PojokTIM – Hawa dingin yang menusuk tulang di aula HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, sedikit terabaikan ketika mendengarkan pemaparan Isadora Fichou tentang puisi-puisi Chairil Anwar yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Perancis. Menurut pakar sastra Indonesia dari Institut National des Langues et Civilisations Orientales (INALCO), Paris, itu, puisi Chairil memiliki kode-kode rahasia, serta keinginan untuk membebaskan diri dari waktu dan kematian.
“Ketika membaca puisi Chairil Anwar untuk pertama kali, saya tersentuh oleh gaya penulisannya yang tajam dan bergelora. Ia melawan sikap pasif dan pemikiran kuno,” terang Isadora saat memaparkan proses penerjemahan puisi Chairil Anwar ke Bahasa Perancis, Minggu (9/2/2025).
Acara bertajuk bedah buku Nous les chiens traques Kita anjing diburu karya Isadora Fichou, juga menghadirkan Danny Susanto, dosen FIB Univversitas Indonesia, Maman S Mahayana, pengamat dan kritikus sastra Indonesia, serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) Riri Satria yang bertindak selaku moderator.
Acara tersebut merupakan hasil kerjasama JSM dengan Yayasan Hari Puisi Indonesia, INALCO, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta, serta PDS HB Jassin, sekaligus acara ketiga bagi JSM dalam upayanya menghadirkan penulis dan sastrawan dunia. Sebelumnya JSM telah menghadirkan Naning Scheid (Belgia) dan Retna Ariastuti (Amerika Serikat). Sebuah upaya yang patut diapresiasi sebagai salah satu cara agar penulis dan karya sastra Indonesia dapat berinteraksi dengan warga dunia.
Simbol Pemberontakan
Dalam menerjemahkan puisi Chairil Anwar, Isadora Fichou tidak membagi berdasarkan klasifikasi sejarah maupun seni, melainkan pendekatan kebebasan artistik dari beberapa kalimat dalam sajak-sajaknya.
“Contohnya, di malam yang hilang batas (dari puisi Orang Berdua), berujuk kembali dengan tujuan biru (Kabar dari Laut), dan darah kami panas selama (Siap Sedia). Dengan menolak aspek kronologis, tujuan saya adalah menyoroti aktualitas karya Chairil Anwar yang masih sangat relevan. Puisi-puisinya dapat digunakan dalam kegiatan-kegiatan seni dan gerakan sosial hari ini,” terang Isadora.
Bukan perlawanannya yang mendorong kita menjadi seniman, tetapi seni yang mendorong kita untuk berjuangan karena seniman adalah saksi kebebasan. Kesadaran akan hal itu, demikian Isadora, sangat dekat dengan proses penciptaan Chairil Anwar dan juga posisinya di tengah masyarakat yang tertindas dan marjinal. Puisi-puisinya menjadi saksi akan kondisi masyarakat saat itu.
“Sajak Aku Berkisar Antara Mereka bisa menyentuh berbagai orang dari berbagai generasi dan tetap relevan dengan kondisi hari ini. Dalam sajak itu, Chairil Anwar melihat penderitaan dari kegelapan kota. Kegelapan kota pada waktu malam bisa menjadi medium untuk mengekpresikan kondisi manusia. Sesuai keinginannya, Chairil Anwar berhasil menjadi saksi sejarah tanpa meninggalkan posisinya sebagai penyair,” papar Isadora.
Lebih jauh Isadora menyebut, sisi lain dari puisi-puisi Chairil Anwar mencerminkan sikap pemberontakan terhadap ketidakadilan, penjajahan, dan otoritarian. Serupa dengan sajak-sajak Jean Nicolas Arthur Rimbaud.
“Chairil Anwar adalah Arthur Rimbaud dari Indonesia. Karya-karya keduanya bertujuan menemukan bentuk bahasa yang baru meski mereka dari generasi berbeda. Mereka memiliki kesadaran yang luas, lebih luas dari negeri mereka. Kesadaran itu muncul dari sejarah gerakan perlawanan terhadap penjajah. Tidak salah jika puisi-puisi Chairil Anwar menjadi warga sastra dunia,” tegas Isadora.
Chairil Anwar juga memiliki kesamaan dengan Albert Camus yang selalu membayangkan dirinya berada di tengah lautan sepi.
Sementara Danny Susanto saat memberikan cacatan kritis terhadap hasil penerjemahan Isadora, menyebut bahwa ada beberapa kata dari puisi Chairil Anwar yang kehilangan greget ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Perancis. Namun hal itu merupakan “kesalahan umum” mengingat banyak kalangan berpendapat sesungguhnya puisi tidak dapat diterjemahkan atau dialihbahasakan.
“Misalnya, kata terbaring dari kami yang kini terbaring dalam puisi Karawang Bekasi. Dalam terjemahan Isadora, terbaring menjadi mati. Memang kondisi terbaring dalam ;puisi itu mati, namun mati yang bermakna, dan ini hanya dipahami dari sudut budaya Indonesia. Demikian juga kata mampus,” ujar Danny.
Warga Sastra Dunia
Maman S Mahayana yang menjadi pembicara pertama menggunakan terjemahan Isadora sebagai bukti sastra Indonesia telah menjadi warga sastra dunia. Demikian juga terjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa selain Inggris, Perancis dan Jerman.
“Tidak banyaknya karya yang diterjemahkan dalam bahasa utama dunia yakni Inggris, Perancis dan Jerman, bukan berarti sastra Indonesia terpencil seperti dikatakan Anton Kurnia, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta,” ujar Kang Maman, sapaan akrabnya.
Sejak dulu, banyak karya sastra Indonesia yang sudah dikenal dan menjadi perdebatan-perdebatan di Belanda, Inggris, hingga Perancis. “Contohnya Hikayat Hang Tuah yang telah menjadi perdebatan di Perancis dan Inggris. Bahkan disebut oleh pemenang Nobel dari India, Rabindranath Tagore,” kata Maman.
Selain diskusi yang berlangsung menarik, meski sedikit terburu-buru sehingga Isadora maupun Danny Susanto meringkas makalah yang dipaparkan, acara dimeriahkan dengan pembacaan puisi dwibahasa, Indonesia-Perancis. Salah satu penyair yang tampil adalah Ahmadun Y Herfanda.