PojokTIM – Sikap represif aparat keamanan dan respon pemerintah terhadap aksi demo yang berujung kerusuhan di berbagai daerah, memantik keprihatinan para seniman. Jika tidak dilakukan perlawanan, bukan mustahil kondisi saat ini akan dijadikan alasan untuk memberlakukan darurat militer dan membatasi kebebasan masyarakat.

“TNI telah masuk ke sejumlah wilayah yang menjadi ranah sipil seperti menjadi pengurus program makan bergisi gratis (MBG), pembentukan batalyon pembangunan, dan lain-lain. Demo yang berujung kerusuhan di berbagai daerah semakin membuka jalan TNI untuk menunjukkan pamornya di hadapan masyarakat. Bahkan Markas Brimob Polri pun dijaga oleh tentara. Jika kondisi saat ini terus berlanjut, bukan mustahil akan digunakan oleh Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan darurat militer,” ujar pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti saat menghadiri acara Seni Lawan Tirani di plasa Teater Besar kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Senin (1/9/2025).

Kegiatan yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKj) sebagai respon atas sikap pemerintah terhadap dinamika dan gejolak yang terjadi saat ini dihadiri ratusan aktivis demokrasi dan seniman seperti Ketua DKJ Bambang Prihadi, novelis Ayu Utami, Kunto Aji, Fatia Maulidiyanti, Melani Budianta, Dianita Kusuma Pertiwi dan lain-lain.

“Presiden bisa menetapkan darurat militer kapan saja dan tidak ada prasyarat untuk itu. Memang saat Presiden Soekarno memberlakukan darurat militer tahun 1957 ada instabilitas politik, tetapi itu tidak lantas menjadi prasyarat (ditetapkan darurat militer),” ujar Bivitri.

Meski demikian, menurut Bibip – panggilan akrab Bivitri Susanti, hal itu tidak boleh mengendurkan kegiatan konstitusional seperti demo untuk menyuarakan protes terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang keliru. Sebab menyuarakan pendapat dengan cara demo merupakan hak konstitusional setiap warga negara.

Bivitri Susanti. Foto: PojokTIM

“Yang perlu diwaspadai adalah masuknya oknum-oknum yang menciptakan kerusuhan dengan menyusup dalam aksi-aksi konstitusonal. Kita sudah punya pengalaman di mana saat kerusuhan di Jakarta tahun 2020), yang bakar halte Transjakarta dari hasil temuan sejumlah media, ternyata juga bukan dari kalangan pendemo,” urai Bibip.

Hal senada disampaikan Melani Budianta. Pakar kajian budaya itu prihantin jika pemerintah melakukan pendekatan keamaman untuk mengatasi aksi unjuk rasa dan kerusuhan yang terjadi saat ini. Terlebih jika kemudian membatasi kebebasan masyarakat, termasuk pers.

“Pers sangat-sangat penting untuk memberikan opini yang netral. Dia harus menjadi kamera yang betul-betul netral dan sehat untuk memotret semua pihak. Kalau pers yang resmi dibungkam, maka yang terjadinya bisingnya media sosial yang kontennya belum tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Jika pun kebebasan saat ini sudah kebablasan, menurut Melani, yang lain bisa melakukan koreksi. “Kebebasan harus kita jaga bersama. Seniman, aktivis, anak muda semua harus punya ruang (berekspresi). Aturannya kita sepakati bersama, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kita katakan. Setelah itu bisa sebebas-bebasnya berbicara,” tegas Melani.

Sementara dalam pernyataan sikpanya, DKJ menyebut tragedi Affan Kurniawan, driver ojek online (ojol) yang meninggal akibat tindakan represif aparat, adalah bukti nyata bahwa kekerasan negara telah merenggut nyawa dan menghancurkan ruang aman bagi warga untuk bersuara. Kehilangan ini bukan hanya duka bagi keluarga, melainkan juga luka bagi seluruh masyarakat dan dunia seni yang memperjuangkan kebebasan.

“DKJ menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya sekaligus menegaskan bahwa tidak boleh ada satu nyawa pun lagi yang dikorbankan dalam perjuangan menegakkan demokrasi,” tulisnya dalam unggahan di akun Instagram DKJ @jakartscouncil

DKJ dengan tegas menyatakan sikap kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat harus dilindungi tanpa syarat sebagai bagian dari hak asasi manusia. DKJ menuntut aparatur negara menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap masyarakat sipil, termasuk terhadap seniman dan pekerja budaya.

DKJ menegaskan bahwa kebebasan berekspresi, berkesenian, dan menyatakan pendapat adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945. Setiap tindakan kekerasan terhadap kebebasan berekspresi adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan merusak ruang hidup seni serta demokrasi di Indonesia.

“Seni adalah ruang yang lahir dari kebebasan. Tanpa kebebasan berekspresi, seni tidak dapat hidup dan masyarakat kehilangan salah satu pilar penting demokrasi. Kekerasan negara bukan hanya melukai tubuh, melainkan juga melumpuhkan daya cipta, membungkam suara kritis, dan menghalangi peran seni sebagai medium refleksi dan perlawanan terhadap ketidakadilan,” tegas DKJ.

Selain diiisi dengan orasi dari berbagai tokoh pergerakan, aktivis dan seniman, kegiatan itu juga diisi dengan pembacaan puisi, serta musikalisasi puisi dari Sanggar Matahari.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini