PojokTIM– Lesik Kati Ara, atau yang lebih dikenal dengan nama LK Ara tampak emosional ketika memberikan sambutan pada acara peluncuran buku terbarunya berjudul Didong dan Tari Guel dari Gayo, Aceh di aula PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).
Ara menegaskan dirinya menulis puisi bukan untuk kemasyuran, dan tidak lantas bangga disebut maestro. Ia tersentuh ketika memberikan puisi kepada seseorang namun meminta agar gelar doktornya tidak dicantumkan. Padahal, untuk mendapatkan gelar doktor, bukan perkara mudah.
“Semua matahari bagiku,” ujar LK Ara penuh emosional.
LK Ara yang lahir di Takengon, 12 November 1937, juga berpesan kepada Rahmat Miko, praktisi Didong di Jakarta yang menjadi pembiacara pada acara tersebut, supaya tidak banyak melakukan perubahan dalam seni Didong.
“Kata-kata seharusnya dipahami oleh pendengar, tidak perlu menggunakan bahasa-bahasa dan irama asing dalam Didong. Anginnya jauh, pegunungan jauh, langit juga jauh. Gemercik air yang dekat, maka ambil yang dekat (yang mudah dipahami),” ujar LK Ara.
Acara launching buku LK Ara yang dipandu Swary Utami Dewi, merupakan hasil kerja sama Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), KOMPI, dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Jakarta. Selain diskusi yang dpandu Fikar W Eda, acara juga dimeriahkan pembacaan puisi karya LK Ara oleh Jose Rizal Manua. Tampil juga Prof Rahmat Salam, Putra Gara, dan sejumlah tokoh Aceh lainnya.
Saat membuka diskusi, Fikar mengatakan puisi LK Ara bersifat filosofis sebagaimana pesan yang biasa disampaikan seorang ulama. “LK Ara seperti menulis langit, menjadikan gumpalan awan, kemudian menurunkannya menjadi hujan, maka mekarlah bunga-bunga (di bumi),” ujar Fikar.
Hal senada dikatakan Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, Prof Wildan yang menjadi pembicara utama. Menurut Wildan, LK Ara sudah menerbitkan buku sejak 1969. Antologi puisi pertamanya berjudul Angin Laut Tawar berisi 16 puisi dan diterbitkan oleh Balai Pustaka.
“Sejak tahun 1971 LK Ara sudah menulis Manuk Sali Gobal berisi syair-syair didong dan diterbitkan dalam bentuk stensilan. Dari situ beliau sudah kelihatan maestronya,” ujar Wildan.
Sementara sebagai penggiat, Miko mengakui syair-syair didong berbeda-beda, dan bahkan ada satu-dua kata yang tidak menggunakan Bahasa Gayo. “Grup-grup didong di tiap kecamatan di Aceh pun berbeda-beda. Di situlah menariknya, sehingga secara rutin diadakan festival didong,” kata Miko.
Menurut Miko, didong adalah seni tradisi masyarakat Gayo yang mendiami kawasan Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Seni didong menggabungkan syair, nyanyian dan gerakan tubuh yang ritmis.
“Didong adalah seni bersyair masyarakat Gayo yang berdomisi di dataran tinggi tanah Gayo,” jelas Miko.
Di tempat yang sama Ketua TISI Octavianus Masheka mengatakan pihaknya siap memfasilitasi penyair-penyair daerah yang ingin bukunya di-launcing di PDS HB Jassin seperti buku LK Ara. “Tentu melalui kurasi,” tegas Octa.