifai di Yogyakarta, untuk membantu Guntur Novaris bikin film. Karena kondisiku benar-benar sudah memprihatinkan, tidak punya uang lagi, tawaran itu langsung aku terima.

Tapi  sampai beberapa lama, tidak ada kelanjutannya. Ketika aku sudah melupakan, Boy telepon lagi, Dia transfer sejumlah uang, dan menyuruh aku berangkat. Tapi tidak boleh bawa kru. Semua peralatan syuting juga sudah disiapkan. Persoalan muncul karena sebelum syuting dimulai, Guntur mundur. Alasannya tidak cocok dengan lokasi dan ceritanya. Ini pengalaman baru karena untuk pertama kalinya aku kerja tanpa kru dari Jakarta.

Itu sebabnya, ketika jadwal syuting ditetapkan 2 hari lagi, aku berniat mundur. Bagaimana bisa kerja sementara aku belum kenal kru dan para pemainnya. Bagaimana aku mengarahkan syuting sementara pemainnya saja bukan bintang film. Ada dosen, mahasiswa, pengacara. Pokoknya bukan orang film, bukan orang teater. Setelah musyawarah, akhirnya aku diberi waktu seminggu untuk mengenal kru dan para pemainnya.

Dari situ aku bisa tahu kekurangan dan kelebihan kru yang disiapkan. Karena tidak mungkin ditunda lagi, akhirnya aku ubah naskahnya, terutama dialog-dialog yang terlalu panjang. Aku sederhanakan sesuai karakter pemain, sampai penulis naskahnya marah-marah.

Hal lain yang tidak tampak adalah perang psikologis dalam diriku. Sebab di Yogya banyak juga sutradara, mengapa harus ambil dari Jakarta. Meski syuting bisa selesai dengan baik, hal-hal itu masih membekas dalam diriku.

Selama 2 bulan syuting, aku juga punya kebiasaan berburu kuliner di malam hari.  Makanannya enak-enak, jadi tidak terkontrol. Mungkin karena itu setelah pulang ke Jakarta, aku terkena GERD. Beberapa waktu kemudian aku juga terkena serang jantung.

Sebagai praktisi film, apa pendapat Anda terkait film Indonesia yang kalah pamor dibanding produksi Hollywood, bahkan Bollywood?

Kuncinya ada pada karakteristik, ciri khas. Film Hollywood punya ciri khas tersendiri sehingga ketika kita melihat posternya saja, sudah tahu itu film Hollywood. Demikian dengan Bollywood. Film-film India, juga Iran, Jepang, dan Korea punya karakteristik. Nah, film Indonesia belum punya karakteristik yang kuat.

Kira-kira apa yang layak ditonjolkan untuk memberi karakteristik atau ciri khas pada film Indonesia?

Salah satunya budaya. Indonesia memiliki kekayaan budaya. Tinggal bagaimana para sineas memberi sentuhan budaya dalam setiap filmnya tanpa membatasi kreatifitas, dan menggurui penonton.

Bagaimana dengan horor?  

Film horor memang sedang digemari penonton kita. Tetapi apakah horor bisa dijadikan identitas film kita? Jika bisa, horor yang mana? Sebab kita punya banyak horor. Ada leak, suanggi, begu ganjang, palasik, genderuwo, dan lain-lain.

Menurutku, di sinilah pentingnya kita, terutama para penggiat film, untuk merumuskan konsep film Indonesia sehingga memiliki ciri khas. Bukan untuk menyeragamkan, namun memberi sentuhan khas. Misalnya, film India selalu ada tarian, film Hollywood mengedepankan kemegahan, Jepang dengan tradisi serta penokohannya yang kuat, dan lain-lain.

Semoga sineas-sineas muda ke depan dapat melahirkan film-film dengan ciri khas tertentu yang diangkat dari kekayaan budaya lokal sehingga film Indonesia memiliki karakteristik yang kuat

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini