PojokTIM – Penyair Agus R Sarjono yang selama ini dikenal dengan puisi-puisi kritiknya seperti Sajak Palsu dan Kenduri Air Mata, membuat kejutan dengan meluncurkan buku kumpulan puisi berjudul Seperti Puisi yang didominasi tema cinta. Terlebih puisi-puisi ditulis dalam kurun waktu yang pendek yakni antara tahun 2023 sampai 2025.

“Bahkan ada 17 puisi dari total 50 yang ditulis tahun 2024. Ada apa?” seru Sunu Wasono disambut tawa renyah penulisnya dalam acara peluncuran dan diskusi buku Seperti Puisi di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (14/10/2025).

Pertanyaan Sunu Wasono mendapat jawaban dari pembicara lain, Jamal D Rahman. Pada diskusi yang dipandu Mahwi Air Tawar, Jamal menyebut, dalam konteks Amir Hamzah dan Chairil Anwar, sebagai penyair Agus menanggung apa yang oleh Harold Bloom disebut anxiety of influence —kegelisahan kreatif di bawah bayang-bayang pendahulunya. Bayang-bayang yang “diderita” Agus datang dari dua arah: tradisi sublimasi-religius Amir Hamzah yang mengangkat luka manusiawi ke ranah Ilahi, dan tradisi profan-ekspresionis Chairil Anwar yang menegaskan otonomi pengalaman insani.

Alih-alih menghindar atau meruntuhkan, Agus justru memilih untuk menciptakan dermaga baru yang mempertemukan sublimasi-religius-nya Amir Hamzah dan ekspresi-otonom-nya Chairil Anwar. Agus tidak menjadi “Amir kecil” atau “Chairil baru”, melainkan penyair yang merangkul keduanya tanpa kehilangan ciri khasnya sendiri: cinta yang otonom pun tak bisa dipisahkan dari Yang Transenden, sebagaimana cinta yang paling personal pun tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab sosial. Di titik itu, cinta tak hanya menjadi gempa jiwa, tetapi juga tsunami kolektif yang menghantam hipokrisi kekuasaan.

Seperti Puisi menunjukkan sebuah sintesis organik di mana cinta tidak lagi terpecah antara langit dan bumi, antara hasrat dan doa, antara personal, religius, atau sosial. Semuanya menyatu dalam satu tarikan napas puitis yang hidup. Dan di situlah cinta menemukan fungsi sosial-politiknya yang relevan,” urai Jamal.

Diuraikan lebih jauh oleh Jamal, Amir Hamzah mensublimasi pengalaman cinta-manusiawinya menjadi cinta ilahi. Puisi-puisi Amir Hamzah adalah sublimasi-religius, yakni mentransendensikan cinta profan ke cinta yang sakral. Dilihat dari proses kreatifnya, atau konteks biografi penyairnya, puisi-puisi Amir Hamzah pada dasarnya adalah puisi cinta-manusiawi, yaitu cinta Amir Hamzah kepada Ilik Sundari, seorang gadis Jawa yang lembut. Namun cinta mereka kandas justru di saat api cinta itu menyala-nyala bahkan berkobar-kobar.

“Itulah api cinta yang membara dalam diri Amir, api yang tak menemukan wadah di dunia fana, namun kemudian menemukan saluran lain: naik ke langit, mengkristal dalam bentuk sajak-sajak yang dialamatkan kepada Tuhan. Itu sebabnya, meskipun puisi-puisinya religius, ia masih menyisakan getar dan dahaga manusia yang terluka oleh cinta, antara luka manusiawi dan perih Ilahi. Sublimasi-religius Amir Hamzah tampak terutama dalam karyanya Nyanyi Sunyi,” terang Jamal.

Pulau kedua, demikian Jamal, adalah Chairil Anwar, dengan tiga lapis pandang yang lebih kompleks. Pertama, dia mempertahankan pengalaman cinta manusiawinya tetap sebagai cinta-manusia kepada kekasih-manusia. Bahkan, dia menyebutkan nama-nama sang kekasih —Mirat, Ida, Sri Ajati, dll.— secara eksplisit dalam puisi-puisinya. Kedua, berbeda dengan Amir Hamzah yang mensublimasi cinta manusiawi menjadi cinta ilahi, Chairil justru memberi garis demarkasi yang tegas antara keduanya, antara cinta yang profan, misalnya Cintaku Jauh di Pulau dan puisi religius yang sakral seperti Doa. Ketiga, Chairil memberi garis demarkasi yang tegas pula antara puisi cinta dan puisi sosial-historis termasuk Diponegoro dan Perjanjian dengan Bung Karno.

“Chairil Anwar memisahkan ketiga lapis itu —cinta, religiusitas, dan isu sosial-historis— dengan tegas, tidak membaurkannya. Masing-masing memiliki otonominya sendiri, domainnya sendiri, bahasanya sendiri, dan intensitasnya sendiri,” kata Jamal.

Pemisahan ini harus diasumsikan disadari atau bahkan disengaja, yang merefleksikan pandangan dan sikap sang penyair: menegaskan ekspresi-otonom, yaitu bahwa cinta, Tuhan, dan isu sosial memiliki otonominya masing-masing.

“Dalam bahasa bombastis, puisi-puisi Chairil Anwar lahir dari segregasi estetis: cinta tetap cinta, Tuhan tetap Tuhan, sejarah tetap sejarah —tanpa jembatan, tanpa kompromi. Dengan strategi estetika ini, Chairil bukan anti-religius atau anti-sosial, melainkan menolak pencampuran ekspresi antara tiga bidang yang masing-masing otonom itu,” tegas Jamal.

Agus R Sarjono memetik gitar mengiringi pembacaan puisi. Foto: Syaifuddin Gani

Acara peluncuran dan diskusi buku Seperti Puisi juga diisi dengan pembacaan puisi oleh Devie Matahari, Octavianus Masheka, dan musikalisasi puisi diiringi petikan gitar Agus R Sarjono.

Hadir dalam acara itu sejumlah penyair dan sastrawan seperti Bambang Widiatmoko, Nanang R Supriyatin, Giyanto Subagio, Syaifuddin Gani, Imam Ma’arif, Fanny J Poyk, dan lain-lain.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini