Panelis dan moderator diskusi peluncuran buku MAdT 2. Foto: Udi Utama

PojokTIM – Buku Mereka Ada di TIM (MadT) merupakan bentuk pendataan seniman yang berkegiatan di Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat kesenikan di Jakarta. Dengan adanya buku MadT yang telah terbit 2 seri, kita bisa mengetahui siapa saja seniman yang masih berkegiatan di TIM, serta apa pemikiran dan gagasannya.

Demikian dikatakan Aquino Hayunta dari Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ketika menjadi panelis dalam acara peluncuran buku Mereka Ada di TIM 2 dengan moderator Giyanto Subagio di PDS HB Jassin, Rabu (29/10/2025).

“Upaya pendokumentasian ini mestinya didukung oleh semua pihak. DKJ juga sedang mendorong pendataan kualitatif bersama Dinas Kebudayaan Jakarta di mana di dalamnya berisi data dan profil singkat seniman sehingga ketika ada orang luar yang ingin bekerja sama dengan seniman di Jakarta, bisa mencarinya dalam direktori tersebut,” ujar Aquino.

Panelis lain, Nanang R Supriyatin menegaskan pentingnya pencatatan jejak para seniman. Banyak seniman yang dulu berkegiatan di TIM, namun kini “hilang tanpa jejak” dan kiprahnya tidak sempat ditulis sehingga hanya diketahui oleh teman-teman dekatnya saja.

“Saya tidak dapat mengelak modernisasi. Siapa pun kita yang ada saat ini tak mungkin mengembalikan gedung-gedung yang megah dan tampak tak familiar ini seperti dulu lagi. Marwah TIM dengan keberadaan senimannya harus kita review melalui Napak Tilas. Buku Mereka Ada di TIM 1 & 2 hanya sebagai lintasan catatan peristiwa kekinian, belum menjangkau kepada seniman-seniman yang masih eksis namun saat ini tidak lagi berkegiatan di TIM,” ujar Nanang.

Pada acara yang dipandu Dyah Kencono Puspito Dewi itu, Imam Ma’rif yang juga dari Simpul Seni DKJ menilai perubahan TIM dengan segala dinamikanya tidak lagi menjadi ruang kreatif yang representatif bagi seniman. Jumlah seniman yang datang ke TIM semakin berkurang karena tidak menemukan tempat yang nyaman.

“Mereka datang ke TIM untuk melakukan kerja-kerja kesenian, berdiskusi, dan adu gagasan. TIM ini didirikan karena ada senimannya. Tetapi sekarang, ketika seniman masuk ke TIM, mereka tidak menemukan tempat yang memberi napas kesenian, bahkan dibebani biaya parkir,”  ujar Imam yang menjadi panelis ketiga.

Beruntung masih ada beberapa seniman yang bandel, tetap datang ke TIM dan dicatat oleh Yon Bayu. Hasil wawancara dengan mereka  kemudian dibukukan. Buku MadT bisa dijadikan peta, bagian dari merawat ekosistem di TIM.

“Di tengah tarik-menarik eksistensi TIM antara tetap menjadi ekosistem kesenian yang sangar dan eksploitasi untuk mendapatkan keuntungan agar bisa membayar biaya revitalisasi, masih ada seniman yang tetap mau datang ke TIM dan dicatat. Semoga catatan ini terus berlanjut,” harap Imam.

Penulis buku MadT Yon Bayu Wahyono hanya menjelaskan soal judul buku. Dalam menulis buku tersebut, ia berusaha netral yang digambarkan dengan “berdiri” di luar TIM. “Saya menempatkan diri di luar dan melakukan pencatatan melalui wawancara,” ujarnya.

Acara peluncuran buku MadT dihadiri sejumlah penyair dan sastrawan ternama seperti Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Riri Satria, A Slamet Widodo, Remmy Novaris DM, Badri AQ, Octavianus Masheka, Humam Chudori, Ireng Halimun, Sihar Ramses Simatupang, Ical Vrigar, Nurhadi Saibin Maulana, Mono Wangsa, Wig SM, Nunung Noor El Niel, Shantined, Endah Wijayanti, Lily Siti Multatuliana, Hairani Piliang, Harna Silwati, Endin SAS, perupa Nadia Iskandar, dan lain-lain.

“Acara hari ini merupakan bagian dari ikhtiar kita untuk terus menghidupkan semangat cipta dan dialog di lingkungan TIM. Buku Mereka Ada di TIM 2 tidak hanya merekam kiprah, gagasan, dan pemikiran para tokoh yang telah berkontribusi bagi dunia seni dan kebudayaan, tetapi juga menjadi jembatan pengetahuan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan kebudayaan Indonesia,” ujar Rissa Churria yang mewakili PojokTIM.

Rissa menambahkan, PojokTIM sebagai komunitas yang berakar dari semangat kebersamaan para seniman dan penulis di TIM.

“PojokTIM berkomitmen untuk terus menghadirkan ruang-ruang perjumpaan seperti ini—ruang yang menyatukan gagasan, mempertemukan generasi, serta meneguhkan bahwa seni dan sastra adalah denyut hidup yang tak pernah berhenti,” tegas Rissa.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini