PojokTIM – Semua yang palsu tidak berkah dan sama sekali tidak nyaman dinikmati, bahkan sia-sia atau hampa. Demikian juga dengan cinta yang bertumpu dengan perasaan, emosi, hasrat, dan mungkin sejumput kemurnian yang kadang-kadang mengabaikan pertimbangan rasional. Untuk menyampaikan pesan itu, Herna Silwati menggunakan praktik mistik perdukunan—hal yang masih lazim terjadi di perkampungan—sebagai contoh seorang perempuan yang menggunakan guna-guna untuk memiliki hati pria idamannya.
Lambat laun si tokoh menyadari bahwa menikah dengan jiwa yang dikendalikan isim hanya melimpahkan rasa bersalah dari hari ke hari. Perempuan itu tahu bahwa cinta dalam genggaman sihir sekadar perunggu, bukan kebahagiaan sejati sekemilau berlian.
Demikian dikatakan sastrawan Kurnia Effendi saat membedah buku kumpulan cerita berjudul Mantra Penyulam Cinta karya Herna Silwati, di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Selasa (21/10/2025). Selain Kurnia Effendi, acara yang dihelat Komunitas Sastra Jakarta Timur (KSJT) juga menghadirkan Helvy Tiana Rosa dan Maman S. Mahayana sebagai pembahas dengan moderator Remmy Novaris DM dan pewara Ihwal Benz Satriadji.
Menurut Kef, panggilan akrab Kurnia Effendi, kekuatan buku Mantra Penyulam Cinta terletak pada bahasa yang ritmis dan berdaya mantra, mempertemukan dunia nyata dengan dunia batin.
“Herna telah membuka jalan bagi hadirnya :realisme spiritual yang khas Indonesia—paduan antara realitas sosial dan permenungan iman,” ujar Kef.
Kef memandang karya Herna, yang akrab disapa Silwi oleh rekan-rekannya, sebagai perenungan batin dan upaya penyembuhan spiritual. Cerita-cerita Herna bukan sekadar kisah, tapi cahaya kecil yang menyelinap dari luka. “Dia menulis bukan untuk menggurui, melainkan untuk menyembuhkan,” tegas Kef.
Sementara Helvy menilai buku Mantra Penyulam Cinta terbitan Teras Budaya (2025) yang berisi 11 cerita tersebut, menyingkap spiritualitas perempuan melalui pengalaman sehari-hari. Silvi menulis dengan bahasa lembut, meditatif, dan penuh simbol—menghubungkan tubuh, iman, dan cinta dalam satu ruang penceritaan yang hening namun dalam.
“Silvi menulis bukan dari amarah, tapi dari rahim pengalaman. Dia menulis dari tubuh perempuan sebagai sekolah pertama, tempat belajar kesabaran,” ujar Helvy.
Menurut dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu, Silvi membangun dialog ceritanya antara sufisme klasik dan pengalaman perempuan modern, menjadikannya semacam dzikir dalam bentuk bahasa.
Pandangan berbeda disampaikan kritikus sastra Maman S. Mahayana, yang memberikan catatan struktural. Dia memuji keberanian Herna menulis tema spiritual di tengah arus realisme urban, namun menekankan pentingnya koherensi antarcerita dan kedalaman dramatika.
“Tema spiritualitas dan cinta sudah kuat, tetapi perlu diimbangi oleh ketepatan dramatik dan logika peristiwa. Cerpen harus memberi pengalaman, bukan hanya pesan,” ujar Maman. Meski demikian, dia menilai Herna memiliki arah penulisan yang menjanjikan dan bisa berkembang menjadi penulis spiritual modern yang kuat secara teknik.
Acara berlangsung hangat dan penuh dialog. Pembacaan cerpen oleh Rissa Churria dan Narima Beryl Ivana memberi nuansa puitik yang memperkaya suasana. Dalam penutup, Silvi menyampaikan rasa syukurnya atas pembacaan yang beragam terhadap karyanya.
“Saya menulis bukan untuk menyampaikan dogma, tapi untuk mengingatkan bahwa bahasa bisa menjadi doa yang hidup,” ucapnya pelan.
Melalui Mantra Penyulam Cinta, Herna menghadirkan suara yang menenangkan—suara perempuan yang menyulam iman, luka, dan kasih menjadi bahasa yang berdaya sembuh.
Acara yang dibuka oleh Kepala Perpustakaan Jakarta dan PDS HB Jassin, Diki Lukman Hakim, juga dihadiri sejumlah seniman dan sastrawan seperti Imam Ma’rif dari Dewan Kesenian Jakarta, Fanny J Poyk, Octavianus Masheka, Nuyang Jaimee, Dyah Kencono Puspito Dewi, Nunung Noor El Niel, Giyanto Subagio, Pudji Isdriani, dan lain-lain.





